Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BABAK TERAKHIR NGIPRI KETHEK KELUARGA NINGRAT (Part 33) - Ritual Buhul Tali Mayit

"Tiga orang pembesar bersatu untuk memperebutkan ambisinya masing-masing lewat ngipri kethek."


Untuk part 1-32, bisa langsung baca disini.

Babak akhir Ngipri Kethek Keluarga Ningrat Bagian 3 - Ritual Buhul Tali Mayit

PENKHIANAT KELUARGA

‘’Dok! Dok! Dok!’’
Mbak Neneng mengetuk pintu rumah yang dihuni oleh Raden Artonegoro dan yang lainnya. Sembari mengetuk pintu, mbak neneng juga memperhatikan sekitaran.

Ia takut, jika nantinya langkah yang ia ambil menjadi sebuah petaka bagi dirinya sendiri.

Tidak berselang lama, keluarlah seorang wanita dengan seorang anak.
‘’Si—apa? Mbak Neneng?’’
‘’Iya, esa. Ini aku.’’

Ibu melangkah mundur sembari melindung Mas Rahardian. Ibu masih belum tahu maksud kedatangan dari Mbak Neneng yang datang secara tiba-tiba.

‘’Aku tidak bermaksud mengambil anakmu atau turut ikut campur terhadap permasalahan Raden Angkoro. Aku ingin membantu kalian.’’ Jawab Mbak Neneng dengan jujur.

Bersamaan dengan itu, bapak dan yang lainnya keluar. Mereka semua juga terkejut saat melihat Mbak Neneng sudah berada di hadapan rumah.
‘’Mau apa kau datang ke sini?’’ Tanya Bapak.

‘’Aku ke sini karena ada urusan dengan Kang Waris. Ini terkait dengan kematian Jaja.’’ Jelas Mbak Neneng.
‘’Kematian Jaja? Darimana ka—u tahu?’’

’'Kondisi di luar rumah sangat tidak baik untuk menjelaskan hal sedetail ini. Bukankah akan lebih baik jika kita membicarakan ini di ruangan yang tertutup?’’ Tanya Mbak Neneng.

Kang Waris mengangguk paham. Ia kemudian meminta kepada Bapak dan yang lainnya untuk mengikuti arahan yang telah diberikan oleh Mbak Neneng kepadanya.

Kedatangan Mbak Neneng membuat yang lainnya semakin waspada. Entah apa yang mereka pikirkan terkait dengan kedatangan misterius dari Mbak Neneng, mungkin, pertanyaan yang paling mereka ingin tanyakan adalah..

‘’Darimana Mbak Neneng tahu lokasi tempat mereka berada?’’
Ibu membawakan minum dan beberapa makanan untuk dijamu. Mbak Neneng yang memang salah seorang terhormat dari keluarga ningrat benar-benar mempraktikkan cara makan yang anggun dan sesuai dengan adat bangsawannya.

‘’Jika kalian ingin bertanya, silahkan bertanya saja. Aku tidak keberatan harus menjawab semua pertanyaan kalian.’’ Ucap Mbak Neneng.

Bapak pun menengok ke arah Kang Waris. Rasanya, hatinya benar-benar sangat mengebu-gebu untuk melontarkan beberapa pertanyaan atau mungkin banyak kepada Mbak Neneng,

‘’Darimana kau tahu tempat kami ada di sini?’’
Mbak Neneng terdiam sejenak. Ia kemudian menatap ke arah Bapak dengan tatapan yang serius.

‘’Semenjak kalian pergi dari rumah, setiap jejak langkah kalian selalu diikuti oleh Raden Angkoro. Baik ketika kalian berada di Alas Wingit ataupun di Astana Talimongso.’’ Jelas Mbak Neneng.

Bapak tidak percaya dengan jawaban yang baru saja diucapkan oleh Mbak Neneng. Mungkin, bapak akan percaya jika mereka mengikuti semua jejaknya tatkala berada di alas wingit,

namun, bapak sempat terkejut tatkala Mbak Neneng mengatakan bahwa Raden Angkoro dan yang lainnya juga ikut berkecimpung di Astana Talimongso.

