Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BABAK TERAKHIR NGIPRI KETHEK KELUARGA NINGRAT (Part 35 TAMAT) - Ritual Buhul Tali Mayit

"Tiga orang pembesar bersatu untuk memperebutkan ambisinya masing-masing lewat ngipri kethek."


Untuk part 1-34, bisa langsung baca disini.

Babak akhir Ngipri Kethek Keluarga Ningrat TAMAT

‘’SURAT DAN RENCANA MBAK NENENG’’
Malam itu, hujan turun dengan lebatnya. Kematian para anggota keluarga ningrat oleh karena ritual buhul mayit yang dilakukan oleh Kang Waris menimbulkan dampak yang besar.

Kang Waris yang berada di dalam ruangan itu hanya tergeletak tak berdaya. Tangan kanannya masih menggenggam kuat belasan tali pocong. Dari mulutnya keluar darah segar yang kemungkinan besar akibat dari pertukaran tubuhnya dengan kematian 5 orang sekaligus.

Detak jantung Kang Waris masih berdetak walaupun lemah. Matanya masih terbuka lebar. Hanya saja, ia tidak bisa melihat sekelilingnya dengan jelas. Semua terasa gelap. Suara di sekeliling menajdi hilang. Hening. Dalam hati Kang Waris berkata,
‘’Inikah sejatinya kematian?’’

Pagi harinya, raden kuncoro berteriak dari arah belakang ruangan. Teriakannya membuat Bapak dan juga Ibu kaget hingga mereka berdua berlari ke arah ruangan belakang.
‘’Pak? Ada apa?’’
‘’Ada yang gak beres, bu.’’

Bersamaan dengan itu, nyi Ratih langsung bergegas keluar dari kamarnya. Ia yang melihat Bapak dan Ibu belarian ke ruangan belakang langsung menampakkan wajah penuh dengan penasaran.

Dan saat mereka berdua tiba di sebuah ruangan, mereka semua langsung berdiam tanpa kata-kata. Tubuh mereka langsung lemas saat melihat Kang Waris sudah meninggal dunia dengan sekujur tubuh yang membengkak,
‘’Kang.. Waris?’’ Ucap Bapak.
‘’Pak?…‘’ Ucap Ibu

Raden Kuncoro memeluk tubuh Kang Waris. Ia mendekapnya dengan sangat erat. Nyi Ratih yang melihat suaminya mendekap tubuh Kang Waris dalam keadaan sudah tak berdaya langsung ambruk,
‘’Gak mungkin!’’
‘’Mas! Kang Waris meninggal dunia!’’

Dunia seperti ambruk saat itu juga. Tangisan memenuhi ruangan. Bapak dan Raden Kuncoro meratapi kematian Kang Waris.
Bapak langsung menuju ke Kang Waris. Ia tidak yakin jika Kang Waris telah meninggal dunia seperti apa yang dikatakan oleh Raden Kuncoro.
‘’Tidak! Tidak mungkin!’’

Akan tetapi, di sela-sela mereka menangis, nyi ratih melangkah ke sebuah meja yang ada di ruangan tersebut. Ia melihat secarik surat yang mungkin saja itu adalah pesan terakhir dari Kang Waris,
‘’I—ini…‘’ Ucap Nyi Ratih.

Bapak langsung menengok ke arah Nyi Ratih. Ia pun bangkit sembari meminta kepada Nyi Ratih agar menyerahkan surat tersebut,

‘’Teruntuk Arto dan semuanya. Ini adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan Ngipri Kethek. Jika ada yang membaca surat ini, aku harap, kalian semua dalam keadaan baik-baik saja. Seperti yang sudah dikatakan oleh Mbak Neneng, ritual ini harus dilakukan untuk mengakhiri semuanya.

Akan tetapi, ada bayaran yang harus ditanggung. Aku sengaja merelakan tubuhku untuk bisa membunuh orang-orang yang sudah membuat kerusakan. Semestinya, mereka semua (orang-orang yang sudah meninggal karena beberapa kejadian seperti ritual ngipri kethek, ritual di pabrik bawang,

serangan alas wingit dan astana talimongo) telah menungguku di tempat yang berbeda. Aku berterima kasih kepada kalian semua karena telah menaruh harapan yang besar kepadaku. Semoga, dengan dilakukannya ritual ini, raden angkoro akan sirna selamanya!’’

Bapak membacakannya tepat di hadapan Ibu, nyi ratih dan juga Raden Kuncoro. Tak terasa, tetesan air mata berjatuhan tatkala Bapak membacakan surat tersebut. Begitu hebat perjuangan Kang Waris sampai-sampai dirinya rela untuk menebus semuanya seorang diri.

Di samping tangan Kang Waris, bapak mendapati belasan tali pocong. Bapak yakin, tali pocong itu adalah media yang harus dilakukan ketika ingin memulai ritual buhul tali mayit.

Kedua tangan Bapak ingin menyentuh tali pocong tersebut, akan tetapi, ibu melarangnya dan meminta Bapak untuk tidak menyentuhnya.

‘’Jangan dipegang, pak!’’
‘’Kenapa, bu?’’
‘’Jika Bapak memegang tali pocong itu, kesepakatannya akan berpindah ke Bapak. Bapak akan menjadi tuan dari mereka.’’
‘’Maksudnya?”

