Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SI DANYANG LEMBAH JENGGES (Part 6) - Trah Timur Artonegoro

"Selamat malam, tuan. Dimanakah rumah dari Keluarga Artonegoro?"


Sesion I Pesugihan Keluarga Ningrat "Kethe Ngipri" bisa baca disini.

Bagian XI - Kemunculan Sang Wakil

Tubuh warga pendatang baru itu bergetar hebat tatkala dirinya melihat ketiga orang di hadapannya sedang berdekatan dengan pocong. Namun, bukan itu yang ia takutkan.

Pocong yang ada di hadapannya benar-benar seperti anjing peliharaan. Di lehernya terdapat sebuah tali berwarna hitam lalu melilit kuat ke bagian leher.

‘’Si...apa kalian?’’
‘’Aku Ki Malih. Aku bersama dengan dua orang saudaraku sedang mencari seseorang yang bernama Raden Artonegoro. Sepertinya, dia sangat terkenal di desa ini. Apakah kau tahu, dimana letak rumah dari Raden Artonegoro itu?”

Warga pendatang itu hanya terdiam. Keringat dinginnya mulai turun perlahan dari ujung rambut hingga membasahi bagian wajah dan berujung kepada bagian dagu.

Sesekali dirinya menelan ludah sendiri karena tidak bisa menahan rasa takut yang terbalutkan akan kengerian terhadap orang-orang aneh yang ada di hadapannya.

Tangannya mencengkram kuat bagian daun pintu. Ki Malih memperhatikan pergerakan warga tesebut. Ia kemudian tersenyum ke arah seorang warga yang tidak menyebutkan namanya. Lambat laun, senyuman dari Ki Malih justru membuat tubuhnya kembali bergetar,

‘’Jika satu langkah kakimu memasuki rumah, maka, pocong ini bisa saja merasuki tubuhmu dan kau akan menjadi peliharaanku selanjutnya.’’ Jelas Ki Malih.

Warga tersebut melepaskan tangannya yang menempel ke daun pintu. Ia kini berhadapan dengan maut jika tidak menjawab dengan jujur terkait keberadaan dari rumah Raden Artonegoro.
‘’Katakan! Dimana rumahnya, tuan?’’ Tanya Ki Malih kepada seorang warga tersebut.

Ia kemudian menundukkan kepalanya dan bersujud tepat di kaki Ki Malih sembari memohon-mohon untuk tidak dilibatkannya dalam keinginan pribadi Ki Malih.

‘’Maaf, tuan. Saya pendatang baru di desa ini. Saya tidak tahu apa-apa. Tetapi, saudara yang ada di sini, mungkin akan mengenal siapa orang yang dimaksud oleh tuan.’’

Ki Malih menengok ke arah belakang. Ia mendapati dua orang yang menjadi tamu dari desa tersebut hanya mengangguk paham seperti menyetujui langkah yang akan diambil oleh Ki Malih,

‘’Kalau begitu, apakah nyawamu berharga?”
‘’Jangan, tuan. Jangan ambil nyawaku. Ampuni saya, tuan. Saya tidak tahu apa-apa.’’
‘’Bagaimana caraku untuk mengampunimu?’’

Ki Malih kemudian mendekati pria tersebut. Ia kemudian menyentuh bagian kepala pria yang tampak dipenuhi dengan ketakutan.

‘’Apakah nyawamu cukup berharga untuk bisa menjadi pisau tak bernyawa?’’

Pria itu mendongakkan kepalanya. Ia kemudian tenggelam dalam perkataan Ki Malih yang menginginkannya sebagai orang yang mampu memata-matai Raden Artonegoro dan juga keluarga lainnya.
‘’Aku siap menjadi pisaumu, tuan.’’
‘’Jawaban yang bagus, anjingku.’’

Pagi harinya, aku dan Mas Rahardian berangkat menuju sekolah. Kami berdua segera mempercepat langkah dan berpisah di persimpangan jalan.

Saat aku melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah, aku melihat Alya yang berangkat bersama dengan orang asing menggunakan sepeda motor milik Ayahnya.

