Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BABAK TERAKHIR NGIPRI KETHEK KELUARGA NINGRAT (Part 34) - Ritual Buhul Tali Mayit

"Tiga orang pembesar bersatu untuk memperebutkan ambisinya masing-masing lewat ngipri kethek."


Untuk part 1-33, bisa langsung baca disini.

Babak akhir Ngipri Kethek Keluarga Ningrat Bagian 4 - Ritual Buhul Tali Mayit

‘’MISI PENANGKAPAN’’

(AKHIR KELUARGA NINGRAT)
Sebelum Pak Subroto memasuki rumah, mbak neneng telah mengatakan terkait kegunaan dari tali pocong yang dibawanya itu.

‘’Jika tali pocong itu berpindah tangan, maka, belasan pocong itu akan menampakkan diri. Mereka akan menganggap pemegang tali pocong itu sebagai tuan.’’ Jelas Mbak Neneng.

Kang Waris menyadari akan kekuatan besar yang memang menjadi poros dari serangan kali ini.
‘’Lalu, apa dampaknya?’’

‘’Kau ingin menyelamatkan Mas Arto, kan? Ini adalah satu-satunya cara untuk bisa membebaskan mereka semua dari seluruh rangkaian ngipri kethek yang dijalankan oleh Raden Angkoro.’’

Kang Waris sadar. Ia sudah berada di ujung tombak. Kehidupannya tidak akan lama lagi jika dia menjalankan ritual ini.
Akan tetapi, jika bayi itu jatuh ke tangan Raden Angkoro, maka, semuanya akan berakhir dengan mudah.
‘’Baiklah. Aku akan lakukan itu.’’

Mbak Neneng lalu meminta kepada Kang Waris untuk melukai masing-masing jari kelingkingnya dan mengucurkan darah yang keluar dari luka tersebut untuk selanjutnya diletakkan di bagian tengah masing-masing tali pocong yang sudah disediakan.

Saat dimana Kang Waris melakukan hal tersebut, tiba-tiba, dia langsung merasakan hawa merinding yang begitu pekat.
Seluruh ruangan menjadi gelap. Bau busuk mulai tercium dari mana-mana.
‘’A—pa ini?’’

Mbak Neneng hanya tersenyum. Ia pun kemudian membisikkan sesuatu di telinga Kang Waris,
‘’Ini adalah senjata yang digunakan Raden Angkoro. Bangkitnya belasan pocong dari korban Ngipri Kethek!’’

Tiba-tiiba, terdengar suara yang sangat familiar dari berbagai arah. Kang Waris tahu akan pertanda suara itu. Suara ini adalah suara pertanda akan hadirnya sosok pocong,
Dan benar saja. Di setiap sudut rumah, kang waris melihat sosok pocong yang sudah tertunduk di hadapannya,

‘’Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka menunduk semua di hadapanku?’’
‘’Kau adalah tuan. Jadi, mereka akan melakukan apa saja atas perintahmu.’’
‘’Jadi, ini yang dilakukan Pangarep?’’

Mbak Neneng hanya mengangguk. Terlihat dengan jelas, wajah Kang Waris yang benar-benar tampak kelelahan karena menahan energi besar dari senjata terakhir itu.
‘’Genggam yang kuat. Mereka akan menghilang dengan sendirinya.’’

Kang Waris menggenggam kuat tali pocong yang sudah diikatkan menjadi satu itu. Lalu, tidak berselang lama, ruangan kembali seperti semula.
Belasan pocong itu menghilang dengan sendirinya. Namun, bersamaan dengan itu, tubuh Kang Waris menjadi lemas.

Dengan begitu, kang waris sudah dijadikan tuan oleh para sosok pocong. Akan tetapi, dia juga harus siap menanggung resiko dengan menukarkan jiwanya kepada belasan sosok pocong tersebut. Hal inilah yang disebut dengan ‘’Ritual buhul tali mayit.’’

