Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PESUGIHAN KELUARGA NINGRAT "NGIPRI KETHEK" (Part 25) - Sangkar Burung


Mbak Arumi pun mengantarkan Kang Waris dan Jaja menuju ke rumah Raden Artonegoro yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumahnya sendiri.

Tidak lupa, selama Kang Waris menjejaki setiap langkah di desa tersebut, ia selalu memperhatikan para warga yang menunduk kepada Mbak Arumi.
Seakan-akan mbak arumi merupakan seorang pembesar yang terhormat di desa tersebut.

Bersamaan dengan itu, ada salah satu warga yang berlari ke arah Mbak Arumi. Dia adalah wanita yang sedang hamil dan menarik-narik tangan Mbak Arumi seraya berkata,

‘’Mbak, tolong aku! Tolong selamatkan bayi yang ada di dalam kandungan ini.’’ Ucapnya.
Kang Waris dan Jaja yang mendengar hal itu langsung terkejut. Mereka berdua tidak mengerti, siapa sebenarnya Mbak Arumi ini.

Pikir keduanya, mbak arumi adalah seorang dukun beranak yang mungkin saja bisa mempermudah segala kesulitan para wanita yang sedang hamil.
‘’Lepaskan! Saya mau antarkan tamu dulu!’’ Teriak Mbak Arumi sembari mendorong wanita itu hingga tersungkur ke tanah.

Kang Waris dan Jaja langsung membantu wanita yang sedang hamil tersebut. Mereka berdua terkejut saat melihat tindakan dari Mbak Arumi yang tidak manusiawi.
‘’Apa yang kau lakukan? Dia sedang hamil?’’ Ucap Kang Waris dengan nada kesal.

Mbak Arumi hanya terdiam. Ia hanya menunggu saat dimana wanita itu berdiri dan meninggalkan mereka bertiga.

Setelah wanita hamil itu pergi meninggalkan mereka bertiga, mbak arumi langsung melanjutkan langkahnya dan membiarkan Kang Waris dan Jaja untuk berpikir sejenak mengenai sifat asli dirinya yang kurang pantas untuk diperlihatkan.

Sampai saat dimana Mbak Arumi berhenti sejenak ke sebuah jalan yang menuju ke arah hutan, ia mulai memikirkan sesuatu terkait hutan yang ada di hadapannya tersebut.

Ya, benar. Itu adalah Hutan Alas Wingit yang dijadikan sebagai perantara dari orang-orang yang ingin melakukan sebuah ritual persekutuan dengan para demit alas wingit yang disebut-sebut sebagai tuan dari tanah ini.

Kang Waris yang melihat hutan aneh itu sempat tak percaya. Ia baru menyadari jika di dalam desa ini memang ada sebuah hutan yang mungkin saja menjadi pemicu dari tragedi yang dirumorkan tersebut,

‘’Apa nama hutan itu?’’ Tanya Kang Waris kepada Mbak Arumi.

‘’Hutan itu seperti nama dari desa ini, alas wingit. Hutan yang disebut-sebut sebagai penyebab dari semua tragedi di desa ini.’’ Jelasnya.

‘’Penyebab?’’

‘’Mungkin orang luar sudah mendengar pemberitaan semacam ini. Apakah kau tahu, sesepuh di desa ini meninggal di hutan tersebut? Ini juga masih ada kaitannya dengan setiap wanita hamil yang berada di desa ini.’’ Jelas Mbak Arumi dengan nada bicara yang santai.

Kang Waris dan Jaja hanya terdiam. Mereka berdua lebih memilih untuk menyimak apa yang dibicarakan oleh Mbak Arumi kepada mereka berdua.

Angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Dedaunan mulai berguguran. Suara burung-burung dari hutan tersebut terdengar jelas dari pingiran hutan.