Aku pikir, orang asing yang membonceng Alya tersebut adalah saudara yang dimaksud oleh Alya yang berasal dari timur.
Sesampainya di sekolah, alya masih menunggu di depan gerbang. Dia bersama dengan saudaranya yang berasal dari timur seperti sedang menunggu seseorang.

‘’Nah, kebetulan sekali. Tuh anaknya!” Ucap Alya sembari menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.

Aku hanya terdiam dengan berbagai kebingungan yang melandaku di pagi hari yang cerah ini. Dengan terpaksa, aku pun mendekatkan diri ke arah Alya, namun, hal yang aneh justru terjadi sesaat sebelum aku melangkah lebih dekat ke arahnya.

Aku seperti berada di ruang dan waktu lain. Aku hanya terdiam terpaku hingga membuat tubuhku benar-benar kaku untuk digerakkan.
Dua orang yang berada di hadapanku menghilang dengan seketika. Lalu, kedua kakiku tampak seperti menyetuh air.

Bersamaan dengan itu, hidungku mencium bau busuk dan anyir seperti bebauan darah yang pekat. Aku perhatikan kedua kakiku yang sudah merasakan basah itu, dan ternyata…

‘’Astaghfirullah!’’
Aku sedang berada di sebuah tempat yang hampir semua tempatnya terendam oleh air berwarna merah darah. Bau busuk dan anyir yang kucium ternyata berasal dari ratusan bangkai manusia yang terendam oleh air tersebut.

Aku tidak tahu sedang berada dimana. Aku pikir, ini berada di alam lain. Mungkinkah aku sedang melihat masa depan yang akan terjadi atau masa lalu yang nantinya terjadi?
Tiba-tiba, dari arah belakang, pundakku disentuh oleh sebuah tangan yang belum aku kenal sebelumnya.

Aku langsung membalikkan badanku dan melihat dengan jelas seorang pria dengan tubuh yang tinggi lengkap dengan jas berwarna hitam serta topi layaknya mafia sedang berdiri sembari memegangi tongkatnya.

‘’Si...apa, kau?’’

‘’Selamat datang di Lembah Jengges, nak. Kamu sedang melihat tragedi dimana sebuah desa yang ada di timur ditenggelamkan oleh keserakahan manusia itu sendiri.

Tanah menjadi lumpur, air menjadi darah, udara menjadi racun dan pepohonan serta kehidupan lainnya terkubur dalam kebisuan hati-hati manusia yang menghitam.’’

Aku belum mengerti, siapa orang tersebut dan mengapa dirinya mengatakan banyak tragedi di sebuah tempat yang bernama Lembah Jengges?
Pria tersebut tak lain dan tak bukan adalah Sang Wakil. Dia menamakan diri sebagai Sang Wakil di hadapanku.
‘’Aku adalah Sang Wakil.’’

‘’Sang Wakil?’’
Aku belum melihat dengan jelas wajah dari orang yang menyebutnya sang wakil tersebut. Akan tetapi, tidak berselang lama, aku mendengar tangisan dan teriakan orang-orang.

Air yang membasahi kakiku dengan cepat menghilang. Kini, seluruh tanah yang menghampar sepanjang aku memandang berisi orang-orang yang telah terkapar tak berdaya.

Mereka yang masih selamat terus menutupi hidungnya dengan tangan. Bagaikan bahaya yang mendatanginya lewat udara, beberapa dari mereka yang membuka kedua tangannya dan membiarkan hidungnya menghirup udara kematian tersebut, langsung ambruk dengan seketika.

Aku tidak mengerti, sedang berada dimana aku kali ini? Mengapa pandanganku benar-benar sangat aneh. Mengapa banyak orang yang mati dengan seketika? Apa yang terjadi dengan desa dan juga negeri ini? Siapa yang berbuat demikian?

Tidak berselang lama, pundakku ditepuk dari depan oleh tangan yang begitu familiar. Alya segera menyadarkanku.
‘’Syah? Kamu kenapa? Kok kamu ngeliatin om aku kaya aneh gitu?’’ Tanya Alya.

