PESUGIHAN KELUARGA NINGRAT "NGIPRI KETHEK" (Part 24) - Kesempatan dan Perjanjian

Bagian 24 - Kesempatan dan Perjanjian
Bapak yang melihat hal tersebut langsung masuk ke dalam rumah. Ia harus melakukan sesuatu sebelum sosok-sosok tersebut tiba di rumah.
Sesampainya di kamar, bapak segera membangunkan ibu sembari memberikan isyarat kepada ibu untuk tidak berisik,
‘’Mereka datang.’’
‘’Siapa pak?’’
‘’Mereka yang berada di alas wingit sudah bermunculan. Kita harus segera keluar dari rumah ini.’’
Ibu pun segera menggendong tubuh Mas Rahardian. Mereka berencana untuk meninggalkan rumah dan menuju ke tempat Raden Kuncoro yang berada di sebelah rumah mereka.
Akan tetapi, belum sampai mereka keluar rumah, tiba-tiba semua lampu yang berada di rumah mati dengan sendirinya.
Ibu pun berteriak karena panik hingga membuat Mas Rahardian terbangun. Dari luaran rumah, sayup-sayup suara derap langkah kaki terdengar jelas.
Bapak pun menyuruh ibu untuk berhenti sejenak.
‘’Tunggu sini. Sembunyi di dalam lemari.’’
Ibu dan Mas Rahardian pun bersembunyi ke dalam lemari yang berada di dalam kamar.
Sedangkan Bapak, ia mencari cara untuk bisa mendapatkan penerangan.
Malam itu, keadaan benar-benar dalam keadaan mencekam. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kecuali takdir yang menentukan keberadaan mereka saat itu.
Saat Ibu dan Mas Rahardian masuk ke dalam lemari, ia teringat akan kejadian sewaktu serangan terdahulu saat dimana Jin kala ireng menyerang rumah mereka.
Ibu berharap, ada pertolongan lain yang dapat mengusir seluruh para penghuni alas wingit yang sekarang sedang berada di sekitaran rumah.
Keadaan yang gelap membuat Bapak kesulitan untuk mencari alat penerangan senter untuk menunjukkan jalan keluar.
Bapak terus berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan senter agar dirinya bisa keluar bersamaan dengan Ibu dan juga Mas Rahardian.
Sangat sulit rasanya ketika dalam keadaan gelap bapak mencari barang yang letaknya sendiri juga masih belum jelas.
Langkah kaki bapak pun menuju ke sebuah ruangan depan. Bapak meraba-raba tembok agar bisa menuju ke ruangan tersebut.
Tidak lupa pula, ia membaca do’a agar terhindar dari gangguan para sosok alas wingit yang telah mengepung rumah secara total.
Tepat saat Bapak berada di ruangan depan, kedua tangannya langsung mengarah ke bagian depan.
Perlahan, kedua tangan bapak mencari-cari sesuatu yang ada di sekitaran untuk dijadikan alat meraba dari kedua tangannya.
Akan tetapi, tepat beberapa langkah kemudian, kedua tangan Bapak menangkap sesuatu.
Kedua tangannya menyentuh sesuatu yang belum pernah Bapak ketahui sebelumnya. Ia juga merasa ada yang aneh dengan sentuhan kedua tangannya terhadap apa yang ada di depannya saat ini.
Rasanya, bapak seperti memegang sesuatu yang bersifat basah, berlendir dan berbau amis.
Sontak saja, hal itu membuat bapak menarik kedua tangannya dan memperlihatkannya tepat di hadapan matanya.
‘’A-apa ini? Kok warnanya merah?’’
Saat Bapak mengalihkan pandangannya ke arah depan, tiba-tiba ada sesuatu yang muncul tepat di hadapannya sembari berteriak,
‘’ARGHHHHH!’’
Bapak yang mendengar itu langsung terkejut. Saking terkejutnya, bapak pun terjatuh dan tepat di belakangnya, ada sesuatu yang sedang berdiri,
Lalu tak lama kemudian, saat Bapak menghadapkan wajahnya ke arah atas, tiba-tiba ada sosok yang sedang mengarahkan wajahnya tepat ke arah wajah Bapak.