‘’Bukankah tidak ada satu pun orang-orang di keluarga ningrat dan keluarga brotoseno tahu tentang tempat itu?” Tanya Bapak.

‘’Ki Broto adalah musuh dari Raden Angkoro. Dia yang berada di Astana Talimongso bagaikan sebuah ancaman bagi Raden Angkoro dan yang lainnya. Hal ini disebabkan, desa itu merupakan desa tumbal yang dibuat sendiri oleh Ki Batoro atas bantuan dari Nyi Randasari.’’

Bapak tidak yakin jika hal ini benar-benar sangat tepat terkait dengan apa yang memang sedang diincar oleh Raden Angkoro.

Jika Ki Batoro menginginkan bayi yang dikandung oleh Ibu, maka raden angkoro berusaha melindungi Ibu dari gangguan Ki Batoro,
‘’Dengan kata lain, raden angkoro sendiri sengaja melindungi kami karena tujuannya tertentu?’’ Tanya Bapak.

‘’Benar. Itu adalah tujuan dari Raden Angkoro.’’
‘’Jadi, yang membunuh Ki Batoro adalah … ?’’
‘’Raden Angkoro!’’

‘’Krek!’’
Mas Pangarep membuka sebuah ruangan khusus tempat dimana Mbak Ayu dikunci di dalamnya. Ia sengaja melakukan hal ini karena Mbak Ayu adalah satu-satunya orang dari keluarga ningrat yang tidak menyetujui adanya ritual buhul tali mayit.

‘’Mbak? Bukankah lebih baik mbak bergabung bersama kami?’’ Tanya Mas Pangarep.
‘’Aku awalnya menyetujui langkah kalian. Tapi dengan membangkitkan para pocong tanpa tali dan penutup kepalanya, aku benar-benar tidak setuju!’’

‘’Mbak… ini demi mempersingkat waktu.’’
‘’Aku tidak peduli!’’
‘’Ritual buhul tali mayit dipergunakan untuk menghancurkan semua orang-orang yang tidak menyetujui langkah kita.’’

Mbak Ayu berusaha keras untuk membuka ikatan tali yang ada di bagian tangan dan juga kakinya. Ia benar-benar tidak menyetujui adanya ritual yang membangkitkan seluruh orang-orang yang sudah meninggal dunia.

Mas Pangarep pun hanya terdiam. ia kemudian membalikkan badannya dan kembali melangkah keluar.
Namun, sebelum Mas Pangarep menutup pintu, mbak ayu berteriak dengan kencang,
‘’Lepaskan aku, pangarep! Lepaskan!’’

Mas Pangarep pun menatap wajah kakaknya dengan tatapan yang mengerikan. Ia tersenyum sembari mengatakan sesuatu,
‘’Mbak? Bukankah mbak sendiri yang mengatakan jika neraka terbentuk karena kelalaian kita sendiri?

Sekarang, mbak lalai dan tidak mau mengikuti langkah kita. Bukankah itu balasan yang setimpal dengan apa yang mbak lakukan?” Ucap Mas Pangarep.

Akan tetapi, bukannya ketakutan, justru Mbak Ayu tertawa mendengar ocehan peringatan dari mulut Mas Pangarep,
‘’Hahaha! Kau tahu? Saat salah satu orangmu telah membalikkan telapak tangan, kau dan seluruh kaum ningrat beserta para manusia bodoh yang mengikutinya, mereka semua akan merasakan sebuah balasan yang tidak pernah kau ketahui sebelumnya.’’

‘’Balasan?’’
‘’Apakah kau tahu, raja akan tunduk kepada Ratu tapi keduanya akan kalah dengan yang namanya KUDETA DALAM NERAKA?’’

Mas Pangarep tidak paham maksud dari perkataan Mbak Ayu. Ia menilai jika Mbak Ayu hanya memberikan peringatan dan ancaman kepadanya.
‘’Apa maksudmu?’’
‘’Aku menyebutnya sebagai PENGKHIANAT KELUARGA!’’