Sepertinya kang waris menyadari sesuatu. Ia seperti menangkap sebuah energi jahat yang kental dari hutan tersebut.
Seperti halnya seekor binatang buas yang sedang dipasung dan diikat, energi tersebut sepertinya sudah dikendalikan oleh seseorang yang mungkin saja ada kaitannya dengan tragedi yang baru saja dikatakan oleh Mbak Arumi.

‘’Kenapa wanita hamil di sini memohon perlindungan pada dirimu? Apakah karena kamu sendiri sebagai penerus dari sesepuh itu?” Tanya Jaja kepada Mbak Arumi.

Mbak Arumi membalikkan tubuhnya. Saat ini, tatapannya mengarah tajam kepada Jaja hingga membuat Jaja canggung dan ingin menarik kembali pertanyaannya tersebut.

‘’Setiap wanita yang hamil, mereka akan meminta untuk dibebaskan janinnya. Mereka semua yang berada di sini, sudah terikat dengan apa yang sudah berada di sana.’’ Ucap Mbak Arumi sembari mengarahkan jari telunjuknya ke arah hutan tersebut.

Kang Waris mulai paham. Ia menyadari apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Arumi terkait ketakutan yang dirasakan oleh setiap wanita hamil yang berada di desa ini.
‘’Lalu mengapa mereka memohon-mohon kepadamu terkait hal itu?’’ Tanya Kang Waris.

Mbak Arumi hanya terdiam. Tiba-tiba ia meneteskan air mata seolah-olah ada yang salah dengan dirinya terkait apa yang baru saja ia lakukan.

‘’Sudah banyak korban yang berjatuhan di desa ini. Mereka selalu memintaku untuk menghentikan apa-apa yang sudah terjadi dari hutan alas wingit. Namun semenjak tragedi terbunuhnya sesepuh desa ini, semua menjadi kacau dan tidak terkendali.’’ Jelas Mbak Arumi.

Mendengar penjelasan dari Mbak Arumi, keduanya pun tersentuh hatinya. Ternyata tindakan yang dilakukan oleh Mbak Arumi barusan termasuk bagian dari kekesalannya karena tidak mengetahui harus bagaimana untuk menghentikan teror yang sudah berlangsung selama tahunan itu.

Mbak Arumi pun melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah Raden Artonegoro. Kang Waris dan Jaja, mereka berdua mengikutinya dari belakang untuk mengetahui setiap jalan yang dilaluinya bersama Mbak Arumi.

Sampai di rumah Raden Artonegoro, mereka terkejut saat melihat Ibu bersama dengan yang lainnya sedang mengumpul di depan rumah.

‘’Assalamu’alaikum…‘’

‘’Wa’alaikum salam, kang waris?’’ Ucap Bapak dengan nada yang penuh ketidakpercayaan akan hadirnya kembali Kang Waris.

‘’Iya, aku waris. Bagaimana kabarnya kalian semua?’’ Senyum Kang Waris.

Bapak pun segera memeluk tubuh Kang Waris. Saking terharunya, air mata bapak menetes karena bisa di pertemukan kembali dengan orang yang dinanti-nantikannya.

Hari itu, kebahagiaan meliputi keluarga Bapak dan juga yang lainnya. Mereka saling mengenalkan diri masing-masing untuk mengikat tali persaudaraan yang sudah lama tidak di pertemukan.

Sementara itu, mbak arumi hanya berdiri di depan rumah sembari tersenyum. Ia seperti melihat sebuah fenomena indah yang dirinya sendiri belum pernah menemukannya.

‘’Mbak Arumi? Ayo sini masuk. Kebetulan aku buatkan banyak makanan untuk hari ini.’’ Ucap Ibu kepada Mbak Arumi.

‘’Maaf mbak. Aku masih ada kerjaan. Sebelumnya saya mohon maaf apabila belum bisa bergabung.’’ Jelas Mbak Arumi.

