Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEMUTUS JERAT PESUGIHAN (Part 4)


Kakek tidak datang sendirian, si Burung Emas ternyata ikut dengannya. Kakek langsung memerintahkan dia untuk masuk ke dalam tubuhku. Supaya anak buah dukun itu tidak bisa menyakitiku lagi. 

Aku tak menyangka si Burung Emas memiliki energi yang cukup besar. Badanku yang tadinya terasa dingin, tiba-tiba berubah menjadi lebih hangat. Selain itu, penghilatanku menjadi bertambah. Sekarang, sukma dukun itu bisa terlihat dengan jelas.

"Hey, Kakek Tua! Jika kau hebat, tangkap saya!" ucap Si Dukun lalu menghilang dari pandanganku.

"Kemana dia, Kakek?" tanyaku.

"Dia tidak akan bisa pergi jauh," balas Kakek lalu memacu kudanya dan ikut menghilang. 

"Loh? Kakek kemana, Kong?" 

"Kakek sedang mengejar dukun tadi," balasnya sambil menggigit leher Siluman Ular itu. Ya... Siluman Ular yang melilitku sampai nyaris pingsan. 

"Sekarang giliranmu," ucapnya pada Si Raksasa, sambil menginjak kepala Siluman Ular itu hingga pecah.

"Dasar Monyet Kecil, cuih!" balas Si Raksasa.

Si Kingkong langsung terbang melesat ke arah Raksasa. Dia sama sekali tak peduli dengan hadangan anak buahnya. Dengan satu pukulan saja, anak buahnya sudah terpental jauh. 

Aku mengalihkan pandangan, melihat duel maut antara si Belang melawan Siluman Anjing. Duel yang terlihat sangat seru, bagai kucing melawan anjing. Mereka saling mencakar satu sama lain.

"Tuan Brosman," panggilku.

"Ada apa, Amir?" balasnya sambil menyeret dua Genderuwo dengan kudanya.

"Hati-hati teman mereka datang," ucapku.

"Tenang saja, mungkin mereka ingin kuseret juga," balasnya tersenyum.

Puluhan Kuntilanak terbang ke arahku. Diikuti dengan satu Siluman Ular berkepala dua.

"Sepertinya mereka mau menyerang kita," ucapku pada Si Burung.

"Biar saja," balasnya.

Hihihihi....

Hihihihi....

Tawa Kuntilanak itu bersahut-sahutan. 

"Lebih baik kalian pergi," ucapku.

"Jangan sombong anak kecil, kamu tidak akan bisa selamat dari racunku," balas Siluman Ular itu.

"Ya sudah, terserah."

Si Burung Emas mulai melebarkan sayapnya. Dengan satu kali kepakan, kuntilanak-kuntilanak itu langsung berhamburan. 

"Sekarang hanya sisa kamu," ejekku pada Siluman Ular itu. Kemudian, dia mendesis dengan suara nyaring dan mulai membuka mulutnya. 

Dari mulutnya itu, dia menyemprotkan cairan berwarna hitam ke arahku. Dengan sigap, Si Burung membuat benteng dari sayapnya, menghalau cairan itu. Efeknya sungguh dahsyat, sampai membakar bulu di sayapnya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku.

"Tidak."

Si Burung kembali melebarkan sayapnya. Terbang ke atas, lalu menghilang.

"Hahahaha... dia sudah kabur. Sekarang tinggal kamu sendiri, Anak Kecil!" ucap Siluman Ular itu sambil melata ke arahku.

Wus!

Tiba-tiba ada angin besar.

"Dia kembali," ucapku ketika melihat si Burung Emas sedang terbang menukik ke bawah. Dengan cepat paruhnya mematuk kepala Siluman Ular. 

Siluman Ular menjerit kesakitan. Tidak sampai di sana, si Burung langsung mencengkram tubuhnya dan membawanya terbang ke tempat yang jauh.

"Kamu bawa dia kemana?" tanyaku setelah dia kembali.

"Rahasia," balasnya.

"Ayolah, masih rahasia aja."

"Kamu mau melihatnya?" 

"Iya." 

Dia memberiku potongan gambar tentang nasib dari Siluman Ular tadi. Tubuhnya sudah terpotong-potong hingga beberapa bagian.

"Kejam sekali kamu," ucapku.