Pak Subroto menatap tajam ke arah Bapak dan yang lainnya. Kedua tangannya mengepal kencang seperti ingin menghajar seseorang yang sudah membuatnya menjadi naik darah.

Dari luaran, terdengar suara langkah kaki yang saling bersahutan. Pak Subroto tersenyum. Dia tahu, semuanya sudah selesai. Dalam beberapa hari ini, pak subroto dan juga Bu Melan telah memperkirakan hari kelahiran dari Ibu.

Dan benar saja. Gerombolan orang suruhan Pak Subroto dan juga Bu Melan telah datang tepat waktu di hadapan rumah.
Bapak dan yang lainnya hanya bisa mengangkat tangan ketika orang-orang suruhan Pak Subroto dan juga Bu Melan mulai menodongkan senjata mereka.

‘’Jadi, siapa tamu yang datang ke rumah ini?’’ Tanya Pak Subroto.
Bapak hanya terdiam. Raden Kuncoro mulai kehabisan kesabarannya. Ia mencoba untuk maju dengan tangan yang sudah benar-benar mengepal dengan keras.

‘’Brengsek kau, subroto! Kau menjebak kami di rumah ini, kan?’’ Tanya Raden Kuncoro.
‘’Ritual Buhul Tali Mayit sudah berjalan. Jadi, karena itulah, aku mencoba untuk mengambil langkah sendiri agar bisa menyelesaikan semua ini dengan cepat.’’

Mbak Neneng yang masih bersembunyi di dalam lemari terkejut setelah mendengarkan perkataan dari Pak Subroto.
Namun di lain sisi, mbak neneng tetap tenang. Dia sudah memindahkan semua tali pocong itu ke genggaman Kang Waris.

Kang Waris tidak bisa diam melihat Pak Subroto yang mengarahkan perintah untuk mengeluarkan tamu tersebut melalui ancamannya. Ia pun kemudian menggenggam tali pocong yang ada di dalam sakunya.

Tidak berselang lama, belasan pocong muncul tepat di belakang masing-masing orang suruhan Pak Subroto dan juga Ibu Melan.

‘’Jadi, kapan kalian akan mengeluarkan tamu itu dari dalam rumah ini?’’
Pak Subroto terus mencoba untuk membujuk kepada Bapak dan yang lainnya agar mau mengeluarkan tamu tersebut.

Akan tetapi, dari balik kamar, keluar seorang wanita sembari menepukkan kedua tangannya,
‘’Hebat sekali, pak! Kau bisa mengetahui lokasiku di tempat ini.’’ Ucap Mbak Neneng.
‘’Kenapa kau keluar?’’ Tanya Kang Waris.

Mbak Neneng pun berjalan ke arah Kang Waris. Ia kemudian menepuk pundak Mbak Neneng sembari mengatakan sesuatu dengan lirih,
‘’Belum saatnya, kang. Ikuti rencanaku. Jangan sampai dia tahu kalau tali pocong itu ada di pihak kita.’’ Ucap Mbak Neneng.

Mbak Neneng meminta kepada Kang Waris untuk melepaskan genggaman tali pocong yang ada di dalam kantongnya tersebut.

Mbak Neneng tahu, jika Pak Subroto atau Ibu Melan tahu akan rencananya, maka, semuanya akan usai dengan cepat.
Dan rencana untuk mengembalikan kedudukan serta menggagalkan ngipri kethek akan gagal karenanya.

Kang Waris mencoba untuk melepaskan genggaman tangannya terhadap tali pocong tersebut. Hanya saja, kang waris merasa tertekan di saat dirinya melihat belasan pocong sedang berada di dalam satu ruangan.

Perlahan, kang waris pun melepaskan genggaman tali pocong tersebut. Dengan sendirinya, sosok-sosok pocong tersebut akhirnya menghilang.