‘’Justru kami yang berterima kasih kepada Mbak Arumi karena telah membawa Kang Waris ke sini. Sekali lagi saya ucapkan banyak-banyak terima kasih ya mbak.’’

Mbak Arumi langsung tersenyum. Ia pun segera berpamitan dan kembali lagi ke rumahnya.
Di dalam rumah, mereka pun saling bercerita masing-masing terkait perjalanan 2 tahun yang lalu.

Kang Waris pun mengawali pembicaraan dan segera menceritakan perjalanannya di saat dia membawa Jaja keluar dari Pabrik.

‘’Kita berdua sudah mengetahui siapa di balik siluman kethek (monyet) putih itu.’’ Ucap Kang Waris kepada Bapak dan yang lainnya.

‘’Raden Angkoro?’’ Tebak Bapak.

‘’Bukan. Dia adalah Raden Jogopati, saudara dari Raden Angkoro sendiri.’’

‘’HAH??’’
Mereka semua terkejut saat mengetahui siapa sosok yang menjadi pelaku Siluman Kethek Putih yang sering muncul ketika ritual penumbalan dilakukan.

Berbeda dengan reaksi yang lainnya, kang waris justru tertawa. Ia tertawa saat melihat ekspresi mereka yang seolah-olah sangat meyakini jika Raden Angkoro-lah orang yang berada di balik Siluman kethek putih.

‘’Lalu? Bagaimana kabarnya mereka?”
Kang Waris hanya terdiam. Ia sendiri masih belum mengetahui kabar dari mereka beserta dengan komplotannya.

Semenjak tragedi di pabrik bawang yang belum terungkap sampai sekarang, keberadaan mereka benar-benar tidak pernah Kang Waris ketahui.

‘’Tapi aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu arto. Mungkin, pertanyaanku sudah kau siapkan ketika aku berkunjung ke desa ini.’’ Ucap Kang Waris dengan nada serius.

Bapak hanya terdiam. Suasana menjadi mencekam di saat mereka semua menunggu pertanyaan dari Kang Waris terkait desa alas wingit ini.

‘’Apakah desa ini adalah desa kutukan?”

Bapak tidak kaget mendengar hal itu. Secara dari apa yang memang sudah pernah terjadi sebelumnya, kang waris mampu merasakan perbedaan atmosfer setiap tempat saat ia mengunjunginya.

Bapak hanya mengangguk seperti memberikan jawaban pembenaran terkait apa yang menjadi pertanyaan dari Kang Waris sendiri.
Namun di sisi lain, jaja seperti merasa ada Sesuatu yang mengawasinya dari setiap sudut tempat di desa tersebut.

Ia kemudian berdiri dan ingin menengok ke arah hutan yang memang dirumorkan sebagai inti dari kutukan itu berada.

Tepat di saat Jaja memperhatikan hutan tersebut, ia terkejut saat melihat 5 orang dengan pakaian serba hitam lengkap dengan mengenakan jas, kacamata dan juga payung hitam.

Mereka semua sedang berdiri menatap Jaja dari kejauhan. Tampaknya, kelima orang misterius tersebut seperti mengenali Jaja.

Jaja pun merasa aneh dengan kelima orang tersebut yang menatapnya. Ia pun mengucek-ngucek matanya beberapa kali hingga akhirnya kelima orang tersebut menghilang dengan misterius.

Mengetahui hal tersebut, jaja pun langsung menghela nafas panjang. Ia pun segera bergabung kembali dan duduk bersama sembari mendengarkan cerita yang sedang diceritakan oleh Raden Artonegoro.

Pembahasan masih panjang. Bapak masih menceritakan terkait hal-hal yang tidak terduga selama dirinya menempati desa alas wingit.
Ia juga tidak lupa untuk memberitahu terkait kematian dari sesepuh desa yang bernama Mbah Jayo.

Terlebih itu, bapak juga menjelaskan kematiannya yang aneh dan ada kaitannya dengan orang-orang yang selama ini masih bersembunyi di desa alas wingit.