"Biar saja, dia sudah merontokan buluku yang berharga," balasnya.

"Jadi sudah sepantasnya sekarang jadi santapan teman-temanku," sambungnya.

"Benar juga."

Di sisi lain, Si Kingkong masih kesulitan mendekati Raksasa itu. Sayang sekali aku tidak bisa membantu. Masuk ke arena pertempuran bisa jadi bunuh diri.

Kuarahkan pandangan ke tempat lain. Tempat dimana si Belang sedang berduel dengan Siluman Anjing.

"Wuih," ucapku takjub, melihat Si Belang sudah berubah menjadi wujud aslinya. Seorang Kakek yang memegang tongkat kayu.  Dengan cepat, dia melompat tinggi. Kini posisinya sudah berada di atas Siluman itu.

"Keren, sudah tua masih bisa lompat tinggi," batinku diikuti tawa Si Burung.

Duag!

Terdengar dentuman keras, ketika si Belang memukul tongkat itu ke kepala Siluman Anjing. Hingga Siluman itu berkali-kali mendengking dan roboh. 

"Kakek sudah kembali," ucap Si Kingkong. 

"Mana?" tanyaku.

"Oh di sana," sambungku ketika melihat Kakek mendekat. Tapi... dia tidak membawa apapun. Apa sukma dukun itu berhasil lolos?

"Kakek...," panggilku.

"Ya," balasnya.

"Apa Kakek tidak berhasil menangkap dukun itu?" 

Kakek hanya tersenyum, "Ternyata kamu masih belum melihatnya."

"Melihat apa, Kek?"

"Coba perhatikan anak kecil itu." Mataku langsung tertuju pada Ilham yang masih terbaring di atas kasurnya. Mata Ilham berkedip. 

"Apa Kakek berhasil mengembalikan sukma Ilham? Lantas kemana Si Hitam, jangan-jangan ...," batinku.

"Lepaskan... lepaskan saya!" ucap Ilham, dengan suara lebih berat dari biasanya. Aku langsung memfokuskan pandangan pada tubuh Ilham. 

"Oohh... kapan Kakek memasukannya kesitu?" 

"Kamu tidak sadar?"

"Tidak, Kek." Kakek pun tersenyum. 

Ternyata, Kakek memasukan sukma dukun itu ke tubuh Ilham. Lalu menguncinya agar dia tidak bisa kemana-mana.

"Tolong lepaskan, saya berjanji tidak akan ganggu cucumu," rengek dukun itu.

"Sekarang tergantung kamu, Amir. Mau kamu apakan dukun ini. Kakek mau bantu murid kesayangan kakek dulu," ucap Kakek. Dengan cepat dia melesat ke arah Si Kingkong.

"Lepaskan saya, Anak Kecil!" 

"Ish, udah diiket masih sombong, manggil anak kecil."

"Aku bisa memberimu kekayaan."

"Gak!"

"Jabatan atau kamu bisa memilih wanita manapun untuk menjadi kekasihmu."

"Udah deh, diem dulu. Gak tau lagi fokus liatin Kakek apa!"

Daritadi mataku tidak bisa lepas dari Kakek. Sosok yang selalu tampak tenang itu, kini sedang masuk ke arena pertempuran. Tongkat  kayunya sudah berubah menjadi cambuk bercahaya putih. Setiap dia mengibaskannya, terdengar seperti suara petir. Setelah itu, anak buah Si Raksasa sudah banyak yang terkapar.

Ketika melihat anak buahnya sudah terkapar dan lari berhamburan. Raksasa itu pun itu melarikan diri. Si Kingkong dan Kakek langsung mengejarnya.

"Hey, Anak Kecil," panggil Si Dukun.

"Apaan?"

"Saya juga punya banyak pusaka seperti itu. Jika kamu mau, saya akan berikan beberapa. Asalkan kamu mau melepaskan ikatan ini." Sepertinya Si Dukun tau kalau daritadi aku memperhatikan cambuk itu.

"Tidak perlu. Jika pusakamu sakti, kenapa kamu bisa kalah oleh Kakek," ledekku.

"ARGH... SIAL ANAK KECIL! Kalau sampai saya lepas, mati kamu!"

"Nahkan, sifat aslinya keluar."

"Belang... kemana Kakek dan Kingkong pergi?" tanyaku pada si Belang yang sudah kembali berwujud macan. 

"Sebentar lagi juga selesai," balasnya.

"Tuh!" sambungnya.

"Ada apa kamu mencari saya, Amir?" ucap Si Kingkong yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Darimana saja kamu? Terus Kakek mana?" tanyaku.

"Kakek sedang mengikat Raksasa itu, lalu mengurungnya."

"Kenapa tidak dibunuh saja?"

"Dengan cara itu akan lebih menyiksanya," balas Kakek yang tiba-tiba muncul.

"Sekarang tinggal dukun ini," ucap Si Kingkong. 

"Tapi... si Hitam belum juga kembali."

"Biarkan saja, mungkin dia sedang bersenang-senang di kandang Genderuwo itu," balas Si Kingkong.

Kakek pun datang.

"Amir, ada kalanya kamu tidak perlu terlalu kasihan dengan orang lain. Biarkan orang itu menanggung akibat dari perbuatannya. Kamu tidak pernah tahu sampai mana batas kemampuanmu bisa melawan orang-orang seperti dukun ini," ucap Kakek.

"Apakah kamu tidak mempelajari perjalanan hidup ayahmu? Jika kamu terus mengambil resiko besar, maka bisa jadi kamu akan berakhir sepertinya," sambungnya.

"Tapi, Kek. Ilham tidak tau apa-apa," balasku.

"Memang, tapi ketika kamu mecampuri urusan mereka. Maka tidak hanya kamu saja yang terancam, tapi keluargamu juga. Kakek sangat yakin, kejadian ini masih akan berlanjut. Dan kamu harus benar-benar siap."

"Marahi aja, Kek. Memang anak ini keras kepala," ucap Si Kingkong.

"Kamu juga, saya utus sebagai penjaga utamanya. Kenapa pada saat itu tidak menasehatinya, malah berkeliaran, main bersama teman-temanmu," balas Kakek.

"Rasain, diomelin juga," ucapku puas.

Tidak lama kemudian, Si Hitam datang dengan membawa sukma Ilham bersamanya. Ilham tidak henti-hentinya menangis. Kasihan, dia pasti sangat ketakutan disekap di kandang Genderuwo. 

"Lama sekali kamu, Hitam," ucapku menyambutnya.

"Maafkan saya," balasnya.

"Kamu melewati pertempuran seru tadi."

"Maaf tidak bisa membantu. Genderuwo itu cukup membuat saya kerepotan."

"Sekarang tinggal kamu pikirkan bagaimana nasib dukun ini, Mir," ucap Si Kingkong.

"Aku?"

"Iya, kamu harus bisa mengambil keputusan yang tepat," ucap Kakek.

"Ya... lepaskan saja, toh dia juga sudah kapok," balasku.

"Duh... bodohnya anak ini," ejek Si Kingkong.

"Terus harus gimana?"

Kakek mendekati kasur dan meletakan tangan kanan di dada Ilham. Lalu, dia mulai membacakan sesuatu. 

"Argh! Sakit! Ampun...," ucap Dukun itu meronta-ronta.

"Ulurkan tanganmu, Amir!" perintah Kakek. Dia memberiku tiga buah bola cahaya.

"Jika kamu menghancurkan salah satunya, maka dukun ini akan terus gelisah. Jika kamu menghancurkan dua, maka dukun ini akan kehilangan akal. Dan jika kamu hancurkan semua, maka tidak lama dukun ini akan mati. Pikirkan baik-baik pilihanmu," jelas Kakek.

"Tolong kembalikan inti sukma saya," ucap Dukun itu.

Aku termenung, melihat tiga inti sukma dukun itu yang ada di tanganku. Rasanya dilema sekali, harus menjatuhkan pilihan kemana. Tidak menghancurkan satupun berarti ada kemungkinan dia bisa balas dendam. Jika dihancurkan satu, dia hanya akan stress atau gelisah. Itu berarti masih ada kemungkinan dia balas dendam. 

Apa aku harus membuatnya gila? Supaya dia tidak ingat semua kejadian ini. Atau... aku hancurkan semuanya saja. Jika dia mati, maka urusan ini akan cepat selesai. Argh, sumpah aku bingung.

BERSAMBUNG
close