Aku baru sadar ternyata aku berada dalam sebuah ilusi yang mengarahkan kepada dua sisi. Entah kepada masa lalu atau pun masa depan. Akan tetapi, yang baru saja aku rasakan benar-benar terasa nyata sekali.
‘’Syah? Kamu sakit?’’
‘’Ng...ngga, lya. Aku gapapa kok.’’

Alya tampak bingung melihat tingkah anehku. Namun, terlebih dari itu, orang yang disebut sebagai saudara Alya tampak tersenyum ke arahku.
‘’Jadi, kamu yang namanya Aisyah?’’ Tanya Saudara dari Alya

‘’Be...benar, om.’’ Jawabku dengan gugup.
‘’Namaku Batara. Aku adalah saudara dari Alya. Kebetulan, alya memberitahuku terkait keluargamu. Katanya, kau putri bungsu dari Raden Artonegoro, ya?” Tanya Om Batara.

Aneh! Bagaimana dia tahu? Apa mungkin Alya sudah menceritakan tentangku kepada Om Batara? Jika apa yang dikatakan oleh Kyai Sukri bilang, orang yang berasal dari timur sudah berada di desa. Namun, siapa orang tersebut? Apakah orang yang dimaksud oleh Kyai Sukri adalah Om Batara?

‘’Maaf, syah. Sebelumnya, aku sudah menceritakan tentangmu dan juga keluargamu kepada Om Batara. Katanya, dia penasaran dengan orang yang memiliki darah ningrat. Makanya aku ceritain tentang kamu.’’

Deg! Benar saja. Semua yang sudah aku perhitungkan terjadi. Alya tanpa sadar telah memberikan celah kepada orang-orang yang berasal dari timur untuk membocorkan tentang rahasiaku yang seutuhnya hanya beberapa orang saja yang tahu.

Perihal aku yang berasal dari keluarga ningrat, aku belum menceritakan kepada siapapun kecuali dengan Alya. Atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin takut untuk kembali menceritakan tentang keluargaku.

Sementara itu, di sekolah Mas Rahardian telah datang beberapa orang dengan menggunakan pakaian adat khusus.

Mas Rahardian yang saat itu sedang bersama dengan seorang teman dekatnya yang bernama Dito, mereka berdua tampak memperhatikan gerak-gerik dari beberapa orang yang memasuki sekolahnya.

‘’Yan? Sejak kapan sekolah kita kedatangan orang-orang yang pake pakaian adat gitu? Emangnya, sekolah kita akan ada acara khusus ya? Kok pake segala ngundang orang-orang aneh gitu?” Tanya Dito kepada Mas Rahardian.

‘’Aku kurang tahu, to. Kan katanya kepala sekolah kita memang dekat dengan orang-orang seperti itu. Mungkin, itu adalah teman-teman dari kepala sekolah.’’

Mas Rahardian tampak merasakan ada yang tidak beres. Sedari tadi, tangannya bergetar seperti menahan rasa takut. Tatapan matanya juga mengarah tajam kepada salah seorang dari mereka.

‘’Kring! Kring!’’
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Dito dan juga Mas Rahardian memasuki kelas. Murid-murid yang berada di luaran juga sudah siap untuk memasuki kelas dan menerima pelajaran dari guru.

Di saat guru memasuki kelas, tiba-tiba, tatapan matanya mengarah kepada Mas Rahardian yang kala itu sedang menyiapkan buku pelajaran.

‘’Rahardian. Kamu dipanggil Bapak Kepala Sekolah. Katanya, ada yang ingin menemuimu di sana.’’
‘’Siapa memangnya, bu?’’
‘’Ibu tidak paham. Katanya, masih saudaramu sendiri. Coba kamu ke sana aja.’’

Mas Rahardian tampak gelisah sewaktu guru itu memintanya untuk menuju ke ruang kepala sekolah. Padahal, setahunya, saudara-saudara dari kedua orang tuanya sudah meninggal dunia akibat tragedi yang terjadi 15 tahun silam.