Sosok itu kemudian mengeluarkan cairan dari mulutnya dan menumpahkannya tepat di wajah Bapakk,
‘’HUEKKKKKKKKKK.’’
Bapak pun segera mundur ke arah belakang sembari membersihkan wajahnya dari cairan yang berbau amis tersebut.
Hingga akhirnya, posisi Bapak terpojokkan.
Bersamaan dengan itu, lampu yang awalnya mati, kini menyala kembali tepat saat puluhan sosok dari alas wingit sudah berdiri di hadapannya,
Mereka semua menundukkan kepalanya dan melonggarkan barisan bagian tengah seperti mempersilahkan seseorang berjalan menuju ke arah Bapak,
‘’TIDAK! KALIAN MAU APA?’’
Tak lama kemudian, seorang pria dengan mengenakan tudung kepala berjalan tepat di bagian tengah tersebut.
Ia kemudian menundukkan badannya seperti memberi salam khusus kepada Bapak,
‘’Wilujeng sumping, arto.’’ (Selamat datang, arto)
‘’SIAPA KAU??’’
‘’Kau tidak akan pernah mengenaliku. Namun, aku sangat mengenalimu. Selamat datang di desa kami. Kamu sudah mengerti, kan? Mengapa aku membawa para demit yang berasal dari alas wingit itu?’’ Ucap pria misterius itu.
Bapak hanya terdiam. Tubuhnya bergetar hebat saat pria tersebut mengetahui namanya.
Mungkinkah memang pria tersebut sudah mengetahui namanya atau memang ada orang lain yang memberitahu nama Bapak kepada pria misterius tersebut?
‘’Akan aku beritahu terkait kedatanganku malam ini. Rasanya kita sudah pernah bertemu sebelumnya kan?’’ Tanya pria misterius itu.
‘’A-apa maksudmu?’’
‘’Menurutmu, apakah reuni kedua kita akan sangat berkesan? Atau ada reuni-reuni lainnya yang nantinya akan membuat kita semakin erat untuk bertemu?’’
Bapak masih belum mengerti maksud dari pria misterius tersebut. Dari suaranya, bapak tidak mengenali, siapa pria tersebut.
‘’Kematian Mbah Jayo adalah petaka awal dari desa ini.
Akan tetapi, sebelum kau tahu tentang desa alas wingit, keluargamu dan orang-orang yang masih dalam keturunanmu, mereka semua pernah bersekutu dengan kami.’’
Deg! Bapak terkejut mendengar hal itu. Apa yang baru saja dikatakan oleh pria misterius tersebut merupakan sebuah hal yang tidak mungkin terjadi dalam pikiran bapak. Apakah memang ada hubungannya antara pria misterius ini dengan keluarga ningrat atau mungkin keluarga brotoseno?
Pria misterius itu kemudian terdiam sejenak. Ia menggerakkan jari telunjuknya ke arah samping kanan Bapak,
‘’Aku masih menghormati sosok yang berada di belakangmu saat ini. Jika sosok itu tidak ada, mungkin keluargamu akan habis dan tidak tersisa seperti dua orang warga yang meninggal secara mengenaskan itu.’’
Mendengar kalimat sombong yang diucapkan oleh pria misterius itu, bapak pun berusaha bangkit dan berniat untuk menghajarnya.
Namun baru saja niatan itu muncul, tiba- tiba seluruh lampu yang berada di rumah langsung padam dengan sendirinya.
‘’Aku mengetahui apa yang kau pikirkan dalam hati dan pikiranmu. Sesuatu yang kau ingin sampaikan dan belum terucap, itu bagaikan suara angin yang berhembus di telingaku.’’
Tiba-tiba tubuh Bapak merinding seketika. Ia baru mendapati manusia yang memiliki sebuah ilmu kanuragan yang bahkan tingkatannya melebihi Kang Waris.
‘’Jika tubuhmu mencoba untuk bergerak dan menghajarku saat itu juga, mungkin jeroanmu sudah hancur dengan satu pukulanku.’’
Bapak hanya bisa terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia terkejut saat mendengar apa yang baru saja pria misterius itu katakan,
Jadi inikah keilmuan yang dimiliki oleh pria misterius itu sampai-sampai dirinya mampu membunuh Mbah Jayo dan menggerakkan seluruh demit alas wingit?