Mbak Neneng pun mendekati Pak Subroto. Ibu Melan menatap wajah Mbak Neneng dengan tatapan yang sinis. Ia tahu, jika kehadiran Mbak Neneng bukanlah tanpa sebab.

Kemungkinan besar, ada sesuatu yang memang sudah direncanakan oleh Mbak Neneng sampai-sampai dirinya mendatangi lokasi dari rumah Raden Artonegoro.
‘’Bawa Mbak Neneng keluar dari rumah ini.’’

Perintah dari Pak Subroto pun langsung dijalankan oleh para orang-orang suruhan Pak Subroto. Kedua tangan Mbak Neneng langsung diikat menggunakan tali. Lalu, ia diseret seperti layaknya pencuri yang memasuki rumah milik tuannya.

Bapak pun tergerak hatinya untuk menolong Mbak Neneng. Namun dengan sigap Pak Subroto langsung menodongkan senjatanya ke arah wajah Bapak.

‘’Jangan ikut campur, artonegoro. Setidaknya, peluru yang nantinya kutembakkan akan berguna pada waktunya. Jadi, bertahanlah sebentar lagi sebelum waktu kematianmu tiba.’’

Bapak langsung terdiam. Mbak Neneng pun hanya tersenyum mendengar penuturan kalimat ancaman dari mulut Pak Subroto. Ia seperti mengerti akan maksud dari setiap perkataan yang memuat banyak teka-teki itu.

Pak Subroto pun keluar dari rumah sembari menyuruh bawahannya untuk membawa Mbak Neneng ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkan olehnya.

Hari itu, bapak dan Kang Waris serta yang lainnya cukup terkejut melihat Pak Subroto dan Bu Melan menangkap langsung Mbak Neneng di rumahnya.

(Rumah Keluarga Ningrat)
‘’Plak!’’
Satu tamparan melayang tepat di pipi sebelah kanan Mbak Neneng. Kali ini, orang yang berani menampar langsung Mbak Neneng adalah orang yang disebut-sebut sebagai Ratu Kethek.

‘’Mengapa kau pergi ke rumah mereka? Apakah kau ingin membocorkan semua rahasia dan rencana kita kepada mereka?’’
Mbak Neneng menundukkan kepalanya sembari tersenyum. Ia kemudian berlagak aneh. Perlahan tangannya memegang pipi sebelah kanan sembari mengatakan sesuatu,

‘’Apakah mbak tahu? Di dunia ini ada yang namanya hukuman berbalas hukuman?’’
Di sebuah kursi yang sudah dipersiapkan,
seluruh keluarga berkumpul.

Tak terkecuali Raden Angkoro dan juga Pak Lingga. Keduanyabenar-benar tidak menyangka jika Mbak Neneng menjadi pengkhianat dalam lingkaran mereka.

‘’Orang yang menampar, akan terkena tamparan. Orang yang memukul, akan terkena pukulan. Orangyang menendang, akan ditendang…‘’ Ucap Mbak Neneng.

Mbak Mawar merasa muak dengan segala ocehan yang keluar dari mulut Mbak Neneng. Kedua tangannya benar-benar sangat gatal. Ingin rasanya Mbak Mawar menyumpal mulut Mbak Neneng dengan beberapa kali tamparan lagi.

‘’Semua ada bayarannya, mbak. Itu namanya Karma. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.’’ Ucap Mbak Neneng sembari mengangkat kepalanya dan menatap wajah Mbak Mawar dengan tatapan yang tidak biasa.

Raut wajah Mbak Neneng berubah drastis. Ia seperti menantang Mbak Mawar untuk melakukan tindakan lain untuk dirinya. Satu buah tamparan sepertinya belum cukup untuk membuat Mbak Neneng terdiam.

‘’Coba tampar aku sekali lagi mbak. Yang tadi tamparannya kurang bertenaga.’’ Ucap Mbak Neneng.