Jikalau masih ada, itu adalah Mas Krishna dan juga Raden Suropto. Mereka berdua jarang menemui kedua orang tuanya dan sekarang masih berada di sebuah tempat yang disebut dengan nama Siti Pangaliran.

Lantas, siapa saudaranya yang akan menemui Mas Rahardian? Apakah jangan-jangan orang tersebut adalah orang yang dikatakan oleh Kyai Sukri?

Mas Rahardian pun melangkahkan kakinya untuk keluar kelas. Sebelum itu, ia menatap dito, teman dekatnya. Seakan-akan memberi pesan kepada Dito bahwa yang dimaksud oleh gurunya bukanlah hal yang sebenarnya.

Dito hanya terdiam dalam keadaan hati yang penuh kebingunga. Ia masih belum menangkap pesan yang baru saja disampaikan oleh Mas Raharadian lewat tatapan matanya itu.

Sebelum keluar kelas, mas rahardian mendekati guru tersebut. Ia kemudian mengatakan kegelisahannya kepada guru tersebut,

‘’Maaf, bu. Sebelumnya, saya dan keluarga tidak memiliki saudara. Saudara saya semuanya meninggal dunia.’’ Ucap Mas Rahardian
Guru itu hanya tersenyum. Ia seperti mengerti dan mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang menjadi pernyataan bagi Mas Rahardian.

‘’Siapa tahu, mereka adalah saudara jauh.’’
‘’Saudara jauh?’’
‘’Coba kamu langsung ke ruangan kepala sekolah saja. Soalnya, ada dua orang di sana.’’
‘’Dua orang?’’
‘’Kamu mungkin mengenal orang tersebut.’’

Mas Rahardian tersenyum. Mungkin, kedua orang tersebut adalah Mas Krishna dan juga Raden Suropto. Kebetulan, mas rahardian sangat rindu dengan keduanya.
Mas Rahardian pun segera melangkahkan kakinya untuk keluar kelas. Kebahagiaannya benar-benar tergambarkan dalam raut wajahnya

Ia tidak sabar untuk menemui kedua pamannya tersebut.
Ada banyak pertanyaan yang ia tanyakan terkait kemampuannya yang baru-baru ini ia dapatkan seperti mampu melihat kematian seseorang. Ia juga ingin menanyakan bagaimana caranya untuk bisa mengendalikan kemampuan tersebut.

Langkahnya benar-benar dipercepat. Ia seakan tidak sabar untuk melihat kedua wajah pamannya tersebut. Kini, dirinya sudah berada di dekat ruangan kepala sekolah. Beberapa langkah lagi, dia akan memeluk kedua pamannya tersebut dengan erat.

Saat dimana Mas Rahardian mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara dari Bapak Kepala sekolah untuk memintanya masuk,
‘’Masuk.’’

Namun, saat pintu tersebut terbuka, mas rahardian justru merasakan hawa yang aneh.

Hawa kematian yang begitu jelas dan nyata hingga membuat bulu kuduknya merinding seketika. Tangannya mendadak menjadi lemas saat yang ia dapati adalah dua orang asing yang sedang duduk dengan kaki kanan yang berada di atas kaki kiri seperti layaknya gambaran seorang mafia.

Kedua orang yang ‘’katanya’’ saudara jauh dari Mas Rahardian benar-benar memiliki perawakan yang sangat menyeramkan.
Pintu kembali tertutup dengan sendirinya. Kini, mas rahardian sudah berada di dalam ruangan.

Dia melihat dua orang dengan menggunakan jas hitam dan topi ala mafia sedang terduduk sembari membakar rokok cerutu yang asapnya mengepul ke seluruh ruangan.

Sedangkan Pak Kepala sekolah, wajahnya terlihat pucat pasi. Keringat dinginnya terlihat di bagian wajah dan menetes terakhir di ujung dagunya yang sedikit lancip.
‘’Jadi, kamu yang namanya Raden Rahardian Artonegoro? Benar begitu, cah ganteng?’’ Tanya salah satu dari mereka.