Mas Pangarep pun segera menutup pintu dengan rapat. Ia tidak memperdulikan perkataan yang dikatakan oleh Mbak Ayu kepada dirinya.
Akan tetapi, dari dalam kamar, mbak ayu masih terus tertawa terbahak sembari menyebutkan,
‘’DIA AKAN MEMBALIKKAN SEMUA KEADAAN!’’

Sementara itu, mbak neneng masih menunggu pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Raden Artonegoro dan yang lainnya,
‘’Bagaimana?’’ Tanya Mbak Neneng.
‘’Aku ingin bertanya, siapa saja orang-orang yang mendatangi Astana Talimongso?’’

‘’Yang aku tahu ada tiga. Satu anggota brotoseno, satu lagi keluarga ningrat dan satu lagi…‘’
‘’Satu lagi?’’
‘’Orang yang masih terikat dengan tragedi Pabrik Bawang. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam menutupi kasus tersebut.’’

‘’Pak Lingga?’’
‘’Bukan.’’
‘’Tapi siapa?’’
Semua orang yang berada di dekat Mbak Neneng menjadi sangat penasaran. Tampaknya, jika dilihat-lihat dari apa yang baru disampaikan oleh Mbak Neneng, orang ini bukanlah orang biasa.

Kemungkinan besar, orang yang mampu menutupi kasus sebesar ini adalah orang-orang yang memiliki kekuatan besar yang mampu memanipulasi berita bohong yang tersebar kepada semua akses yang ada di sekitarannya.

‘’Kau akan tahu nanti arto. Untuk sekarang, aku tidak bisa menjawabnya. Karena, semuanya sudah terlambat.’’

‘’Terlambat?’’
‘’Dia adalah musuh yang selama ini kau anggap baik-baik arto.’’
Mbak Neneng pun tersenyum ke arah mereka semua. Hanya Kang Waris yang memahami perkataan itu. Namun, dia tidak langsung mengatakan hal demikian karena bisa jadi Bapak tidak mempercayainya.

‘’Aku ke sini ingin berurusan dengan Kang Waris. Mungkin, ini akan menjadi sebuah tawaran yang mengaitkan kepada hidup dan mati.’’
‘’Tawaran?’’ Tanya Kang Waris.

‘’Bisa dibilang, satu kakimu sudah berada di takdir kematian dan satunya masih berada di tempat yang kau huni sekarang.’’

Kang Waris belum memahami apa yang dimaksud oleh Mbak Neneng terkait tawarannya. Mungkinkah tawaran ini mampu menghalau langkah yang lainnya?
‘’Apa maksudmu?’’
‘’Apakah kau tahu terkait buhul tali mayit?’’

Deg! Mendengar kalimat itu, kang waris langsung bergerak maju dan mengarahkan tamparan kepada Mbak Neneng.
Namun dengan cepat, raden kuncoro langsung mengahalanginya dan meminta kepada Kang Waris untuk bersikap tenang.

‘’Lepaskan! Aku ingin menghajar wanita ini!’’ Teriak kang Waris.
‘’Tenang kang! Kita tidak tahu apa gunanya dari buhul tali mayit itu!’’ Jelas Raden Kuncoro.

Bersamaan dengan itu, bapak langsung menepuk pundak Raden Kuncoro. Ia kemudian meminta kepada Raden Kuncoro untuk mendengarkan penjelasan darinya,

‘’Kuncoro… Kau tahu? Jaja terbunuh karena ritual itu. Itu adalah ritual yang mampu membunuh seseorang dengan cara dirasuki tubuhnya dengan sosok-sosok yang sudah dikontrak oleh tuannya.’’ Jelas Bapak.

Raden Kuncoro pun melepaskan secara perlahan tangan Kang Waris. Mbak Neneng hanya tersenyum. Ia begitu menikmati pertikaian antara Kang Waris, raden kuncoro dan juga Bapak hanya sebab kedatangannya.