Benar-benar mengerikan! Ini sudah bukan level manusia lagi. Menurut Bapak, tingkatan ini sudah termasuk tingkatan penyatuan antara dirinya dengan ilmu kanuragan yang mungkin dipelajari olehnya.
Bukan hanya itu saja, segala sesuatu yang dipikirkan dan direncanakan oleh Bapak, semuanya diketahui dengan cepat. Bapak sendiri merasa tidak berdaya dengan hal itu.
Untungnya, pria misterius tersebut mengatakan terhadap sesuatu yang berada di belakang Bapak.
Itu artinya ada sesuatu yang memang saat ini sedang menjaga dan melindungi Bapak.
Tidak lama kemudian, munculah sebuah kabut sebagai tanda kepergian mereka.
Kemunculan kabut ini memang sebagai tanda yang istimewa dari mereka agar bisa mengelabui musuh dan tidak berkeinginan untuk melanjutkan apa yang ingin dilakukan olehnya sendiri.
Malam itu, bapak tersadarkan atas banyak kejadian dimana alas wingit sendiri adalah tempat yang penuh dengan kutukan.
Namun terciptanya kutukan itu sendiri juga menjadikan keuntungann dan kerugian bagi kedua belah pihak.
Ada pihak yang sengaja menjadikan itu sebagai alat senjata baginya. Mereka memanfaatkan apa-apa yang berada di alas wingit untuk dijadikan sebuah kekuatan baru yang nantinya bertujuan untuk kepentingan mereka sendiri.
Tak lama kemudian, lampu menyala secara serentak. Lantai pun penuh dengan darah kambing yang berceceran dimana-mana.
Bapak pun segera menuju kamar untuk mengetahui keadaan Ibu dan juga Mas Rahardian.
‘’Bu! Ibu!’’ Teriak Bapak.
Ibu pun langsung keluar dari lemari sembari menggendong Mas Rahardian yang masih ketakutan.
Ia tidak menyangka jika semua sudah usai dan keadaan sudah kembali aman lagi.
‘’Pak? Bagaimana? Astaghfirullah... muka Bapak kenapa? Kok banyak darahnya?’’
‘’Ini tidak penting bu. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada Ibu.’’
Bapak pun menyuruh Ibu untuk berdiam diri di kamar sembari menunggu cerita dari Bapak terkait penghuni alas wingit dan misterinya.
Bapak juga segera membersihkan tubuhnya dari darah yang membasahi wajahnya
akibat muntahan dari sosok yang mengeluarkan banyak darah tepat di wajahnya.
Setelah Bapak membersihkan bekas darah yang menempel di wajah, ia pun segera menuju kamar dan membicarakan sesuatu yang ia dapatkan dari pria misterius itu,
‘’Bu. Aku tahu terkait teka-teki desa ini dan mengapa di desa ini terdapat kutukan yang sangat mengerikan.’’ Jelas Bapak.
‘’Maksud Bapak apa?’’ Tanya Ibu.
‘’Ibu tahu kan? Kematian Mbah Jayo ternyata bukan awal mula dari petaka itu. Akan tetapi, ternyata keluarga brotoseno dan keluarga ningrat masih memiliki hubungan dan keterkaitan dengan desa ini.’’ Jelas Bapak.
Ibu pun terkejut mendengar hal itu. Ketidakpercayaan Ibu membuat Bapak terus meyakini apa yang baru saja ia bicarakan.
‘’Terlebih lagi, ada hal yang masih belum kita ketahui tentang penumbalan bayi yang dilakukan setiap ada orang yang hamil.’’
Sempat terpikirkan oleh Bapak terkait penumbalan bayi yang dilakukan oleh pria misterius itu. Kemungkinan besar, saat dimana keterkaitan antara keluarga brotoseno serta keluarga ningrat itu, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh Bapak.
‘’Ini tentang kesepakatan dan perjanjian.’’
Ibu kemudian mengingat sesuatu. Ia mengingat sebuah aksara yang disebut-sebut sebagai kunci dari teka-teki ini berlangsung,
‘’Jika mungkin itu terjadi, berarti keluarga brotoseno dan keluarga ningrat melakukan sebuah kesepakatan dan perjanjian terhadap Demit alas wingit ini. Dan perjanjian itu adalah....‘’ Jelas Bapak.