‘’Kang Waris sengaja melakukan ritual buhul tali mayit karena dirinyalah tuan dari mereka. Sebelumnya, tuan dari belasan pocong itu adalah Mbak Neneng.

Dia yang membawa belasan tali pocong ini ke sini dan menyerahkannya ke Kang Waris. Bisa jadi, mbak neneng juga tahu resiko tersebut hingga menyerahkannya kepada Kang Waris.’’

‘’Mbak Neneng tahu resikonya?’’
‘’Benar, pak.’’
Ibu pun mendekati Bapak. Ia kemudian menjelaskannya dari dekat dengan wajah yang penuh dengan kesedihan,

‘’Tuan pertama dari ritual buhul tali mayit ini adalah Mas Pangarep. Lalu, belasan tali pocong ini diambil oleh Mbak Neneng. Dengan begitu, tuannya kembali berubah. Mbak Neneng tahu jika dirinya tidak mampu melakukannya karena dia tidak memiliki sedikit pun ilmu kanuragan.

Akhirnya, dia meminta Kang Waris untuk menjadikannya sebagai tuan agar Kang Waris mampu membunuh banyak orang dan mempertaruhkan nyawanya.’’

Deg! Bapak baru sadar saat Ibu menjelaskan tentang belasan tali pocong ini. Bapak tidak sadar, jika Mbak Neneng telah merencanakan ini demi sesuatu hal.
‘’Apakah ada niat tersembunyi dari Mbak Neneng?”

Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak mengerti terkait apa yang terjadi saat ini juga.
Bapak masih menatap belasan tali pocong itu. Ia masih penasaran, apa yang ada di dalam benak Mbak Neneng sampai-sampai dirinya merencanakan ini semua?

Berbeda dengan Mbak Neneng, kang waris justru mengorbankan dirinya dengan cara melakukan ritual tersebut atas perintah yang diberikan oleh Mbak Neneng.

Ia juga berusaha untuk melindungi semua anggota keluarga Bapak dengan mengorbankan diri agar terikat dengan ritual tersebut.
Baginya, pengorbanan mengorbankan nyawa adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan ngipri kethek ini.

‘’Mas? Apa semuanya sudah selesai?’’ Tanya Raden Kuncoro.
‘’Aku pikir begitu.’’
Ada rasa senang, ada juga rasa sedih. Rasa senang yang mereka syukuri adalah Ngipri kethek sudah selesai. Mereka akan kembali lagi ke rumah keluarga ningrat.

Akan tetapi, yang membuat mereka sedih adalah karena kematian Kang Waris. Dengan kematian tersebut, kang waris berhasil mengakhiri ngipri kethek dengan cara melakukan Ritual Buhul Tali Mayit seperti yang telah diperintahkan oleh Mbak Neneng kepadanya.

Sebelum mereka berangkat, mereka membereskan semua yang ada di rumah tersebut tanpa terkecuali buhul tali mayit yang menjadi senjata mematikan tersebut.

Bapak menyuruh kepada Nyi Ratih untuk membuangnya ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh orang-orang. Nyi Ratih pun mengangguk paham.
Semua ketakutan terkait dengan kejadian yang akan terulang kembali menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak masing-masing.

Bapak masih was-was dan tidak tenang dengan kejadian yang baru saja terjadi. Atas kematian Kang Waris, mungkin saja, semua yang sudah direncanakan akan dimulai kembali. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah ngipri kethek sejatinya akan selesai?

Sementara itu, mbak neneng langsung melepaskan ikatan tali dari tangan Mbak Ayu. Hal ini membuat Mbak Ayu terbangun. Ia juga terkejut di saat Mbak Neneng lebih dulu melepaskan ikatan talinya,
‘’Da—dari mana kau bisa lepaskan tali ini?’’

Mbak Neneng hanya tersenyum. Ia kemudian menatap wajah Mbak Ayu dan mendekatkan wajahnya secara perlahan,
‘’Rahasia…‘’ Senyumnya
Mbak Neneng pun langsung membangunkan tubuh Mbak Ayu yang terlihat sangat lemah lalu di bawanya keluar dari ruangan tersebut.

Saat dimana Mbak Ayu keluar kamar, ia kemudian merasakan kehampaan yang luar biasa dari setiap ruang sisi ada yang ada di rumah tersebut.
Lalu, bau amis darah tercium kental hingga menusuk ke hidung dan menimbulkan rasa mual yang begitu dalam.

Mbak Ayu tidak tahu, apa yang sudah terjadi selama dirinya disekap di ruangan tersebut bersama dengan Raden Angkoro.

Mereka berdua melangkah hingga ke bagian ruang tamu. Di situ, langkah Mbak Ayu terhenti sejenak. Ia mendapati seorang pria dengan mengenakan pakaian khusus kera*** sembari membentangkan kedua tangannya seperti akan menyambut kedatangan Mbak Ayu dan juga Mbak Neneng.