Mbak Mawar sempat kesal mendengar kalimat itu. Ia tidak menyangka jika Mbak Neneng benar-benar sangat berani untuk menentangnya.

Keberanian Mbak Mawar sedikit menciut tatkala dirinya menatap ke arah belakang tepat dimana orang-orang di sekitarnya sedang menyaksikan perlakuannya.

Ia sesekali melihat saudaranya, raden angkoro, yang tampak sedang fokus memantau perbuatannya terhadap Mbak Neneng.
‘’Apakah kau tahu? Setiap darah yang telah menetes ke tanah, maka akan tumbuh menjadi serpihan dendam yang menyatu dalam sebuah tubuh?’’ Tanya Mbak Neneng.

‘’Bicara apa kau, neneng?’’
‘’Waktu kalian sudah habis. Kalian sudah meletakkan petaka terhadap tubuh kalian sendiri.’’

Mbak Mawar segera menjambak rambut Mbak Neneng lalu meludahinya tepat di bagian wajah.
Mbak Neneng hanya terdiam sembari mengusap ludah yang dikeluarkan dari mulut Mbak Mawar,
‘’Apa yang telah kau berikan kepada Arto?’’
‘’Aku tidak akan memberitahu itu.''

Mbak Mawar menekan keras rambut Mbak Neneng dengan tangan kanannya. Ia tidak segan-segan menarik rambut Mbak Neneng jika pertanyaannya tidak dijawab sesuai dengan keinginannya.
‘’Cepat katakan!’’

‘’Aku hanya memberitahu tentang rahasia terbesar dari Ngipri Kethek yang kalian lakukan!’’
Jelas Mbak Neneng sembari memberikan senyuman kepada Mbak Mawar

‘’Rahasia apa?’’
‘’Aku memberitahu kepada mereka semua untuk
segera mengakhiri permainan ini!’’

‘’Apa maksudmu?’’
‘’Dalam permainan catur, jika ratu sudah kalah,
maka permainan akan usai. Dalam Ngipri Kethek,
jika dirimu berhasil dibunuh, maka semuanya
akan terhenti!’’

Deg! Mbak Mawar segera mendorong tubuh Mbak Neneng hingga terjatuh dan kepalanya membentur lantai. Semua orang yang ada di sekitaran terkejut mendengar penuturan dari Mbak Neneng yang telah berhasil membongkar rahasi penting dari teka-teki Ngipri Kethek ini.

‘’Sialan, kau! Bajingan! Mengapa kau lakukan itu!
Mengapa kau beritahu mereka!’’ Mas Pangarep segera menenangkan Mbak Mawar (isterinya).
Ia meminta kepada Mbak Mawar untuk tenang dalam menginterogasi Mbak Neneng yang dikenal sangat cerdas dalam menaikkan atmosfer emosi seseorang.

‘’Sabar! Jangan terpancing dulu!’’
Pak Subroto dan Ibu Melan merasa tidak tahan. Ia berdua hanya menatap Raden Angkoro yang sedang memantau tingkah dua wanita yang sedang berurusan itu.
‘’Angkoro? Apakah tidak sebaiknya kita sekap Neneng bersama dengan Ayu?’’ Usul Pak Subroto.

Raden Angkoro hanya meletakkan jari telunjuknya ke bagian mulut seperti memberi tanda kepada Pak Subroto untuk terdiam.
‘’Jangan berbicara sebelum urusan ini kelar.’’

Deg! Semua langsung terdiam. Hawa kematian dari tubuh Raden Angkoro benarbenar keluar hanya dengan satu kalimat yang ia lontarkan.
Mas Pangarep sendiri sampai merasakan hawa merinding yang begitu menakutkan. Semua orang yang ada di tempat itu menundukkan kepala.

Raden Angkoro benar-benar dalam posisi yang sangat marah. Namun, ia tidak bisa meluapkan amarahnya karena orang yang kali ini bermasalah adalah calon pengantinnya sendiri.