‘’Jadi kematian Mbah Jayo sendiri disebabkan oleh orang misterius itu?’’ Tanya Kang Waris.

Bapak hanya mengangguk. Banyak sesuatu yang belum diketahui oleh Bapak dan juga Raden Kuncoro terkait hal-hal aneh yang selama ini tertanam di desa ini.

‘’Kapan purnama akan datang?’’ Tanya Bapak.

‘’Jika dilihat dari rotasi bulan saat ini, purnama akan datang dalam waktu yang dekat. Memangnya apa yang terjadi jika purnama datang?” Tanya Kang Waris.

‘’Mereka akan kembali.’’

‘’Mereka? Siapa?’’

‘’Para penghuni alas wingit.’’

Sementara itu, mbak arumi memberitahu suaminya yaitu Kang Didik terkait kedatangan Kang Waris dan Jaja ke desa alas wingit ini.

‘’Mereka semua sudah tiba di sini. Bagaimana orang-orang ningrat itu? Apakah mereka semua sudah hadir?” Tanya Mbak Arumi.

‘’Mereka juga sudah tiba di desa ini. Kita mesti bersabar sampai purnama tiba.’’

Kang Didik pun memeluk tubuh Mbak Arumi. Sudah lama rasanya saat Kang Didik memeluk mesra tubuh Mbak Arumi sembari mencium leher dan keningnya hingga menimbulkan nafsu birahi diantara keduanya.

‘’Aku masih penasaran akan satu hal.’’ Ucap Mbak Arumi kepada Kang Didik.

‘’Apa itu?’’

‘’Di desa ini sudah ada 3 kubu. Kubu kita, kubu arto dan kubu keluarga ningrat. Bukankah kita sangat munafik karena mampu masuk ke dua kubu tersebut?” Ucap Mbak Arumi.

Kang Didik tersenyum dengan pola pikir isterinya yang cerdas. Ia tidak menyadari jika di desa ini sudah memiliki masing-masing kubu untuk mempertahankan kehormatannya.

‘’Sangkar burung yang kita buat sungguh sangat membantu untuk menjebak kedua kubu itu. Aku penasaran, apakah bayi yang di dalam kandungan itu bisa membuat kita hidup semakin lama dan melahirkan kembali jin kala ireng yang diingikan oleh tuan kita.’’

‘’Tuan pasti senang. Semenjak Ayahnya meninggal, tuan menjadi lebih berani untuk mengambil setiap jabang bayi yang ada di desa ini.’’

‘’Karena itu, kita harus serahkan semua ini kepada tuan kita. Jangan sampai tuan tidak bisa melahirkan jin kala ireng lainnya.’’

Belum ada yang menyadari, apa yang sedang dipikirkan orang-orang di belakang rencana pembantaian yang akan terjadi tepat saat purnama mendatang.

Mereka yang sudah berada di desa ini harus terkurung dalam sangkar burung yang dibuat oleh Mbak Arumi dan juga Kang Didik.
Terlebih dari itu, mereka berdua sedang mengabdi kepada seseorang yang disebut dengan nama ‘’Tuan’’

Malam harinya, suasana di desa alas wingit sama seperti biasanya. Sepi dan tidak ada aktivitas yang membuat orang-orang keluar dari rumah.
Mereka memilih untuk berdiam diri di dalam rumah semenjak adanya pantangan dilarang keluar bagi siapapun yang sedang hamil.

Di rumah Bapak, kang waris dan juga yang lainnya masih membahas terkait hubungan antara alas wingit dengan yang lainnya.
Bapak juga memberitahu akan hal yang tidak terduga antara alas wingit dan juga keluarga ningrat.

‘’Kita sudah lama mendapatkan teror semacam ini. Terakhir kali, pria misterius yang kita maksud tadi muncul bersamaan dengan puluhan sosok yang berasal dari hutan alas wingit.’’