‘’Berhenti, neng! I—itu .. ‘’
‘’Itu tuan kita, mbak.’’
‘’Apa maksudmu? Dia Raden Angkoro!’’
Mbak Neneng pun tersenyum. Ia kemudian melepaskan rangkulan tangannya dan membiarkan Mbak Ayu untuk berdiri sendiri tanpa bantuannya sama sekali.

Mbak Neneng berjalan ke arah Raden Angkoro. Ia kemudian membentangkan kedua tangannya dan memeluk erat tubuh Raden Angkoro,
‘’Neneng? Apa yang kau lakukan?’’

Mbak Neneng hanya tersenyum. Ia kemudian menciumi pipi Raden Angkoro. Sepertinya, ada yang berbeda dari Mbak Neneng. Entah karena hal itu terjadi oleh sebab Mbak Neneng berbelot dan memilih bersama Raden Angkoro atau memang ada hal lain yang belum Mbak Ayu ketahui sebelumnya?

Mbak Ayu melangkah pelan ke arah Mbak Neneng. Ia seharusnya mengetahui apa yang disembunyikan oleh Mbak Neneng kepadanya.
‘’A—apa yang terjadi? Bukankah kalian…?’’

Mbak Ayu benar-benar tidak terima melihat keadaan yang seperti ini. Ia bahkan tidak rela melihat Mbak Neneng memeluk mesra Raden Angkoro.
Di saat yang bersamaan, raden angkoro langsung bangkit dan menghadap langsung ke arah Mbak Ayu,

‘’Selamat datang kembali, ayu. Salah satu keturunan dari keluarga ningrat yang memiliki lidah yang mampu menimbulkan perselisihan.’’

Raden Angkoro memegangi dagu Mbak Ayu. Ia kemudian mengelilingi tubuh MbaK Ayu. Sedangkan Mbak Ayu, ia hanya merasakan hawa merinding. Seluruh tubuhnya bergetar.

Entah karena aura mematikan yang dipancarkan oleh Raden Angkoro atau ada hal lain yang memang sejatinya sudah dipersiapkan oleh Raden Angkoro kepadanya.

‘’Apa yang terjadi, angkoro?’’ Tanya Mbak Ayu.
Kali ini, mbak ayu memberanikan diri untuk menyebutkan namanya langsung yaitu ‘’Angkoro’’.

Ia tidak peduli dengan konsekuensi yang harus ia terima saat menyebutkan kalimat itu tepat di hadapan orang yang memiliki garis keturunan kanuragan hitam.

‘’Semua sesuai rencana, ayu. Hanya kita bertiga yang seutuhnya menjadi anggota Ngipri Kethek ini. Keluarga Ningrat dan Brotoseno sudah musnah seutuhnya.’’
‘’A—apa maksudmu?’’

Deg! Mbak Ayu langsung teringat dengan Ritual Buhul Tali Mayit yang baru-baru ini dilakukan oleh Mas Pangarep. Mbak Ayu juga mengetahui rencana berikutnya yang dikatakan oleh Mbak Neneng adalah terkait pemindahan belasan tali pocong tersebut ke tangan Kang Waris.

‘’Kau sudah mengetahuinya, ayu?’’
Mbak Ayu langsung menatap ke arah Mbak Neneng. Ia kemudian meneteskan air mata karena mengetahui betapa kejamnya Mbak Neneng selama ini.
‘’Selama ini? Semua yang kau katakan hanyalah bentuk manipulasi dari dirimu sendiri?’’ Tanya Mbak Ayu.

Mbak Neneng kembali tersenyum. Ternyata, senyumannya kali ini langsung berubah drastis dan menampakkan wajah yang penuh dengan amarah.
‘’Benar. Semua adalah pion. Kau juga termasuk itu. Bukankah sudah kukatakan, kita tidak boleh menjadi orang lemah?’’

Mbak Ayu baru menyadari kejadian yang sudah terjadi baru-baru ini. Menghilangnya banyak orang di rumah ini mungkin karena sebab Ritual Buhul Tali Mayit yang dilakukan oleh Kang Waris.

Begitu juga dengan pemalsuan yang dikerahkan oleh Mbak Neneng dan juga Raden Angkoro. Keduanya benar-benar merencanakan ini dengan rapih dan bersih.

Mbak Ayu terlalu cepat menyimpulkan. Ia terlalu cepat menilai jika Ratu Kethek dalam Ngipri Kethek ini adalah Mbak Mawar. Padahal, sejatinya Ratu Kethek adalah saat tragedi pembunuhan Nyi Endang.

Dimana Mbak Neneng adalah orang satu-satunya yang merawat Nyi Endang. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh Mbak Neneng sewaktu dirinya memperagakan layaknya seorang pengantin. Semua sudah direncanakan dengan rapih oleh Raden Angkoro.

Mbak Mawar yang memang masih memiliki keturunan Brotoseno hanya menjadi umpan bagi orang-orang yang menentang Ngipri Kethek bahwa dengan membunuhnya maka Ngipri Kethek akan kehilangan arah.

Semua salah! Salah besar! Padahal, yang dilakukan oleh Mbak Neneng dengan cara menyerahkan belasan tali pocong itu kepada Kang Waris adalah untuk mempermudah Raden Angkoro dalam mengambil langkah terakhirnya yaitu bayi yang nantinya akan dilahirkan oleh Nyi Esa.