‘’Penumbalan bayi!’’ Ucap Bapak.
Pantas saja, saat dimana Ibu masih mengandung Mas Rahardian ketika berada di rumah keluarga ningrat, hal pertama yang diincar oleh mereka adalah bayi dari Ibu sendiri.
Pengincaran itu tepat dilakukan di malam purnama dan saat dimana hal-hal yang tidak terduga terjadi. Akan tetapi, ada sesuatu yang masih Bapak belum ketahui lebih lanjut akan hal tersebut,
‘’Tetapi pak? Mengapa saat tragedi itu berlangsung, sosok yang menyerang Ibu Jin kala ireng?’’
Bapak baru ingat akan hal itu. Tepat saat dimana malam itu, bayi yang berada di dalam kandungan Ibu ingin diambil oleh sosok Jin kala ireng.
‘’Apa jangan-jangan?’’
Bapak pun segera keluar dari rumah. Ia ingin mengetahui sesuatu yang berada di luaran, jika memang benar apa yang dipikirkannya, kemungkinan besar, teror-teror selanjutnya belum usai sampai di sini.
Dan benar saja, saat bapak melihat luaran rumah, ia terkejut saat melihat puluhan burung sudah berjatuhan tepat di depan rumahnya.
Yang lebih mengerikan, bapak melihat banyak sekali jejak kaki aneh seperti orang yang sedang menyeret-nyeret kakinya menuju ke rumah Bapak.
Lain hal dengan itu, hembusan angin yang awalnya tenang, kini berubah menjadi sangat kencang.
Pepohonan juga bergoyang-goyang seperti tidak pada umumnya.
‘’Astaghfirullah...‘’
Desa alas wingit yang dikenalnya sebagai desa aman, kini berubah kembali menjadi desa yang penuh dengan teror dan kematian.
Keesokan harinya, bapak pun berencana ingin membahas hal ini dengan Raden Kuncoro. Ia meminta Raden Kuncoro untuk membantunya dalam memecahkan permasalahan yang rumit ini.
Belum lagi dengan keadaan desa yang semakin tidak aman, bapak meyakini, ada banyak komplotan yang mulai bermunculan terkait orang-orang yang berada di desa ini.
Jika awalnya bapak meyakini bahwa Kang Didik adalah pelaku atau topeng di balik pria misterius tersebut, kini bapak meyakini hal lain bahwa di desa ini ada sekumpulan orang yang mana mereka semua dulunya bekerja sama dengan keluarga brotoseno dan juga keluarga ningrat.
‘’Mas? Mas yakin kalau mereka semua mulai bermunculan? Lalu apakah selama ini kita dikurung di desa ini?’’ Tanya Raden Kuncoro.
‘’Aku belum tahu pasti akan hal itu. Tapi perihal apa yang baru saja pria misterius itu katakan semalam, ia tidak sendirian.
Ada orang lain yang mungkin saja membawa kita semua untuk masuk ke dalam desa ini.’’ Ucap Bapak.
‘’Maksud mas gimana?’’
‘’Kehadiran kita memang sudah direncanakan. Pelarian kita ke desa ini juga sudah diperhitungkan. Tidak ada tempat yang aman di dunia ini selama manusia yang memiliki hati bak iblis terus berkeliaran dan menebarkan kematian di setiap langkahnya.’’
Raden Kuncoro memahami akan hal itu. Ia juga tahu betul bahwa kehadiran dari saudaranya ini sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang memang berambisi penuh untuk menumbalkan keluarganya.
Tidak lama kemudian, nyi ratih datang membawa makanan. Mereka semua terbiasa untuk makan bersama sembari membahas hal- hal yang sangat rumit di desa ini.
‘’Apakah ada warga di sini yang sedang hamil?’’ Tanya Bapak kepada Nyi Ratih.
‘’Untuk sementara ini, baru isterimu saja mas. Akan tetapi aku juga merasa aneh dengan desa ini sebelumnya.’’ Jelas Nyi Ratih.
‘’Maksudnya?’’
Nyi Ratih pun duduk sejenak. Ia kemudian mengatur nafasnya dan berulangkali berupaya untuk menjelaskan secara teratur.