Kang Waris dan Jaja kaget mendenagr hal itu. Jika memang teror ini sudah berlangsung lama dan di hadapkan langsung dengan penghuni aslinya, itu tandanya, bayi yang berada di dalam kandungan Ibu adalah incaran utama.

‘’Memang benar. Anak ini akan menjadi pemicu antara kehancuran dari keluarga ningrat dan orang-orang yang bersekutu dengan siluman kethek itu.’’ Jelas Kang Waris.

‘’Tapi kang. Apakah Kang Waris tahu? Alas wingit ini masih ada hubungannya dengan keluarga ningrat dan juga keluarga brotoseno.’’

Kang Waris makin terkejut mendengar hal itu. Ia tidak bisa membayangkan antara relasi dari keluarga ningrat dan juga keluarga brotoseno dalam menjalankan segala ambisinya.

‘’Bagaimana kamu tahu?’’ Tanya Kang Waris.

‘’Pria misterius itu sendiri yang mengatakan jika desa ini bekerja sama dengan keluarga ningrat dan juga keluarga brotoseno dalam menjalankan keinginannya dalam menjalani pesugihan ngipri kethek.’’

Sedikit demi sedikit, bapak memberitahu terkait apa yang memang ia ketahui hubungan antara keduanya.
Terlebih lagi, alas wingit bukanlah sembarang hutan yang dikenal oleh Kang Waris.

Di dalam hutan tersebut, kang waris merasakan ada pancaran energi besar yang mungkin saja menjadi pemicu dari bergeraknya para sosok demit yang berada di sana.

‘’Kita harus hentikan ini segera!” Jelas Kang Waris.

‘’Tapi bagaimana caranya kang? Kita masih belum mengetahui siapa sebenarnya pria misterius itu.’’ Ucap Bapak.

Kang Waris mengangguk paham. Ia mengerti ada sesuatu hal yang memang harus diselesaikan secara perlahan.

Semua yang sudah terjadi, pasti ada penyebab awal dimana alas wingit ini mau bekerja sama dengan keluarga ningrat dan juga keluarga brotoseno.
Mereka pun terdiam sejenak. Sembari merancang strategi, kang waris mulai meluruskan alur yang sudah terjadi di desa alas wingit.

Jika memang alas wingit masih ada hubungannya dengan keluarga ningrat dan juga keluarga brotoseno, berarti mereka semua terikat dalam satu hal yaitu perjanjian.
Dalam perjanjian itu, biasanya ada hal-hal yang dijadikan sebagai pertukaran dan juga kesepakatan bersama.

Jika memang alas wingit menjadi wadah bagi keluarga ningrat dan juga keluarga brotoseno, berarti alas wingit juga akan meminta beberapa hal yang dijadikan sebagai penembusnya.

‘’Aku tahu.’’ Ucap Kang Waris yang tanpa disadari telah memecah keheningan mereka semua.

‘’Kenapa kang?’’

‘’Jika memang alas wingit adalah wadah, lalu keluarga lainnya menjadi sebagai penggerak, itu berarti ada orang lain yang menjadi jembatan.’’

‘’Jembatan?’’ Tanya Ibu.

‘’Benar, jembatan. Jembatan itu adalah penghubung di antara pria misterius dari alas wingit dan juga keluarga brotoseno dan keluarga ningrat yang berada di luar alas wingit.’’ Jelas Kang Waris.

Deg! Bapak dan Ibu baru menyadari akan hal itu. Mereka akhirnya mengerti alur permainan dari pelaku yang disebut sebagai jembatan yang baru saja dikatakan oleh Kang Waris.

Jika memang jembatan itu sendiri adalah warga sekitar, maka bisa dibilang orang tersebut sudah memantau Bapak dan Ibu dalam waktu yang lama.

‘’Kita dijebak di sangkar burung ini!’’ Jelas Bapak.