Dengan menjadikan Kang Waris sebagai tuan, ia juga lupa akan resiko terbesarnya. Jika Kang Waris membunuh semua orang-orang yang berada dalam lingkaran Ngipri Kethek, kang waris hanya cukup membunuh sampai di Pak Lingga.

Hal ini dikarenakan, untuk membunuh Raden Angkoro dibutuhkan banyak kekuatan besar karena perwujudan Kethek Irengnya yang begitu sangat mengerikan.

‘’Jadi bagaimana, mbak? Apakah kau ingin bergabung bersama kami?’’
Mbak Ayu tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menahan rasa takutnya tatkala aura kematian yang terpancarkan oleh Raden Angkoro benar-benar membesar dengan sendirinya.

Tidak berselang lama, mbak ayu pun menganggukkan kepalanya.
‘’Baiklah. Selamat datang di Ngipri Kethek.’’

Setelah menguburkan jenazah Kang Waris, bapak dan yang lainnya pun bergegas untuk menyiapkan diri menuju ke rumah keluarga ningrat.
Bapak dan yang lainnya juga sudah tahu bahwa Ibu Melan dan Pak Subroto menjadi korban dari Ritual Buhul Tali Mayit.

Hal ini terlihat ketika mereka mendapati banyak warga yang mengerumuni rumah keduanya.

Namun, itu bukan lagi urusan Bapak. Yang menjadi urusannya sekarang adalah bagaimana dirinya bisa kembali ke rumah keluarga ningrat dan menduduki kembali sejatinya rumah yang telah di tinggal lama oleh mereka semua.

Di pertengahan perjalanan, bapak masih membaca surat tersebut. Ia seperti penasaran dengan isi surat yang sedikit mengganjal dalam pikirannya.

Entah mengapa, tatkala dirinya membacakan di hadapan Raden kuncoro dan yang lainnya, bapak juga merasa sepakat dengan Raden kuncoro jika ada sesuatu yang aneh dengan surat tersebut.
Bapak pun mulai membaca sedikit demi sedikit kalimat dari surat tersebut.

Ini adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan Ngipri Kethek. Jika ada yang membaca surat ini, aku harap, kalian semua dalam keadaan baik-baik saja.

Kalimat awal ini memang bentuk penegasan akan terselesaikannya ngipri kethek dengan jalan terakhir yang akan ditempuh oleh Kang Waris

Namun, setelah kalimat berikutnya, muncul kalimat yang sedikit meragukan. Kalimat tersebut seperti memberikan gambaran bahwa akan ada sesuatu setelah dilakukannya Ritual Buhul Tali Mayit.

Dengan begitu, apa yang dilakukannya ritual tersebut, kemungkinan besar Ngipri kethek belum semuanya selesai.

‘’Apakah Kang Waris melihat sesuatu? Mengapa dirinya menuliskan kalimat harapan? Apakah ngipri kethek ini belum selesai?’’
Bapak masih memikirkan sesuatu. Ia terus berupaya untuk melihat keanggotaan orang-orang yang tergabung dengan Ngipri Kethek itu sendiri.

1.Raden Angkoro
Karena dia adalah kepala dari ngipri kethek ini, maka, kemungkinan besar, kang waris mengincar pertama Raden Angkoro. Namun, apakah ritual buhul tali mayit ini mampu menumpaskan Raden Angkoro?

Faktanya, birawa saja sampai tumbang. Ia yang disebut-sebut sebagai penggerak dari banyaknya demis di alas wingit harus tumbang ketika mendapati Raden Angkoro yang mampu berubah wujud menjadi siluman monyet ireng.

Maka dari itu, bapak masih meragukan Raden Angkoro. Antara kematian dan kehidupannya, bapak masih belum bisa menyimpulkannya dengan tepat.

Terlebih lagi, kalimat harapan yang ditulis disurat itu seperti menunjukkan bahwa ‘’bisa saja Bapak dan yang lainnya mendapatkan serangan jika ritual itu telah selesai dilakukan.’’

2.Pak Subroto dan Ibu Melan
Keduanya sudah terlihat jelas sudah meninggal dunia. Namun, dari apa yang telah disampaikan oleh Mbak Neneng,

keduanya juga terlibat dalam ngipri kethek dan juga termasuk orang-orang yang sengaja menutupi kejahatan saat terjadinya tragedi di pabrik bawang.

Tentu saja, mereka berdua bukan orang biasa dan memiliki pegangan juga penjagaan. Jika pegangan mereka berasal dari penjagaan, itu berarti, ada orang-orang yang ikut serta membantu terwujudnya ambisi yang dilakukan oleh Pak Subroto dan juga Ibu Melan.

Oleh karena itu, bapak masih berjaga-jaga. Ia tahu, jika keduanya ini memiliki banyak sekali pintu untuk menuju ke ranah orang-orang yang memiliki kanuragan hitam.

3.Pak Lingga
Kematian Pak Lingga sendiri belum diketahui. Entah karena ada sesuatu hal yang belum diperjelas terkait jin kala ireng dari milik Pak Lingga, akan tetapi,

jika tuannya meninggal dunia, maka, jin kala ireng itu akan menghilang juga dengan syarat terputusnya kontrak di antara keduanya.

