Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEMUTUS JERAT PESUGIHAN (Part 3)


Larinya cepat sekali, hanya hitungan detik dia sudah sangat dekat denganku.

Duag!

Terdengar suara benturan keras. Ternyata Si Kingkong sedang menahan Raksasa itu untuk tidak mendekat. Dia memegang tubuh Raksasa dengan kedua tangannya. 

"Hahahaha... itu saja kemampuanmu, monyet kecil," ejek Si Raksasa.

"Amir! Berdoa!" ucap Si Kingkong.

"Doa apa?" tanyaku.

"Apa saja, cepat! Saya tidak bisa menahannya lebih lama."

Aku mencoba konsentrasi, lalu mulai membaca ayat kursi. Aneh, setiap kali mendengar Raksasa itu tertawa. Tiba-tiba hafalan suratku buyar.

"Tutup mata dan telingamu, Amir! Dia hanya menggertak."

"Tapi...."

"Tapi apa?"

"Setiap aku tutup mata, wajahnya malah semakin jelas."

"Lebih baik kamu liat wajah anak itu!"

Aku memandangi wajah Ilham yang terbaring di atas kasur. Sejak tadi hanya diam, tak bergerak. Tatapannya kosong, dengan mata melotot menatap langit-langit. 

"Apa kamu tidak kasian dengan anak itu?" tanya Si Kingkong.

"Kasian," balasku.

"Jadi cepat, baca doa! Jangan takut."

Kuambil nafas panjang, lalu mulai melafalkan ayat kursi. Usahaku berhasil, Raksasa itu mulai sedikit melemah. Dan dia berhasil dipukul mundur.

Tiba-tiba... Raksasa itu berteriak. Suara sampai memekakan telingaku. Kepalaku pun tiba-tiba pusing sekali.

"Ah sial," keluh Si Kingkong.

"Ada apa, Kong?" 

"Dia memanggil anak buahnya."

Jika diibaratkan dengan bisnis, pesugihan ini mirip dengan MLM (Multi Level Marketing). Raksasa itu posisinya berada di paling atas. Dia memiliki tangan kanan, salah satunya Genderuwo yang masuk ke dalam tubuh Ilham. Selain itu masih banyak lagi.

Setiap tangan kanannya, memiliki anak buah lagi, begitu seterusnya. Sampai di deretan bawah ada kumpulan Jin Qorin dari orang yang melakukan perjanjian. Sedangkan tumbal menjadi asupan energi buat 'mereka' semua. 

Anak buah Raksasa itu mulai berdatang dari segala penjuru, mengepung kamar. Jumlahnya benar-benar tak terhitung. Makhluknya mulai dari yang sering terlihat, sampai yang baru pertama kali aku lihat. Salah satunya adalah sesosok makhluk besar, berbentuk seperti anjing.  

"Makhluk apa itu, Kong?" tanyaku penasaran.

"Jin pelahap," balasnya.

"Pelahap bagaimana?"

"Dia itu pemakan para Jin."

"Aku baru pertama kali lihat."

"Dia yang mengawasi Jin lain dalam rantai pesugihan. Jika ada yang membangkang, maka diancam akan dimakan olehnya."

"Sekarang harus bagaimana? Apa kamu sanggup melawan mereka semua?" tanyaku.

"Tentu tidak, tapi aku tidak mau mati konyol di sini," ucapnya lalu mulai memanggil anak buahnya.

"Kong... aku khawatir."

"Apa yang kamu khawatirkan? Tugasmu hanya berdoa, itu saja. Setidaknya dengan berdoa ada energi positif untuk makananku."

"Bukan itu."

"Aku khawatir, daritadi Si Hitam tidak kembali juga. Aku takut dia kenapa-napa."

"Hahahahaha, kamu terlalu meremehkannya. Melawan puluhan Genderuwo tadi saja dia sanggup. Jadi tidak perlu mengkhawatirkannya. Tugasmu hanya satu, berdoa agar sukma Ilham bisa kembali ketubuhnya. Kasian anak itu, sekarang pasti sangat menderita."

"Baiklah." Aku kembali melafalkan ayat kursi dan an-naas berulang kali. 

Si Kingkong sudah memanggil teman-teman dan anak buahnya. Mereka semua sudah siap bertarung, hidup atau mati. Memang terdengar konyol, tapi 'mereka' pun bisa mati dan binasa. 

Duar!

Duag!

Brug!