Sementara itu, di dekat hutan alas wingit, beberapa orang sudah berkumpul. Mereka semua sedang merencanakan sesuatu terkait masuknya Kang Waris dan juga Jaja ke dalam desa alas wingit.

‘’Kalian berdua yakin jika itu adalah Waris dan juga Jaja?’’ Tanya seseorang yang bernada berat.

‘’Kami yakin sekali jika mereka menamakan diri sebagai Waris dan juga Jaja.’’ Ucap seorang wanita dengan kepala yang selalu menunduk ke bawah karena rasa takut akibat aura pembunuh yang dikeluarkan oleh orang tersebut.

‘’Bagaimana lingga?’’ Tanya pria bernada berat itu kepada Lingga.

‘’Tenang saja. Kita sudah membawa temannya ke sini. Kita jadikan umpan untuk membunuhnya dalam sekejap.’’ Ucap Pak Lingga sembari menarik paksa salah seorang teman dari Jaja yang diketahui sebagai orang terdekatnya selama berada di pabrik.

Perlahan, seorang pria dengan kepala yang ditutupi tudung berjalan mendekati romobongan keluarga brotoseno dan juga keluarga ningrat.

Dia adalah orang yang disebut sebagai pria misterius dan sebagai tetua di balik desa alas wingit.

‘’Tuan.’’ Ucap Mbak Arumi dan juga Kang Didik.

Pria misterius itu terdiam. Ia lalu membuka penutup kepalanya dan mengatakan sesuatu kepada Raden Angkoro,
‘’Selamat datang kembali ke desa ini, angkoro.’’

Raden Angkoro tersenyum lebar. Kali ini, pasukannya telah berkumpul. Mereka semua merencanakan rencana yang sama yaitu mengambil bayi yang berada di dalam kandungan Ibu saat purnama tiba.

‘’Aku harap, dengan kematian ayahmu, kau lebih bebas dan puas dengan kemampuan yang kau miliki saat ini, tuan muda birawa.’’
Dia adalah Birawa. Anak satu-satunya dari Mbah Jayo yang hilang di hutan alas wingit. Ternyata birawa sendiri masih hidup dan menjadi pembesar di sana.

Belum diketahui mengapa Birawa masih hidup dan menjadi pembesar di sana. Namun dengan apa yang dilakukan oleh Mbah Jayo di masa hidupnya, ritual itu dipergunakan untuk pertukaran kehidupan antara Birawa dengan nyawanya sendiri.

Semua itu berkat Mbak Arumi dan Juga Kang Didik yang mengabdi kepada Tuan muda Birawa. Mereka berdua telah berjasa besar dalam menjalankan apa yang memang diinginkannya.
Lalu saat ritual terakhir yang dilakukan oleh Mbah Jayo, itu semua adalah Kang Didik yang melakukannya.

Dalam artian, birawa baru muncul saat berhadapan langsung dengan Raden Artonegoro ketika memberikan peringatan keras akan kehadirannya kembali ke desa alas wingit.
Sehingga, pria misterius yang membunuh Mbah Jayo adalah Kang Didik, bukan birawa.

Dengan kata lain, terbunuhnya Mbah Jayo disebabkan oleh kang didik yang mana ia sendiri melakukan pertukaran kehidupan antara Mbah Jayo dengan Birawa.

‘’Sudah lama rasanya aku kembali lagi ke desa ini semenjak ayahku menjadikan hidupku sebagai pertukaran antara diriku dengan kesepakatan di masa lalu.’’

Mereka semua berkumpul di desa tersebut. Mereka sama-sama merencanakan hal yang sama yaitu merebut bayi yang berada di dalam kandungan Ibu.
Dengan berkumpulnya seluruh pasukan dari Raden Angkoro, berarti kekuatannya semakin besar.

Selain itu, ada misi tersendiri yang dijalankan oleh masing-masing dari mereka.

‘’Aku sudah rindu dengan artonegoro.’’ Ucap Raden Angkoro sembari memainkan lidahnya.