‘’Di dunia ini, jika dirimu kuat, jadilah seorang
pembunuh. Akan tetapi, jika dirimu lemah,
jadilah pengkhianat.’’
Raden Angkoro mulai bangkit dari duduknya. Ia kemudian berjalan mendekati Mbak Neneng yang sedang dalam kondisi tidak bisa bergerak sama sekali karena aura kematian yang dikeluarkan oleh Raden Angkoro barusan.

Langkah Raden Angkoro benar-benar membuat jantung mereka berdegup dengan kencang. Tidak ada satu pun orang yang berani menatap wajah Raden Angkoro jika aura kematiannya ia buka dengan sendirinya.

‘’Akan tetapi, jika dirimu menjadi pengkhianat,
berilah kejujuran pada hatimu. Apakah hidupmuu layak untuk diperjuangkan?’’
Kali ini, raden angkoro turun tangan. Ia kemudian merendahkan tubuhnya tepat di hadapan Mbak Neneng.

Jari tangan kanannya mulai digerakkan. Perlahan, dagu Mbak Neneng disentuh oleh jari telunjuk Raden Angkoro.
‘’Jadi, apakah ada upacara kematian yang layak
untuk para pengkhianat?” Ucap Raden Angkoro.

Dada Mbak Neneng tiba-tiba menjadi sesak. Nafasnya mulai terengah-engah. Kedua tangan Mbak Neneng langsung reflek memegangi dadanya karena merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya.

Raden Angkoro langsung memegangi kedua tangan Mbak Neneng. Ia benar-benar sangat mencintai Mbak Neneng dan tidak ingin jika Mbak Neneng berkhianat untuknya.

Akan tetapi, nafas Mbak Neneng semakin
tidak normal. Ia berusaha untuk melepaskan
genggaman tangan Raden Angkoro. Akan tetapi,
raden angkoro menggenggam kedua tangan
Mbak Neneng dengan kencang.

Saking kencangnya, saat dimana Raden Angkoro
menggenggam tangan Mbak Neneng terdengar
suara tulang yang hancur di bagian jari jemari
Mbak Neneng.

Semua yang berada di lokasi kejadian tidak
berani untuk menatap Raden Angkoro. Mereka
semua seperti dituntut untuk diam di saat Raden
Angkoro sedang melakukan eksekusi terhadap
Mbak Neneng tepat di hadapan mereka semua.

‘’Bagaimana mungkin, orang yang aku cintai
benar-benar menusukkan belatinya tepat di
jantungku?’’ Ucap Raden Angkoro.
Raut wajah Mbak Neneng benar-benar seperti orang yang sedang menghadapi sakaratul maut. Kedua matanya meneteskan air mata.

Ia tidak sanggup menahan rasa sesak yang ada di
bagian dadanya. Saat dimana Mbak Neneng sedang
merasakan kesakitan yang luar biasa, raden angkoro langsung mengatakan sesuatu,

‘’Angkat wajah kalian! Ini adalah hukuman bagi
para pengkhianat yang benar-benar menodai
dirinya sendiri dengan mulut busuknya!’’

Seluruh orang yang ada di tempat tersebut langsung mengangkat wajahnya. Di saat mereka
mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Mbak
Neneng,

mereka semua terkejut saat melihat ada sosok Kethek Ireng yang sedang mengikat tubuh Mbak Neneng dengan buntutnya.

Tidak berselang lama, mbak neneng pun langsung tidak sadarkan diri. Raden Angkoro langsung mengangkat tubuh Mbak Neneng dan membawanya ke sebuah tempat yang menjadi ruang penyekapan dari Mbak Ayu.

Kini, mbak neneng menjadi orang keduanya yang dicap sebagai pengkhianat oleh Raden Angkoro dan juga yang lainnya.