‘’Ka...lian siapa?’’ Tanya Mas Rahardian.
‘’Menunduklah dengan sopan, raden muda. Tidak sepatutnya kamu berkata seperti itu.’’

Entah mengapa, tubuh Mas Rahardian langsung ambruk seketika. Wajahnya langsung tertunduk ke lantai seolah-olah sedang memberikan penghormatan sujud kepada kedua orang misterius yang memiliki aura kematian yang sangat besar.

Salah satu dari mereka mendekati Mas Rahardian sembari mengangkat dagu Mas Rahardian hingga dirinya mampu melihat kedua mata Mas Raharadian yang indah.
‘’Kamu pemilik pangaweruh, cah ganteng. Mata kamu bisa melihat nasib baik dan buruk manusia.’’ Ucapnya.

***

Bagian XII - Dia Bernama ...

Setelah sepulang sekolah, aku menunggu Mas Rahardian di persimpangan jalan seperti biasa. Akan tetapi, sedari tadi, mas rahardian tidak tampak batang hidungnya. Mungkin, mas rahardian sedang bersama dengan temannya yaitu Dito.

Tetapi, mustahil bagi Mas Rahardian untuk berlama-lama. Apalagi, keadaan kedua matanya yang mampu melihat orang lain dalam keadaan yang tidak baik, aku sungguh sangat khawatir dengan keadaan Mas Rahardian saat itu.

Setelah 10 menit aku menunggu, dari kejauhan, aku melihat seorang pemuda yang langkah dan gerak-geriknya benar-benar tampak familiar. Dia adalah Mas Raharadian.
‘’Mas! Sini!’’ Teriakku

Mas Rahardian yang mengetahui hal itu langsung mempercepat langkahnya. Tepat di saat Mas Rahardian sudah tiba, ia langsung menarik tanganku dan memintanya untuk cepat pulang ke rumah,
‘’Mas? Ada apa?’’
‘’Kita harus keluar dari desa ini.’’

Aku pun melepaskan pegangan Mas Rahardian. Kami sempat berdebat terkait apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Rahardian barusan,
‘’Apa maksudmu, mas? Kita kan belum lulus.’’
‘’Itu tidak perlu. Yang kita perlukan saat ini adalah keselamatan dari kedua orang tua kita.’’

‘’Maksudnya?’’
‘’Mereka sudah ada di desa ini.’’
‘’Mereka siapa?’’
Mas Raharadian terdiam sejenak. Ia kemudian memperhatikan kanan-kiri sekitarannya. Berharap, apa yang ia sampaikan, tidak terdengar oleh orang-orang yang ada di sekitarannya.

‘’Sang Wakil.’’
‘’Sang Wakil?”
‘’Benar. Tadi, ada dua orang yang mengaku sebagai saudara dari Bapak datang ke sekolahku. Aku kira, mereka berdua adalah Mas Krishna dan Raden Suropto.

Tapi kenyatannya bukan. Kedua orang tersebut berasal dari timur. Mereka mengatakan, jika aku adalah orang yang dicarinya.’’

‘’Orang yang dicari?’’
‘’Benar. Selain itu, mereka juga mengingat dengan jelas akan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh Bapak dan juga Ibu. Kita harus keluar dari sini. Jika tidak….‘’

‘’Jika tidak apa, mas?’’
‘’Malam ini akan banyak korban yang berjatuhan.’’
Perkataan Mas Rahardian membuat tubuhku merinding seketika. Aku sesekali meneguk air liur yang sudah tertahan di bagian ujung mulutku.

Aku tak sadar, jika apa yang dikatakan oleh Mas Rahardian benar-benar adanya. Apalagi saat Mas Raharadian menyebutkan kalimat ‘’Sang Wakil’’

‘’Kita harus cepat pulang.’’
Kami berdua pun mempercepat langkah kami untuk segera pulang ke rumah.