‘’Jadi? Jaja meninggal dunia karena ritual itu?’’ Tanya Raden Kuncoro kepada Mbak Neneng.
Mbak Neneng hanya mengangguk. Ia kemudian tersenyum ke arah Jaja dan mengatakan sesuatu kepadanya,

‘’Ritual itu hanya dimiliki oleh orang tertentu saja. Akan tetapi, ritual ini memiliki sebuah pengaruh besar baginnya sendiri.’’
‘’Pengaruh besar?’’

‘’Mereka yang sudah dikontrak dengan ritual ini, mereka harus siap jika tubuhnya akan menjadi penukar jiwa baginya sendiri.’’
‘’Penukar jiwa?’’
‘’Nyawa dibalas dengan nyawa!’’

Mas Pangarep segera memasuki kamarnya. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya bisa menyelesaikan ini semua dengan cepat. Terlebih lagi, beban yang sekarang ia pegang sangatlah besar.

‘’Andai saja Artonegoro mau menyerahkan diri, maka, tidak akan ada lagi pertumpahan darah di keluarga ini! Sialan!’’
Di saat Mas Pangarep sedang kesal dengan keadaan, tiba-tiba, pintu diketuk dari luaran,
‘’Tok! Tok!’’
‘’Masuk.’’

Mbak Mawar (Isteri Mas Pangarep) masuk ke dalam kamar. Ia kemudian melihat wajah Mas Pangarep yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan.
‘’Mas? Mas ada masalah apa?’’ Tanya Mbak Mawar. Ia pun duduk tepat di sebelah Mas Pangarep.

Dalam hati, mas pangarep hanya terdiam. Ia belum mau membuka permasalahan tersebut kepada isterinya sendiri.
Walau demikian, ia merasa bersalah jika apa yang dilakukannya benar-benar tidak sesuai dengan ekspetasi isterinya.

Perlahan, kedua tangan Mbak Mawar memeluk tubuh suaminya. Ia sudah lama tidak bermesraan dengan suaminya sendiri semenjak disibukkan dengan segala ambisi yang membuatnya lupa akan hubungan dirinya dengan Mas Pangarep.

‘’Mas, apakah semuanya akan selesai?’’
‘’Pasti isteriku. Semuanya akan selesai. Kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Mahkota ngipri kethek berada di tubuhmu.’’

Sudah beberapa tahun Mas Pangarep dan juga Mbak Mawar menikah namun keduanya belum memiliki keturunan.
Keduanya memang menjeda hal itu dikarenakan adanya keterikatan terhadap aturan yang menyebutkan bahwa,

‘’Setiap anak yang nantinya terlahir dari keluarga ningrat, maka, anak tersebut harus rela untuk dijadikan tebusan. Namun, anak yang nantinya dijadikan tebusan akan mengambil jiwa dari kedua orang tuanya.’’

Dalam artian, jika mas pangarep dan juga mbak mawar memiliki anak, maka, anak dan juga keduanya akan menjadi tumbal dari ngipri kethek yang sedang mereka jalani.

Karena itulah, mas pangarep tidak menginginkan adanya keturunan sebelum ngipri kethek ini diselesaikan dengan cepat.
Salah satu cara yang mereka pergunakan adalah dengan cara menumbalkan anak yang masih dikandung oleh Nyi Esa.

Anak itulah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dari terselesaikannya ngipri kethek yang sedang mereka jalankan.
Mbak Neneng masih menjelaskan terkait rangkaian dari rencana yang telah dilakukan oleh Raden Angkoro untuk bisa mendapatkan anak dari Nyi Esa.

Hanya saja, dirinya belum berani membuka secara jelas terkait orang yang menjadi jembatan dirinya hingga bisa tahu lokasi dari tempat Raden Artonegoro dan yang lainnya yang sedang bersembunyi.

Raden Kuncoro yang memang sudah mengetahui ada yang menjanggal dari segala perkataan Mbak Neneng segera angkat bicara,

‘’Jika memang kedatanganmu hanya untuk memberikan kabar terkait serangan balik terhadap Raden Angkoro, lalu, apa peranmu dan berada di pihak mana sekarang dirimu berada?’’