‘’Kemarin aku mencoba untuk mengecek setiap rumah warga yang mungkin saja ada orang yang sedang hamil namun tidak terbuka. Namun, betapa terkejutnya aku saat melihat di setiap depan rumah mereka terdapat sebuah gundukan tanah yang masih basah.’’
Deg! Bapak, raden kuncoro dan juga ibu terkejut mendengar penuturan yang baru saja disampaikan oleh Nyi Ratih.
‘’Bukan hanya itu saja. Aku juga melihat para wanita di desa ini begitu sangat murung wajahnya. Anak-anak yang semula ramai, kini dikurung di dalam rumah semenjak kejadian itu.’’
Semenjak kejadian yang baru saja meneror warga baru-baru ini, banyak warga yang enggan melakukan sosialisasi atau keluar rumah.
Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan menghindari konflik besar yang sedang terjadi di desa alas wingit ini.
Terlebih lagi, ternyata kejadian ini sudah diperhitungkan oleh para warga. Kemungkinan besar, wanita-wanita yang sedang hamil dipaksa untuk menggugurkan kandungannya lebih dulu dibanding mendapatkan teror yang mengerikan dari penghuni alas wingit.
‘’Lalu apa rencana mas arto selanjutnya?’’
Bapak hanya terdiam. Ia belum memiliki rencana terkait menghentikan teror ini. Bapak sendiri masih belum yakin jika urusan ini diselesaikan dengan dirinya sendiri.
Ia mungkin membutuhkan seseorang sekelas Kang Waris untuk bisa memberikan solusi terkait konflik yang sedang dihadapinya.
‘’Kita bukan menghadapi satu atau dua orang biasa. Kita menghadapi komplotan orang-orang yang memiliki kanuragan ireng. Mereka yang memiliki kanuragan ireng pasti ada hubungannya juga dengan keluarga brotoseno dan keluarga ningrat.’’
Mereka semua mengangguk paham. Apa yang baru saja Bapak katakan adalah sebuah fakta yang selama ini ditutupi.
Mereka semua baru menyadari semenjak Bapak mendapatkan sebuah welingan (isyarat dan petunjuk) terkait hal-hal yang terjadi di masa lalu di desa ini.
‘’Bisa jadi, desa ini akan menjadi desa banjir getih untuk ke depannya!’’ Ucap Bapak dengan lirih.
‘’Maksud Bapak? Akan ada banyak korban lagi seperti yang terjadi di rumah keluarga ningrat itu?’’ Tanya Ibu.
‘’Benar. Kita bagaikan burung yang sudah disangkarkan. Kita tidak terjebak namun lebih tepatnya, kita semua digiring menuju satu tempat dan dikumpulkan menjadi satu. Entah apa yang aku pikirkan benar atau salah, yang pasti ada dua kemungkinan yang akan terjadi di desa ini.’’
‘’Dua kemungkinan?’’
‘’Satu, orang-orang yang masih memiliki hubungan dengan kita akan berdatangan ke desa ini dan terakhir...‘’
Bapak memotong pembicaraan sejenak. Sembari menyeruput kopi, bapak menatap satu- persatu orang-orang yang sekarang berada dekat dengannya.
‘’Tumbalnya adalah kita semua!’’
Sementara itu, kang waris dan juga Jaja masih mencari-cari informasi terkait keberadaan Bapak dan juga Ibu.
Ia mencoba untuk mencari ke desa-desa yang mungkin saja menjadi sebuah tempat persembunyian dari Bapak dan Ibu.
Perjalanan mereka berdua belum usai. Mereka terus mencari cara agar bisa membalikkan keadaan dan setidaknya bisa menghentikan pesugihan yang dilakukan oleh Raden Angkoro beserta dengan para bawahan yang menjadi pasukan khususnya.
Tepat di saat mereka mendapati sebuah gapura, mereka berdua merasa ada yang berbeda dengan desa tersebut.
‘’Kamu pernah ke desa ini sebelumnya?’’ Tanya Kang Waris kepada Jaja.
‘’Desa Alas Wingit? Aku baru mendengar nama desa yang aneh ini.’’
‘’Aku juga baru tahu. Bukannya tempat ini dulunya adalah sebuah hutan?’’