Akan tetapi, semuanya menjadi berubah tatkala ada tuan lain yang memanggil serta mengambil jin kala ireng itu sebagai senjatanya lagi.
Bisa dibilang, jin kala ireng akan dikuasai oleh tuan lain yang tentu saja ini akan menjadi ancaman besar bagi Bapak dan juga yang lainnya.

Karena itulah, bapak masih belum bisa menentukan akan apa yang terjadi kepada Pak Lingga selanjutnya.

4.Mbak Mawar dan Mas Pangarep
Keduanya sudah tentu menjadi korban dari penyerangan ini. Bapak sangat meyakini bila sudah membunuh ratunya, maka semuanya sudah usai.

Akan tetapi, bagaimana jika Raden Angkoro masih hidup? Apakah semuanya telah usai? Atau Ngipri Kethek akan terus berjalan semestinya kembali walaupun Ratunya sudah mati?

Perjalanan telah usai. Bapak dan yang lainnya tiba di tempat semula dirinya berada. Kali ini, mereka sudah berada tepat di hadapan rumah Keluarga Ningrat. Rumah dimana hal-hal yang terjadi semua ini berasal dari sana.
‘’Bu, ibu yakin ingin masuk?’’

Raden kuncoro, nyi ratih, ibu, mas rahardian dan juga Bapak melangkah maju menuju ke rumah tersebut. Mereka sangat berharap jika rumah itu sudah benar-benar tanpa kehadiran Mas Pangarep dan juga Mbak Mawar.

‘’Dok! Dok! Dok!’’
Bapak mengetuk pintu darii luaran. Namun, sayup-sayup Bapak mendengar suara tangisan seorang wanita dari dalam rumah.
‘’Bu, ada orang nangis di dalam rumah.’’

Ibu pun langsung meminta kepada Bapak untuk masuk ke dalam rumah. Bapak kemudian membuka pintu itu yang memang ternyata tidak dalam keadaan terkunci.
Saat Bapak dan yang lainnya masuk, mereka terkejut saat melihat Mbak Ayu dan juga Mbak Neneng sedang menangis.

‘’Mbak Ayu? Mbak Neneng?’’ Teriak Ibu
‘’Esa! Akhirnya kamu kembali!”
Mbak Neneng menyambut hangat kedatangan Ibu. Ia segera bangkit dan menuju ke tempat Ibu dengan wajah yang penuh kegembiraan.
‘’Bolehkah aku memelukmu, esa?’’ Tanya Mbak Neneng kepada Ibu

Ibu menatap wajah Mbak Ayu yang seperti memiliki tekanan tertentu. Entah mengapa, ibu merasa jika Mbak Ayu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Mbak Neneng pun mempersilahkan semuanya untuk duduk sejenak. Raden kuncoro dan Nyi Ratih duduk berdampingan. Sama halnya dengan Bapak, ibu dan juga Mas Rahardian, mereka duduk bersebelahan.

Kini, rumah terasa sunyi, sepi dan ketenangan menjelma bagikan hembusan angin yang bertiup secara perlahan hingga menusuk ke tubuh mereka.

Senyuman Mbak Neneng menjadi pembuka obrolan dari mereka yang tidak bisa berkata-kata tatkala mengetahui yang hanya tinggal di rumah sebesar itu hanyalah Mbak Neneng dan juga Mbak Ayu.

‘’Terima kasih kalian sudah mau kembali lagi ke rumah ini. Seperti yang kalian tahu, di rumah ini, hanya tinggal tersisa kami berdua.’’

Deg! Bapak dan Raden Kuncoro langsung terkejut mendengar hal itu. Mereka seperti tidak percaya bahwa apa yang dilakukan oleh Kang Waris benar-benar adanya.

Ritual buhul tali mayit yang menjadi senjata terakhir bagi mereka semua benar-benar sesuai dengan apa yang diperkirakan.
‘’Aku juga turut berduka cita atas kematian Kang Waris. Beliau adalah pahlawan sesungguhnya dalam kejadian ini.’’

Mbak Neneng tidak mampu untuk membendung rasa sedihnya. Ia menangis tepat di hadapan Ibu dan juga Bapak. Akan tetapi, ada yang merasa janggal dengan tangisan Mbak Neneng. Ia seperti menangis dalam keadaan bahagia, bukan menangis karena sedih atas kematian Kang Waris.

‘’Mulai saat ini, ngipri kethek sudah tidak ada lagi. Kalian semua bisa menempati rumah ini seperti sedia kala. Jika ada sesuatu yang kalian butuhkan, aku dan juga Mbak Ayu akan membantu.’’

Mbak Ayu menatap wajah Ibu. Seperti ada pesan yang ingin ia sampaikan. Wajahnya benar-benar terlihat seperti orang yang sedang berada dalam tekanan. Hanya saja, saat itu Ibu menganggap semuanya bersumber atas kematian Mas Pangarep dan juga Mbak Mawar.

Namun….
Semua berubah tatkala hari kelahiran itu tiba. Raden Angkoro kembali dengan wujud yang mengerikan. Ia kembali melakukan ritual itu!

BABAK KEMATIAN - MALAM RITUAL

Hanya berselang beberapa minggu mereka tinggal di rumah itu, ibu akhirnya melahirkan anak keduanya. Kelahiran anak kedua ini memberikan kebahagiaan bagi Bapak dan juga Ibu.

Akan tetapi, ada yang menjanggal tatkala kelahiran itu tiba. Mbak Neneng yang terbiasa berada di rumah, kini menghilang secara misterius selama beberapa hari.

Saat dimana Bapak dan yang lainnya tiba di rumah, mereka hanya mendapati Mbak Ayu yang berada di dalam rumah.
Hal ini membuat Nyi Ratih mempertanyakan keberadaan Mbak Neneng kepada Mbak Ayu

‘’Mbak Neneng kemana, ya?’’ Tanya Nyi Ratih.
‘’Aku kurang tahu, mbak. Kebetulan, saat aku berada di dalam rumah, aku tidak mengetahui keberadaannya.’’ Jelas Mbak Ayu.

Nyi Ratih merasa ada yang aneh dengan ucapan yang baru saja diucapkan oleh Mbak Ayu. Ia merasa jika Mbak Ayu telah menyembunyikan sesuatu.
‘’Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?’’ Tanya Nyi Ratih.
‘’Maksud, mbak?’’

Nyi Ratih pun merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Ia kemudian menunjukkan sesuatu kepada Mbak Ayu.
‘’I—ITU? BUHUL TALI MAYIT! DARI MANA KAU MENDAPATKAN ITU?”

Nyi Ratih hanya tersenyum. Saat dimana dirinya memegang buhul tali mayit itu, ia melihat belasan pocong sudah mengelilingi Mbak Ayu.
‘’Sekarang, jujurlah padaku. Kemana Mbak Neneng. Apa yang sudah ia sembunyikan kepada kami?’’

Mbak Ayu mencoba untuk mengambil paksa buhul tali mayit itu, namun dengan cepat, nyi ratih berhasil mencegahnya.
‘’Jika aku sebutkan namamu, maka, pocong-pocong itu akan menyerangmu, ayu. Mereka sudah menjadikanku sebagai tuan. Jadi, jangan harap kau akan selamat.’’

‘’Aku tidak mengetahui hal itu.’’
‘’Aku tahu kau bohong. Apakah kau sudah terikat kembali dengan Raden Angkoro? Apakah dia belum mati?’’
‘’Apa maksudmu?’’
‘’Aku tidak yakin, dia akan mati hanya dengan menggunakan buhul tali mayit.’’

‘’Aku tidak bisa menjawabnya.’’
Jawaban dari Mbak Ayu membuat Nyi Ratih berpaling. Ia pun kemudian kembali lagi ke kamarnya.

Malam harinya, tatkala semua orang sudah tertidur pulas, raden kuncoro keluar dari kamarnya. Ia terkejut saat mendapati Mbak Neneng sudah berada di ruangan tamu dengan penampilan yang sungguh mengejutkan.

Ia mengenakan pakaian layaknya pengantin dengan kepala yang sudah disanggul dan diberi bebungaan melati layaknya penampilan pengantin jawa.
Atas hal tersebut, raden kuncoro pun menanyakan terkait apa yang sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Mbak Neneng,

‘’Apa yang sedang kau lakukan dengan penampilan seperti itu?”
Mbak Neneng hanya tersenyum. Ia kemudian berjalan melewati Raden Kuncoro dan memasuki kamarnya.

Raden Kuncoro pun mengikuti secara perlahan. Ia mengira, mbak neneng sedang dalam keadaan yang tidak sadarkan diri.
Namun, perkiraan dari Raden Kuncoro salah. Tatkala dirinya membuntuti Mbak Neneng, raden kuncoro mendengar suara pria yang ia kenal dari dalam kamar Mbak Neneng,

‘’Malam ini, semuanya akan selesai. Anak itu sudah dilahirkan. Jika ritual ini dilakukan, pasti semuanya akan selesai. Sebagai Ratu, kau sudah melakukan dengan baik.’’

Raden Kuncoro terkejut mendengar hal itu. Ia salah memprediksi tentang Mbak Neneng. Ternyata, selama ini, mbak neneng sudah menyembunyikan sesuatu yang sangat besar.

Dan istilah ‘’Ratu’’ yang disebutkan oleh seorang pria di dalam kamar itu benar-benar tertuju kepada Mbak Neneng.
Raden Kuncoro merasa jika dirinya dan juga yang lain sudah dibodohi dengan mulut manis Mbak Neneng yang selama ini menjadi kepercayaannya.

Karena itulah, ia pun segera melaporkan hal ini kepada Bapak dan yang lainnya. Namun, belum juga dirinya memalingkan wajahnya dari kamar, tiba-tiba, pintu kamar terbuka,

Tubuh Raden Kuncoro pun tidak bisa digerakkan. Di hadapannya sudah berdiri seorang pria yang mengeluarkan aura kematian yang sangat besar.
‘’Apa tidak sebaiknya dirimu tidak berada di sini, tuan kuncoro?’’

Bersamaan dengan itu, suara gamelan berbunyi. Raden Kuncoro melihat dengan jelas perubahan yang singkat dari bentuk tubuh Raden Angkoro yang semula manusia kini berubah menjadi siluman kethek ireng.

Dari dalam kamar tersebut, keluar seorang wanita dengan pakaian layaknya pengantin. Dia adalah Mbak Neneng. Mereka berdua pun berjalan melewati Raden Kuncoro. Akan tetapi, apa yang akan terjadi kepada Raden kuncoro tatkala mereka berdua melewatinya begitu saja?

Tubuh Raden Kuncoro langsung ambruk seketika. Dari mulut dan juga hidungnya keluar darah. Bagian dadanya seperti dicakar-cakar hingga nafasnya terhenti saat itu juga. Raden Kuncoro tewas di saat malam ritual itu.

Suara gamelan itu pun membangunkan Bapak dan juga Ibu yang sudah berada di dalam kamar. Namun, keduanya juga terkejut saat mendapati pintu kamarnya sudah terbuka lebar.

Yang lebih mengejutkan, bapak dan ibu melihat sosok yang mengerikan beserta dengan seorang wanita yang sudah berpakaian layaknya pengantin.

‘’Ra...den Ang....koro?”
Tiba-tiba, tubuh Bapak melayang dengan sendirinya. Kedua tangan Bapak memegangi leher karena merasa dirinya sedang dicekik oleh sesuatu.
Ibu berteriak ketakutan saat dimana wanita penganti itu mengambil bayi yang menjadi sasaran utamanya.

Saat dimana wanita itu mengambil bayi, tiba-tiba, penutup wajahnya terbuka dan Ibu mengenali wanita tersebut,
‘’Mbak Neneng?’’

Mbak Neneng hanya tersenyum. Ia kemudian membawa bayi itu keluar dari kamar. Sedangkan Bapak, ia masih melayang di udara dengan kedua tangannya yang masih memegangi lehernya.

Ibu menangis ketakutan. Ia tidak tahu harus bagaimana dan harus melakukan apa. Semuanya benar-benar sudah berada di luar nalar.

Siluman kethek ireng dan Mbak Neneng keluar dari kamar secara perlahan. Ia kemudian berjalan perlahan menuju kamarnya.

Namun, belum juga sempat dirinya memasuki kamar, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara kidung jawa bersamaan dengan hembusan angin yang melewatinya begitu saja.

‘’Uculke putuku.’’ (Lepaskan cucuku)
Dia adalah sosok yang selama ini menjaga anak kedua dari Bapak dan juga Ibu. Sosok khodam penjaga yang berwujud seperti ratu kera*** yang memiliki pakaian anggun dan cantik.

Auman siluman kethek ireng pun memberikan pertanda bahwa pertarungan keduanya akan berlangsung.

Saat itu, lampu di rumah langsung padam. Rumah benar-benar bergetar dengan sendirinya. Bapak yang masih melayang di udara kini langsung terjatuh karena bantuan dari khodam pendamping yang dimiliki oleh anaknya tersebut.

‘’Pak… anak kita…‘’
Bapak masih memegangi lehernya yang benar-benar merasa kesakitan. Ia pun meminta kepada Ibu untuk memapahnya keluar agar bisa mendapatkan kembali anaknya.

Dan benar saja, saat mereka berdua keluar dari kamar, mereka melihat seorang wanita dengan pakaian ala bangsawan dan kera*** sedang menghadapi siluman kethek ireng yang menjadi perwujudan dari Raden Angkoro.

Namun, bapak dan ibu lebih terkejut saat melihat jasad Raden Kuncoro yang sudah terkapar di lantai dengan bersimbah darah di bagian mulut dan juga hidungnya.
‘’KANG MASSSSSSSS!!!’’ Teriak Bapak

Mbak Neneng yang berada di dekat kamar hanya terdiam sembari menggendong anak dari Bapak dan juga Ibu.
‘’NENENG! KEMBALIKAN ANAKKU!” Teriak Bapak.

Mbak Neneng merasa panik. Ia pun berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi, tubuhnya tiba-tiba tidak bisa bergerak.
Urat-urat Mbak Neneng langsung terlihat dengan jelas. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Bersamaan dengan itu, muncul kabut yang membuat pandangan mereka menjadi buta.

Wanita kera*** itu menarik tubuh siluman kethek ireng ke alam lain bersamaan dengan munculnya kabut yang sangat pekat itu.

Bapak dan Ibu berusaha menerobos kabut itu untuk bisa mendapatkan kembali anaknya. Namun, saat dimana dirinya sudah berada dekat dengan kamar Mbak Neneng, tiba-tiba, mereka berdua merasakan aura merinding yang sangat kuat.

Ibu yang seedang memapah Bapak langsung terdiam seketika tatkala dirinya melihat belasan pocong sedang berdiri mengelilingi Mbak Neneng.
‘’Buhul tali mayit? Si—apa yang melakukan ini?’’

Dari kejauhan, seorang wanita berjalan sembari mendekati jasad Raden Kuncoro. Ia adalah Nyi Ratih.
‘’Nyi Ra—tih?’’ Tanya Bapak.

‘’Kang Mas Kuncoro sudah lama tidak mempercayai wanita terkutuk ini, mas arto. Ia selalu bercerita kepadaku bahwa Mbak Neneng bukanlah orang baik.