Pertanyaan dari Raden Kuncoro cukup membuat Mbak Neneng kebingungan. Namun anehnya, mbak neneng tetap tersenyum walau dirinya merasa tersudutkan untuk menjawab pertanyaan yang sedikit menjebak dirinya.

Ia hanya menghela nafas panjang sembari membereskan lengan bajunya yang sudah kusut akibat perjalanan jauh dari rumahnya menuju ke lokasi tempat dimana Raden Artonegoro dan yang lainnya bersembunyi.

Sesekali tatapannya mengarah kepada Nyi Esa dan juga Rahardian kecil yang masih belum melepaskan pelukannya terhadap Ibunya sendiri. Ia masih merasa kehilangan sosok Jaja yang sering mengajaknya bermain.

‘’Manusia itu unik, ya. Ada yang memiliki niat baik, namun selalu dicurigakan. Namun, adakalanya dia memang sudah benar-benar memiliki niat jahat yang tersembunyi dalam hati, namun dia jadikan itu sebagai saudara dan pelapis dalam kesendiriannya.

Adakah yang lebih munafik dari wajahku ini? Apakah karena kedatanganku yang terlambat dan mengetahui rahasia dari semua alur yang telah dititahkan Raden Angkoro lalu kalian semua menganggapku sebagai musuh yang menyamar sebagai tamu?’’

Perkataan dari Mbak Neneng memang tidak salah namun juga tidak benar. Beberapa kalimatnya seperti ingin membela diri agar dirinya dipercaya sebagai orang yang tidak lagi terikat dengan alur ‘’Ngipri Kethek’’ yang sedang dijalankan oleh Raden Angkoro beserta jajarannya.

Namun, apa yang memang sudah diperjelas oleh Mbak Neneng memang ada benarnya. Dia sengaja memberikan rahasia yang tidak diketahui oleh Kang Waris dan juga Bapak terkait kematian Jaja yang disebabkan oleh ‘’Ritual Buhul Tali Mayit’’

Jelas sudah memang apa yang sudah disampaikan oleh Mbak Neneng kepada Raden Kuncoro. Semua sudah benar-benar dipaparkan dengan jelas termasuk hal yang berkaitan dengan alat pembunuh yang sedang dimiliki oleh Keluarga Brotoseno dan juga Keluarga Ningrat.

‘’Mas Pangarep adalah pion dari penyerangan ini. Dan ratu dari Ngipri kethek ini adalah…‘’

Semua terdiam. Bapak dan yang lainnya benar-benar menunggu jawaban yang menjadi kunci utama dari ‘’Ngipri Kethek’’ yang sedang dijalankan oleh Keluarga Brotoseno dan juga Keluarga Ningrat.
‘’Mbak Mawar!’’

Deg! Mereka benar-benar tidak percaya akan fakta yang baru saja dipaparkan langsung oleh Mbak Mawar.
Mereka ngira, ratu kethek dari susunan pesugihan ini adalah Mbak Neneng.

Pasalnya, tatkala Raden Angkoro pertama kali mendatangi rumah, mbak neneng adalah orang yang disebut-sebut memiliki rahasia umum dan khusus terkait pesugihan ini.

‘’Mm—bak mawar?’’ Tanya Bapak.
‘’Benar.’’
‘’Kenapa dia?’’
‘’Mbak Mawar masih memiliki darah Brotoseno. Dia juga adalah dalang di balik terbunuhnya Nyi Endang. Semua rahasia dari Keluarga Ningrat, mbak mawar memberitakannya kepada Raden Angkoro dan juga Raden Jogopati!’’

Mbak Neneng hanya terdiam tatkala dirinya menjelaskan semua itu. Ada dimana dirinya merasa menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Ibunya sendiri dan juga beberapa saudaranya yang lain,

‘’Tapi? Tapi kenapa dirimu hanya diam? Mengapa ketika Ibu terbunuh, mbak ina dan juga mas sugeng menjadi tumbal, kau hanya terdiam, mbak?’’ Tanya Ibu.