Setibanya di tempat penyekapan, mbak ayu terkejut saat melihat Raden Angkoro yang sedang mengangkat tubuh Mbak Neneng yang sudah tidak sadarkan diri.
‘’Ne—neng?’’

Raden Angkoro segera mengikat tubuh Mbak Neneng tepat di sebelah Mbak Ayu. Ia kemudian meninggalkan mereka berdua tanpa mengatakan apapun.

Mbak Ayu panik dengan keadaan Mbak Neneng yang sudah tidak sadarkan diri. Ia merasa jika Mbak Neneng telah gagal dalam menjalankan misinya untuk memindahkan belasan tali pocong itu kepada Kang Waris.
‘’Neng! Bangun!’’ Teriak Mbak Ayu.

Hanya dalam hitungan detik, mbak neneng langsung sadarkan diri. Ia kemudian menghela nafas panjangnya seperti sedang melepaskan sesuatu yang mengikat bagian dalam tubuhnya.
‘’Neng! Apa yang terjadi?’’

Mbak Neneng pun menangis. Ia merasa jika dirinya telah berada di puncaknya dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menyerahkan pilihannya kepada takdir.

‘’Mbak! Aku berhasil!’’
‘’Ber—hasil?’’
‘’Malam ini, kang waris menjadi tuan dari belasan pocong itu. Sebentar lagi, ngipri kethek ini akan selesai!’’

Mbak Ayu terharu mendengar penuturan dari Mbak Neneng. Ia tidak menyangka jika usahanya tidak sia-sia dan berbuah manis.

Sementara itu, kang waris masih terdiam di sebuah kamar kosong yang ada di rumah itu. Ia tidak menyangka, jika perjalanannya sebentar
lagi akan usai.

Sembari memegangi belasan tali pocong tersebut, kang waris meneteskan air matanya. Ia sama sekali tidak sanggup untuk melanjutkan apa yang menjadi keharusannya kali ini.

Kang Waris masih mengingat perkataan dari Mbak Neneng jika dirinya harus menjadi tuan dari semua takdir yang sudah berada di dalam genggamannya.
Satu-satunya cara agar dirinya bisa mengakhiri ini semua adalah dengan cara menyerang balik orang-orang yang dimaksud.

Dengan begitu, nyawanya akan menjadi taruhan jika semua targetnya benar-benar telah menghembuskan nafas terakhirnya.

Tepat di malam hari, kang waris segera memasuki ruangan tempat dimana dirinya akan menjalankan ritual tersebut. Namun sebelum dia melakukannya, kang waris menuliskan sebuah pesan di atas meja. Pesan itu berbunyi,

‘’Teruntuk Arto dan semuanya. Ini adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan Ngipri Kethek. Jika ada yang membaca surat ini, aku harap, kalian semua dalam keadaan baik-baik saja. Seperti yang sudah dikatakan oleh Mbak Neneng, ritual ini harus dilakukan untuk mengakhiri semuanya.

Akan tetapi, ada bayaran yang harus ditanggung. Aku sengaja merelakan tubuhku untuk bisa membunuh orang-orang yang sudah membuat kerusakan. Semestinya, mereka semua (orangorang yang sudah meninggal karena beberapa kejadian seperti ritual ngipri kethek, ritual di pabrik bawang,

serangan alas wingit dan astana talimongo) telah menungguku di tempat yang berbeda. Aku berterima kasih kepada kalian semua karena telah menaruh harapan yang besar kepadaku. Semoga, dengan dilakukannya ritual ini, raden angkoro akan sirna selamanya!’’

Kang Waris segera melukai kedua jari kelingkingnya. Ia kemudian meletakkan tetesan darah itu tepat di bagian tengah tali pocong yang sudah ia pegang.

Dengan seketika, ruangan tempat dimana Kang Waris berdiri mendadak menjadi sesak karena kehadiran para pocong tanpa ikat kepala yang sudah bersujud di hadapannya.