‘’Tapi kabarnya, di desa ini ada sebuah tragedi aneh.’’
‘’Tragedi aneh?’’
‘’Sesepuh di desa ini meninggal karena ditumbalkan oleh seseorang.’’ jelas kang Waris.
Jaja yang mendengar hal tersebut langsung terkejut. Ia baru tahu pemberitaan semacam itu yang mana seharusnya pemberitaan semacam ini adalah sebuah aib bagi desa dan juga warganya.
Dari kejauhan, kang waris melihat ada seorang wanita yang sedang mampir ke sebuah warung.
Kang Waris berencana untuk menanyakan terkait desa ini kepada wanita tersebut.
Siapa tahu, ia bisa mendapatkan informasi lebih dari wanita tersebut.
‘’Assalamu’alaikum...‘’ Sapa Kang Waris kepada wanita tersebut.
‘’Wa’alaikum salam.’’ Jawab wanita itu.
Kang Waris pun langsung menanyakan terkait desa yang baru saja ia singgahi.
‘’Kalau boleh tahu, siapa sesepuh di desa alas wingit ini?’’
‘’Sebelumnya, kisanak ini siapa?’’ Tanya wanita itu kepada Kang Waris dan juga Jaja.
‘’Perkenalkan. Aku Waris. Aku datang dari perkotaan dan sengaja datang jauh-jauh ke desa ini untuk mencari seseorang yang mungkin saja menetap di desa ini.’’
Saya Arumi. Warga desa ini.’’ Ucap Mbak Arumi dengan ramah dan murah senyum.
‘’Dan ini Jaja. Ia sudah saya anggap sebagai saudara saya sendiri. Kami berdua ingin menanyakan seseorang yang mungkin saja dia ada di sini.’’ Ucap Kang Waris.
‘’Seseorang? Siapa memangnya kang?’’
Kang Waris diam sejenak. Ia lebih dulu menengok ke kanan dan kiri sekitarannya. Jangan sampai, apa yang baru saja ia katakan akan menjadi sebuah petaka baginya.
‘’Raden Artonegoro.’’
Deg! Mbak Arumi terkejut mendengar nama itu. Ia kemudian memperhatikan lagi tubuh Kang Waris dari bawah sampai atas.
Keterkejutan Mbak Arumi pun membuat Kang Waris keheranan. Mungkin, mbak arumi mengenali orang yang baru saja Kang Waris katakan.
‘’kenapa, mbak? Apakah kamu mengenalinya’’
‘’Kisanak ini siapanya Raden Artonegoro?’’
‘’Aku saudaranya juga.’’
Tidak lama kemudian, mbak arumi tersenyum lebar. Ia seperti menyimpan sesuatu yang hanya dirinya sendiri tahu akan apa yang memang sudah terbesit di dalam hatinya.
‘’Aku tahu warga yang bernama Raden Artonegoro itu. Mau kuantar sekarang?’’
‘’Boleh.’’
Akhirnya, mbak arumi pun mengantarkan Kang Waris dan juga Jaja untuk menuju ke rumah Raden Artonegoro.
Akan tetapi, dari kejauhan ada 5 orang yang sudah berdiri tepat di depan gapura desa tersebut.
‘’Rencana kita berhasil.’’ Ucap salah satu diantara kelima orang tersebut.
Jaja seperti merasa aneh dengan sesuatu yang berada di belakangnya. Ia seperti merasakan kehadiran banyak orang yang sedang memantaunya dari kejauhan.
Perlahan, jaja pun menengok ke arah belakang tepat di pintu masuk gapura desa tersebut.
Akan tetapi, saat jaja menengok ke arah
sana, ia tidak menemukan seseorang pun yang
berada di depan desa gapura tersebut.
‘’Mungkin ini perasaanku saja.’’
Desa alas wingit, akan menjadi desa yang
menetukan dua ranah sekaligus awal mula dari konflik besar yang mengarahkan ke banyak
pihak.
Mereka yang berada di desa ini, akan
dituntut untuk menetukan dua pilihan.
Menjadi tumbal atau bertahan hidup. Itulah dua pilihan
berat bagi siapa saja yang menempati desa ini!
BERSAMBUNG
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya