Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENARI RONGGENG (Part 1)


Malam ini, aku dan beberapa teman kampus sedang kumpul di sebuah kafe. Soalnya ada salah satu dari kami sedang ulang tahun. Dia adalah Manda. Temanku yang pernah diteror Kuntilanak Merah Tol Cipularang. 

"Nda, katanya sekarang lu jadi lebih sensitif, Ya?" tanya Hendra pada Manda.

"Jadi lebih sering merinding sama pusing gitu lah, Hen. Terus kadang-kadang, nyium bau aneh ampe mual," balas Manda.

"Kok bisa gitu, Mir?" tanya Hendra.

Aku yang sedang ngemil kentang goreng otomatis berhenti mengunyah. Melotot ke arah Hendra.

"Hen," ucapku.

"Ya, Mir?" balasnya.

"Sekarang kan lagi ngerayain ulang tahun Manda. Napa lu bahas begituan sih!" 

"Yee... penasaran, Mir."

"Tau tuh si Hendra!" timpal Wildan yang duduk di sampingnya.

"Stt!" Hendra menyodorkan nugget ke mulut Wildan.

Aku dan Manda pun tertawa melihatnya.

"Jujur sih, Mir. Aku juga penasaran kok bisa begitu, Ya?" Kali ini Manda yang bertanya. Terpaksa aku harus menjawabnya.

"Gini loh, Nda. Kan lu pernah kesurupan. Bahkan ampe sukma lu dibawa ke dunia mereka. Nah... otomatis lu pernah melakukan interaksi secara langsung dengan mereka. Jadi aja gerbang di badan lu sedikit kebuka. Efeknya ya itu, jauh lebih sensitif," jelasku.

"Oh, begitu," ucap Hendra.

"Setelah kejadian itu, lu pernah liat si Kunti Merah lagi gak? Atau liat makhluk lain gitu," sambungnya.

"Si Hendra emang ya!" Wildan mencubit perut Hendra. Spontan Hendra berteriak kesakitan.

"Dibilang gak usah kepo masalah begituan!" sambungnya.

"Ntar kalau tuh Kunti Merah datang gimana," sambungnya lagi.

"Kali ini aku dukung lu, Dan. Semongko!" ucapku.

"Pernah liat sekelebatan doang sih," ucap Manda.

"Ah elah, si Manda malah dijawab. Alamat gak bakal kelar ini ampe tengah malem," timpal Wildan.

"Itu bisa ditutup gak, Mir? Gerbangnya," tanya Hendra. Kali ini Wildan sudah tak sanggup berkata-kata lagi. Memilih untuk menghabiskan nugget di hadapannya.

"Susah sih, Dra. Mungkin orang lain bisa, kalau aku sih kagak," balasku.

"Soalnya kan dulu gerbangnya di dobrak paksa. Nah jadi aja engselnya rusak. Berusaha ditutup pun pasti gak bakal rapet banget. Tetep gampang dijebol lagi," sambungku.

"Lucu juga ya, bisa engselnya rusak gitu," ucap Wildan.

"Dulu si Wildan kan pernah kesurupan. Tapi kenapa kagak sensitif sama begituan tuh, Mir?" tanya Hendra.

"Kenapa lu bahas kejadian itu, HENDRA!" Wildan terlihat kesal.

"Sebagai contoh, Dan," balas Hendra.

"Dah mending lu ngemil lagi aja," sambungnya seraya menggeser satu piring kentang goreng ke hadapan Wildan.

"Kalau kasus Wildan itu kesalahanku. Lupa nutup rapet pintunya," balasku.

Wildan mengacungkan jembol ke wajahku. Tanda setuju.

Beberapa saat kemudian, beberapa teman Manda pun datang. Ikut bergabung. Terdiri dari dua orang pria dan satu wanita. 

"Lama amat kalian!" ucap Manda menyambut ketiga temannya.

"Kenalin, ini Amir, Hendra sama Wildan," sambungnya memperkenalkan kami satu persatu.

"Yang ini Galih." Manda menunjuk temannya yang berbadan tinggi dan agak gemuk.

"Yang ini Caca." Kali ini teman wanitanya.

"Kalau yang ini Erwin."

"Salam kenal semuanya," ucapku, diikuti Hendra dan Wildan.

"Tadi lagi ngomongin apa, mukanya pada serius amat," tanya Galih.

"Ngomongin masalah dunia lain," sambar Wildan.

"Wah seru dong."

"Iya. SERU BANGET."

Aku, Hendra dan Manda hanya bisa tersenyum melihat tingkah Wildan.

"Ini si Amir anak Indomie, kalau mau tanya-tanya masalah begituan langsung aja," ucap Wildan. Sontak membuatku melotot padanya. Eh, dia malah tersenyum lebar.

"Anak Indomie?" tanya Caca.

"Indigo maksudnya, Ca," balas Manda.

"Oh yang bisa liat makhluk halus gitu ya?"

"Iya."

"Kagak ah. Sekarang aja aku gak liat begituan," elakku.

"Ya, lu tutup mata batinnya. Coba kalau dibuka. Bukannya manusia yang diajak ngobrol, malah Kuntilanak," sahut Hendra.

"Aku mau nanya dong!" ucap Erwin.

Aku menarik nafas panjang. 

"Silahkan," balasku.

"Tau pasar yang di deket stadion?" tanyanya.

"Pasar Besar?" Aku memastikannya.

"Iya."

"Tau."

"Katanya di sana serem, Ya?"

"Serem gimana?"

"Itu lantai duanya, udah dua kali kebakaran terus. Anehnya lantai satunya aman-aman aja," ucap Erwin.

"Kata temenku yang pernah iseng ke lantai duanya. Di sana serem banget, banyak setannya," lanjutnya.

"Lagian iseng ke tempat gituan," balasku.

"Sama kaya orang ini," sambungku seraya menunjuk Hendra.

Hendra pun hanya bisa tersenyum sambil menggaruk kepala.

"Tapi bener gak di sana banyak setannya?" tanya Erwin.

"Waduh, aku gak pernah ke sana. Jadi gak tau," balasku.

"Kan bisa diterawang, Mir," sahut Hendra.

"Kagak ah, capek."

"Ayolah, aku juga penasaran nih." Manda memaksa.

Terpaksa kubuka mata batin. Lalu menerawang ke pasar itu. Sebuah pasar yang cukup besar di kota ini. Makanya orang-orang menjuluki dengan Pasar Besar.

Apa yang dikatakan Erwin juga benar. Pasar ini sudah dua kali kebakaran. Setidaknya itu yang terjadi di zaman modern. Namun, kalau dihitung dari zaman dahulu kala, sudah lebih dari lima kali. Bahkan pernah memakan korban jiwa.

Aku tak punya gambaran yang jelas, kenapa pasar ini sering kebakaran. Bahkan sudah dibangun menjadi dua lantai pun kejadian itu tetap berulang. Sampai akhirnya, lantai dua tidak pernah digunakan lagi.

Jika ditanya, apakah di sana banyak makhluk halusnya? Ya, suatu tempat yang ditinggal bertahun-tahun dalam keadaan kosong, pasti akan banyak penghuninya. 

"Gimana, Mir?" tanya Hendra saatku membuka mata.

"Ya emang banyak setannya," balasku.

"Ada apa aja?" tanya Erwin.

"Waduh aku gak sempet liat satu-satu. Pokoknya banyak aja."

"Gimana kalau malem ini, kita maen ke sana." Sebuah ide buruk diucapkan oleh Hendra.

"Mulai dah!" protesku.

"Boleh tuh, ide bagus," timpal Erwin.

"Yang lain gimana?" sambungnya.

"Gaskeun!" sahut Galih.
Kutatap wajah Manda. Berharap dia menolak ajakan Hendra itu.

"Lu gimana, Nda?" tanya Caca.

"Kalau lu ikut, aku sih ayo-ayo aja," balas Manda pada Caca.

"Aku pengen nyoba penelusuran gitu sih. Biar kaya yang di youtube," balas Caca.
Kini hanya tinggal Wildan harapan satu-satunya. Kutatap wajahnya dengan tatapan memelas. 

"Aku juga ikut deh!" Belum ditanya, Wildan sudah menjawab. Pupus sudah harapanku.

"Nah... pada mau semua tuh, Mir!" Hendra terlihat senang. 

Terpaksa aku pun harus mengikuti keinginan mereka. Setelah selesai makan, kami berangkat menuju Pasar itu.

BERSAMBUNG
close