‘’Pada malam hari ini, aku adalah tuan kalian. Bunuh orang-orang yang aku sebutkan.’’
Tiga sosok pocong dari belasan lainnya menghilang lebih cepat. Kang Waris merasakan kesakitan di bagian perutnya. Ternyata, setelah ketiganya selesai, efeknya langsung terasa dengan cepat.

‘’Bunuh Pak Lingga!”
Di malam hari yang sepi, pak lingga sedang menyetir mobil di sebuah jalanan yang kosong tanpa lalu lalang kendaraan yang melintas. Ia merasa aneh dengan hal tersebut.

biasanya, jika pak lingga melewati jalanan tersebut, ia akanmelihat paling sedikit 3-4 kendaraan yang melintas.

Namun tidak pada malam itu. Pak Lingga benar-benar tidak menemukan satu pun kendaraan yang ada di jalanan. Baik yang melintasinya terlebih dahulu atau yang membelakangi kendaraannya.

Pedal gas diinjak dengan kencang. Kecepatan dinaikkan. Pak Lingga merasa ada yang tidak beres dengan jalanan ini. Ia kemudian perlahan menncium bau busuk yang berasal dari jok belakangnya.

Sesaat setelah dirinya melihat ke arah kaca spion tengah, pak lingga terkejut di saat melihat tiga sosok pocong sedang menundukkan kepalanya tanpa ikat kepala!
‘’ARGHHHH!! KALIAN! KENAPA KALIAN ADA DI SINI? BUKANKAH KALIAN DIKENDALIKAN OLEH
PANGAREP?’’

Pak Lingga mulai panik. Ia kemudian mencoba untuk memperlambat lajunya. Akan tetapi, tepat di bagian depan, pak lingga melihat seorang pria dengan kepala yang sudah hancur berantakan. Dia adalah sosok yang menyerupai Jaja. Orang yang sangat dibencinya.

Pak Lingga tidak perduli. Ia menabrakkan mobilnya kepada sosok tersebut. Namun, bagai fatamorgana yang berada di lautan padang pasir yang tandus,

pak lingga tidaklah menabrak sosok yang menyerupai Jaja melainkan ia menabrak pembatas jalan hingga mobilnya terpental dan terbalik posisinya hingga rusak parah serta mengeluarkan bunyi dentuman yang sangat besar.

Tidak berselang lama, jalanan di sekitaran menjadi ramai orang-orang. Para pengendara segera turun dari kendaraannya masing-masing. Tubuh Pak Lingga sudah terhimpit oleh badan mobil. Darah bercucuran dimana-mana. Pak Lingga tewas saat itu juga!

Ternyata, apa yang dilihat oleh Pak Lingga sebelum kecelakaan hanyalah sebuah alam lain. Tanpa sadar, saat itu jalanan sedang ramai dan Pak Lingga tidak bisa melihat keramaian dari kendaraan yang melintas. Korban pertama sudah
jatuh.

Pak Lingga yang merupakan pembesar dari orang-orang yang melakukan Ngipri Kethek harus menghembuskan nafas terakhirnya.

‘’BUNUH PAK SUBROTO DAN IBU MELAN!’’
Dua pocong menghilang dengan seketika. Tubuh Kang Waris kembali merasakan efek yang sama. Kali ini menyerang di bagian punggungnya hingga Kang Waris terjatuh ke lantai. Di saat yang sama, pak subroto dan juga Ibu Melan sedang tertidur.

Mereka berdua mengalami mimpi buruk hingga keduanya terbangun. Alih-alih, pak subroto ingin pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Namun, ia mendapati sosok pocong yang sedang berdiri tepat di bagian ruang tamu.

Pak Subroto berusaha keras untuk bisa menggapai isterinya yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kedua tangan meraih apapun yang ada di hadapannya. Tubuh Pak Subroto merayap ke lantai agar bisa masuk ke dalam kamar.

Saat sampai dirinya sudah berada di depan kamar, pak subroto terkejut saat melihat isterinya sudah meninggal dunia dengan menabrakkan wajahnya tepat di hadapan cermin.

Pak Subroto berteriak kencang. Kali ini petaka mendatangi dirinya. Tubuhnya diseret oleh sesuatu dengan kedua kakinya yang merenggang. Lalu, tidak lama kemudian, tubuhnya ditabrakkan oleh pintu yang sudah terbuka dengan kedua kakinya yang sudah direnggangkan. Lalu, …

‘’BRUUUUUUUUKKKK!’’
Pak Subroto meninggal dunia saat bagian sensitif dari tubuhnya ditabrakkan tepat di ujung pintu. Matanya melotot ke arah depan tepat dimana kedua pocong itu sedang berdiri di hadapannya.

‘’BUNUH PANGAREP DAN MAWAR!’’
Kali ini, kang waris mengeluarkan darah yang sangat banyak dari mulutnya.

Sepertinya, setelah berhasil membunuh tiga orang dari orang-orang yang bersekutu dengan Raden Angkoro, ritual yang sedang dijalankannya benar-benar menarik nyawanya keluar dari dalam tubuh.

Mas Pangarep dan Mbak Mawar yang saat itu akan tertidur terkejut saat mendengar suara ketukan pintu. Mereka berdua pun akhirnya keluar dari kamarnya.
Saat dimana mereka ingin menuju ke bagian depan rumah, mas pangarep merasa ada yang menjanggal.

Ia kemudian menyuruh isterinya untuk masuk ke dalam kamar terlebih dahulu dan mengambil belasan tali pocong yang ada di bawah kasur tepat tidurnya.

Akan tetapi, tepat di saat pintu bagian depan rumah terbuka, mas pangarep langsung terdiam. Tangannya tiba-tiba membengkok dengan sendirinya.

Di hadapannya sudah ada 5 pocong yang sudah siap untuk mengeksekusi tubuhnya.
‘’KREK!”

Bunyi suara tulang dari tangannya benar-benar terdengar jelas. Satu persatu tubuhnya dipatahkan. Hingga saat dimana Mbak Mawar keluar dari kamar, ia terkejut saat melihat bagian tubuh dari Mas Pangarep benar-benar sudah berbeda.

Dimana bagian kedua tangan dan kaki sudah berada di belakang, sedangkan bagian wajah masih menghadap depan.

Mbak Mawar pun berteriak dengan kencang. Namun, tidak berselang lama, kepala Mas Pangarep memutar kebelakang. Lalu, dari mulutnya keluar banyak darah hingga membuat Mbak Mawar berteriak histeris.
‘’BRUKKKK!’’

Tubuh Mas Pangarep terjatuh. Ia tewas karena serangan tersebut. Mbak Mawar mencoba untuk melarikan diri. Namun sialnya, tubuhnya langsung ditarik dan ditabrakkan ke tembok.

Kepala dari Mbak Mawar benturkan beberapa kali hingga bunyi retakan kepalanya menjadi akhir dari kehidupannya. Darah segar mengalir deras dari kepala Mbak Mawar. Tubuhnya kemudian tergeletak tepat di dekat Mas Pangarep. Keduanya tewas dengan cara yang mengenaskan.

Saat dimana korban kelima sudah terjatuh, kang waris mencoba untuk menguatkan dirinya kembali. Akan tetapi, tubuhnya sudah tidak sanggup untuk digerakkan.
‘’BU...NUUUH AAANG....‘’
Kang Waris tidak mampu menyelesaikan
kalimat itu.

Tubuhnya sudah tidak sanggup lagi untuk bertukar dengan korban terakhir. Kang Waris meninggal dunia saat dimana dirinya sudah berusaha ingin menyebutkan kalimat terakhir untuk mengakhiri dari Ngipri Kethek ini.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close