Akan tetapi, kau dan juga nyi esa selalu beranggapan bahwa semua orang yang telah melakukan kesalahan bisa mempelajari kesalahannya dan bisa memperbraiki kesalahannya.’'

Nyi Ratih meneteskan air mata saat dimana dirinya memeluk tubuh suaminya. Tangisan Nyi Ratih begitu kuat hingga Bapak dan juga Ibu merasa sedih akan pengorbana hebat dari keduanya.

‘’Aku ingatkan sekali lagi untuk kalian berdua. Manusia yang memang tidak menyukaimu, dia akan berpura-pura menyukaimu. Dia akan membuatmu berpikir bahwa dirinya akan bisa menjadi baik.

Tapi tidak bagi kami berdua. Sampai mati pun, kami berdua akan terus berhati-hati kepada orang terdekat yang telah menusuk kita dari belakang. Karena sejatinya musuh yang paling mengerikan adalah mereka yang sudah kita anggap sebagai orang baik.’’

Nyi Ratih pun bangkit. Ia kemudian menuju ke tempat Mbak Neneng dan mengambil bayi itu dari tangan Mbak Neneng di antara belasan pocong yang sedang mengepungnya.

‘’Sebagai sesama wanita, kau adalah wanita yang paling buruk yang pernah aku temui, nyi neneng aditama. Bahkan, keturunanmu sendiri tidak bisa menjadikanmu sebagai bentuk kemuliaan dalam dirimu sendiri.

Darah biru yang mengalir dalam tubuhmu menjadi hitam hingga menggelapkan hati dan pikiranmu. Kau adalah ratu yang sesungguhnya. Kau sengaja memperalat Kang Waris. Mempermainkan Mbak Mawar dan menjadikan semuanya menjadi pionmu demi usahamu terhadap Raden Angkoro.

Ingat, mereka yang terlahir dengan karma mengerikan, kematiannya tidak akan terputus hanya dengan penderitaan yang sangat mengerikan!’’
Nyi Ratih pun berjalan ke arah Ibu dan juga Bapak sembari membawa bayi tersebut.

Setelah tiba di hadapan Ibu, nyi ratih menyerahkan bayi itu kepada Bapak dan juga Ibu,
‘’Jagalah harapan ini. Dia adalah bayi yang nantinya akan memberikan cahaya bagi manusia yang memiliki hati yang gelap.’’

Bruk! Nyi Ratih pun terjatuh tepat di hadapan keduanya. Namun, dari mulutnya terucap sesuatu,
‘’BUNUH NYI NENENG ADITAMA!”

Kabut pun semakin pekat. Tubuh Nyi Ratih pun terseret seperti ditarik oleh sesuatu ke dalam kabut tersebut bersamaan dengan teriakan mengerikan dari Mbak Neneng. Semua yang berada di sekitaran kabut tersebut terserap dan terseret dan menghilang dengan sekejap.

Suasana menjadi sunyi dan sepi. Ibu langsung berteriak histeris dan menangis sejadi-jadinya. Kali ini, mereka berdua benar-benar kehilangan orang yang sangat disayanginya yaitu Raden Kuncoro dan juga Nyi Ratih yang rela berkorban demi keselamatan bayi tersebut.

Sedangkan di luaran terdengar suara dentuman keras. Namun, bersamaan dengan itu, cahaya bulan benar-benar memberikan kecerahan yang begitu indah. Bapak dan juga Ibu keluar dari rumah tersebut. Mereka berdua berniat untuk mengetahui apa yang terjadi di luaran.

Dari luaran, mereka melihat seorang wanita dengan mengenakan pakaian ala kera*** sedang memegangi kepala tanpa tubuh di balik pepohonan.

Lalu, tidak berselang lama, sosok wanita tersebut menghilang sembari menunjukkan jika kepala yang baru saja dipegangnya itu adalah kepala dari Raden Angkoro.

Dengan ini, ngipri kethek berhasil dicegah. Bapak dan juga Ibu berhasil selamat dan mencegah terjadinya ngipri kethek. Hanya saja, saat mereka kehilangan orang-orang yang dicintainya, mereka masih mendapati Mbak Ayu yang sudah dalam keadaan sekarat di dalam kamarnya.

Saat yang bersamaan, mbak ayu juga tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia bisu sepenuhnyya hingga ajal menjemputnya. Mbak Ayu disinggung terkena tulah (akibat) dari ritual buhul tali mayit yang dilakukan oleh Nyi Ratih.

Dan dari situlah, semuanya menjadi usai. Tak ada lagi yang melakukan ritual ini hingga 15 tahun ke depannya saat dimana Mas Krishna dan juga Raden Suropto kembali untuk memberikan sebuah manuskrip trah terkait keluarga ningrat dan keluarga brotoseno.

-TAMAT-

Selanjutnya, cerita dari sisi lain keluarga artonegoro. Mereka yang memiliki trah dari timur bermaksud untuk membalaskan dendam atas kematian Raden Angkoro.

''SI DANYANG LEMBAH JENGGES - SISI GELAP KELUARGA ARTONEGORO.''
close