Ibu menangis seketika. Air matanya tidak bisa terbendung lagi. Mas Rahardian mulai menggenggam kuat pelukannya. Ia merasa ketakutan tatkala emosi bercampur dengan perasaan marah menjadi satu.

‘’Maaf, sa. Aku benar-benar manusia paling hina di muka bumi ini. Aku tahu, aku salah. Aku sengaja bergabung dengan mereka karena ingin mencari kelemahan mereka.’’

Penuturan Mbak Neneng layaknya seperti air yang mengalir dari tempat yang tinggi lalu terjatuh ke tempat yang paling rendah dengan debit yang sangat banyak.

Sifat rendah diri yang tergambarkan oleh Mbak Neneng benar-benar tergambarkan jelas dari raut wajahnya yang membutuhkan pertolongan.

Bapak segera menuju ke tempat Mbak Neneng. Ia kemudian memegang pundak Mbak Neneng sembari mengatakan sesuatu,
‘’Apa yang harus kita lakukan agar ngipri kethek ini terselesaikan?”
‘’Ada satu cara untuk menyelesaikannya.’’

‘’Apa itu?’’
‘’Bunuh ratunya, maka sang raja akan mengamuk. Jika sudah mengamuk, maka sang raja akan kehilangan kendalinya!’’

Sementara itu, dari luaran, dua orang yang memang memiliki hak terhadap rumah tersebut melangkah menuju ke arah rumah Raden Artonegoro.
Mereka adalah Ibu Melan dan juga Pak Subroto. Keduanya sepertii merasa ada yang aneh dengan rumah Raden Artonegoro.

Entah darimana mereka merasakannya, namun, langkah mereka benar-benar terdengar jelas dari luaran,
‘’Pak! Ada yang datang!’’ Ucap Ibu.
‘’Itu pasti Bu Melan dan Pak Subroto!’’ Jelas Mbak Neneng.
‘’Dari mana kau tahu?’’ Tanya Raden Kuncoro.

Mbak Neneng merasa dirinya telah membuka kartu dengan mengatakan hal semacam itu kepada mereka semua,
‘’Jangan-jangan, kau memang mengetahui lokasi kami karena mereka berdua?’’ Tanya Raden Kuncoro.
‘’Itu bukan urusan yang penting sekarang!

Bapak segera menarik tangan Mbak Neneng menuju sebuah lemari besar yang ada di kamarnya.
Raden Kuncoro hanya melihat wajah Mbak Neneng yang penuh dengan teka-teki. Akan tetapi, mbak neneng merasa sedikit lega karena semuanya sudah terungkap.

‘’Mas Kuncoro, basahi lantai dengan air. Mbak Ratih, ambil kain untuk menutupi air tersebut.’’ Jelas Bapak.
Raden Kuncoro segera mengambil air. Sedangkan Nyi Ratih segera melaksanakan tugasnya.

Air yang dibawa oleh Raden Kuncoro segera ditumpahkan ke lantai. Sedangkan Nyi Ratih segera menutupinya dengan kain.

Sesaat setelah Mbak Neneng disembunyikan, ibu dan mas rahardia masuk ke kamar, pintu pun diketuk dari luaran,
‘’Dok! Dok! Dok!’’

Ketukan pertama tidak mereka hiraukan. Mereka masih menunggu aba-aba Bapak dan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Namun, ketukan kedua berbarengan dengan kalimat peringatan yang diucapkan oleh Pak Subroto,

‘’Aku tahu, ada tamu luar yang bersembunyi di rumah ini. Jika aku boleh tebak, dia masih memiliki ikatan darah denganmu, nyi esa.’’

Deg! Bapak dan yang lainnya terkejut mendengar hal tersebut. Mereka semua tidak mengira, bahwa Pak Subroto benar-benar mengetahui kedatangan Mbak Neneng!

Jadi, bagaimana? Apakah ngipri kethek ini bisa diselesaikan?

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close