Sedangkan Raden Jogopati, ia menepuk pundak Raden Angkoro seraya berkata,
‘’Bagaimana jika Si Waris aku jadikan juga sebagai tumbal selanjutnya?” Ucapnya.

‘’Sebelum membunuh keduanya, apakah kalian masih ingat dengan tikus pabrik bawang yang sempat kabur?’’ Tanya Pak Lingga.

Mereka semua masing-masing menginginkan siapa target selanjutnya. Terlebih dari hal itu, birawa hanya menginginkan satu hal,
‘’Aku akan melenyapkan semuanya tanpa tersisa. Mereka adalah ancaman yang nyata bagi keberadaan desa ini.’’ Ucap Birawa.

Mereka semua terdiam seperti tidak ingin ikut campur dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Birawa.
‘’Arumi, didik…‘’ Ucap Birawa.

‘’Siap tuan.’’

‘’Pergi ke rumah itu dan buat mereka semua kebingungan. Salah satu dari mereka yang ada di rumah itu telah menyadari kehadiran kita di sini.’’ Ucap Birawa.

‘’Siap tuan.’’

Tidak lama kemudian, saat Bapak dan juga Kang Waris serta yang lainnya sedang membahas sesuatu, tiba-tiba kang waris merasakan ada aura yang bergesekan dengannya dari arah luar rumah.

‘’Ada apa kang?’’ Tanya Bapak.

‘’Ada sesuatu di luar rumah. Tidak, lebih tepatnya sedikit menjauh dari rumah.’’ Jelas Kang Waris.

‘’Maksudnya dari hutan alas wingit.’’

‘’Entahlah. Aku tidak yakin. Energi ini sangat besar dan membuat tubuhku merinding dibuatnya. Apa jangan-jangan, mereka memantau kita?’’

Bapak terdiam. Ia lalu menatap Ibu dengan tatapan penuh kekhawatiran. Mungkin saja, apa yang selama ini menjadi ketakutan Bapak akan terjadi.

‘’Siapa mereka kang?’’

‘’Aku belum tahu pasti. Tetapi, aku mengenal aura busuk ini. Ini adalah aura dari Raden Angkoro.’’

Bapak pun terkejut mendengar hal itu. Jika memang Raden Angkoro menuju ke desa ini, itu menandakan, pertumpahan darah akan terjadi.

Untuk memecahkan rasa penasaran itu, kang waris segera keluar dari rumah. Ia ingin melihat ada apa di luaran sana sampai-sampai tubuhnya merasakan hawa merinding yang sangat hebat.

Saat Kang Waris keluar rumah, ia terkejut saat melihat dua orang warga sedang berada di hadapan rumah sembari membawakan sesuatu.
‘’Kalian?’’ Tanya Kang Waris.

‘’Maaf mengganggu. Kami membawakan makanan untuk kalian. Kebetulan, suamiku baru saja pulang dari luar desa. Dia membawakan banyak daging kambing. Akhirnya, aku berinisiatif untuk memasaknya agar menjadi menu makan malam kalian semua.’’

Bapak dan yang lainnya juga terkejut saat melihat Mbak Arumi dan juga Kang Didik sudah berada di hadapan rumah.
Seperti ada yang aneh. Biasanya, mereka tidak pernah membawakan hal semacam ini.

Tapi entah mengapa, pikiran bapak saat itu merasa ada yang aneh. Hal ini di karenakan, jika Kang Waris sampai keluar rumah karena merasakan ada gesekan energi besar yang berada di luaran, itu berarti, ada orang-orang yang memang memiliki kanuragan hitam sedang berkumpul di suatu tempat.

Mungkinkah mereka itu adalah Mbak Arumi dan juga Kang Didik? Tetapi, jika mereka berdua memiliki kanuragan hitam, mengapa bapak sendiri tidak merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Kang Waris?

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close