Terdengar suara ledakan dan benturan saling bersahutan. Pertempuran sudah benar-benar dimulai. Target utama Si Kingkong adalah menangkap Raksasa itu. Namun dia kesulitan mendekat, karena terlalu banyak anak buahnya yang menghadang.

Argh!

Ampun....

Aduh....
Sakit....

Itulah kata-kata yang kudengar selama pertempuran. Dari kedua belah pihak sudah banyak yang gugur, termasuk anak buah Si Kingkong. Aku senang dia masih berdiri tegap, menghancurkan anak buah Raksasa itu satu persatu. Ini pertama kali aku melihat amarahnya. Gara-gara terlalu mengkhawatirkan Si Kingkong, aku malah kehilangan fokus.

Tiba-tiba....

Ada dua Genderuwo yang mendekat. Mereka menarik tangan kanan dan kaki kiriku. Saking kencangnya tubuhku sampai sedikit melayang. 

"Aw," teriakku kesakitan.

"Aduh." Mereka terus menarikku.

Pintu kamar terbuka, tiba-tiba Deni masuk ke dalam.

"Kenapa lu, Mir?" tanyanya.

"Lu napa masuk ke dalem," balasku.

"Abis lu teriak-teriak."

"Cepetan keluar!" 

Deni tidak menuruti perintahku, dia malah melihat sekeliling kamar.

"Astagfirullah, banyak amat," ucapnya.

Brug!

Tiba-tiba Deni ambruk. Kedua Genduruwo yang tadi menarikku, kini berusaha menarik sukma Deni.

"Mir, tolong," ucap Deni kesakitan.

"Aduh, udah dibilang ke luar."

Belum sempat aku mendekat, kedua Genderuwo itu sudah lari terbirit-birit. 

"Belang," ucapku melihat sesosok macan besar yang baru saja datang. 

"Tuan Brosman juga datang," sambungku ketika melihat seorang pria Belanda yang sedang menunggangi kudanya. Mereka berdua memang penjaga ibu, tapi sering membantuku ketika menghadapi hal-hal seperti ini.

"Amir biar saya yang jaga. Aku tau kamu ingin sekali mencicipi 'Anjing' itu kan?" ucap Tuan Brosman pada Si Belang.

"Kamu tau saja," balas Si Belang lalu masuk ke arena pertempuran. 

"Udah, Den, gak apa-apa. Lu keluar aja dulu." Aku sampai lupa kalau Deni masih ada di belakangku.

"Lu bantu doa aja, trus habisin yang di sekitaran rumah," sambungku.

"Oke, Mir," ucapnya lalu ke luar kamar.

Aku kembali mengamati pertempuran. Si Kingkong masih belum sanggup mendekati Raksasa itu. Anak buahnya seperti tidak ada habisnya, terus bermunculan. Di sisi lain, Si Belang sedang berduel dengan Si Pelapap alias sosok yang menyerupai anjing besar. 

Masih belum kapok, kedua Genderuwo itu datang lagi membawa teman-temannya. Tuan Brosman meminta izin untuk melawan mereka.

"Amir!" panggil Si Kingkong.

"Ya?" sahutku.

"Kenapa kamu tidak lanjut membaca doa?" 

"Bukannya situasi sudah am...." Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Tubuhku pun tidak bisa digerakan. 

"Ko-ng...," ucapku terbata-bata masih sulit bernafas. Penglihatanku mulai meredup.

"Argh, sudah kubilang jangan berhenti berdoa." Samar-samar kulihat Si Kingkong terbang mendekat.

"Menyerahlah anak kecil." Sayup-sayup kudengar suara seseorang. 

"Saya tidak tega membunuhmu. Jadilah muridku," sambungnya.

"Jangan ganggu dia!" balas suara lain menggema. Seketika itu rasa sesak pun ikut menghilang. Perlahan-lahan, penglihatanku sudah kembali normal. 

Seseorang sudah ada dihadapanku. Sosok yang sudah pasti kukenal. Dia menggunakan kuda putih. Dan tangan kanannya memegang tongkat kayu.

"Kakek," sapaku. Dia hanya membalasku dengan senyuman. Di belakangnya ada Si Kingkong yang sedang mencabik-cabik sesosok Siluman Ular.

"Hey, Kakek Tua, ini bukan urusanmu!" Suara itu kembali terdengar. Suara orang yang tadi memintaku menyerah. Ternyata berasal dari sukma sang dukun.

"Dia adalah cucuku," balas Kakek.

BERSAMBUNG
close