Sekarang, tujuan kami adalah bagaimana caranya agar bisa menyelamatkan kedua orang tuaku dan juga yang lainnya dari incaran orang-orang yang menyebutkan dirinya sebagai ‘’Sang Wakil.’'

Setibanya di sekolah, kami berdua langsung menemui Ibu dan Bapak. Kami pun langsung menceritakan terkait apa yang baru saja terjadi di sekolahan.

Ibu dan Bapak menyimak segala perkataan yang kami lontarkan. Ketakutan yang benar-benar tercurahkan membuat Bapak dan Ibu dalam keadaan yang membingungkan.

Terlebih lagi kepada Bapak. Dia sama sekali tidak mengetahui terkait keluarganya yang berada di daerah timur. Saudaranya yang ia ketahui hanyalah Raden Kuncoro.

Selebihnya, kemungkinan besar telah tenggelam dalam catatan sejarah dan sekarang kembali lagi bermunculan seperti apa yang pernah disampaikan oleh Mas Krishna dan juga Raden Suropto.

‘’Bagaimana ciri-ciri mereka berdua?’’ Tanya Bapak kepada Mas Rahardian.
‘’Salah satu dari mereka memiliki penglihatan yang tajam Badannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Memakai topi layaknya mafia.

Dan orang yang sering menggunakan sarung tangan selalu bertumpu kepada tongkat.’’ Jelas Mas Rahardian.
‘’Tongkat?’’ Tanyaku.
‘’Kau tahu sesuat tentang itu?” Tanya Bapak kepadaku.

Aku pun mengehela nafas sejenak. Tampaknya, ini akan menjadi pembahasan menarik terkait apa yang kami lihat dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

‘’Sewaktu di sekolah, aku menemui saudara dari Alya. Dia menamakan diri sebagai Batara. Namun sebelum itu, aku mendapatkan sebuah pandangan yang aneh.’’

‘’Pandangan yang aneh?’’
‘’Aku melihat tragedi dimana sebuah desa yang ada di timur ditenggelamkan oleh keserakahan manusia itu sendiri.

Tanah menjadi lumpur, air menjadi darah, udara menjadi racun dan pepohonan serta kehidupan lainnya terkubur dalam kebisuan hati-hati manusia yang menghitam.’’ Jelasku.

Bapak langsung mengingat akan sebuah tempat yang desanya terendam oleh sebuah bencana alam yang disebabkan oleh tangan manusia itu sendiri.
‘’Jangan-jangan…‘’
‘’Kenapa, pak?’’

‘’Dia adalah orang yang dimaksud oleh Raden Suropto. Dia adalah sang wakil. Orang yang masih memiliki ikatan dekat dengan Keluarga Brotoseno dan juga Pak Lingga!”
Ibu terkejut mendengar hal itu. Lagi-lagi, dendam lama belum juga terselesaikan.

Mereka benar-benar telah mendatangi desa dan bermaksud untuk membalaskan dendam.
‘’Tetapi, dia memiliki ambisi yang berbeda.’’ Ucap Mas Rahardian.
‘’Ambisi yang berbeda?’’

‘’Kali ini, mereka datang bukan hanya untuk membalaskan dendam saja. Melainkan, mereka ingin mengambilku karena menurutnya aku adalah seorang pangaweruh.’’

Menurut Bapak, pangaweruh sendiri adalah sebuah kemampuan yang langka. Selain mampu melihat kematian seperti apa yang dikatakan oleh Mas Rahardian, si pangaweruh juga memiliki sebuah penglihatan terkait nasib baik dan buruknya seseorang.

Tidak heran, jika orang-orang yang berasal dari timur berkeinginan untuk mengambil Mas Rahardian karena memiliki kemampuan yang melebihi batas wajar manusia normal.
Namun, bapak dan Ibu mencoba untuk menenangkan keadaan.

Mereka berdua tidak ingin jika tragedi yang sama akan terjadi lagi begitu cepat.

Karena itulah, untuk menghindari tragedi yang sama, bapak akhirnya meminta bantuan kepada Kyai Sukri untuk bisa membendung serta menghalau orang-orang yang berasal dari timur dengan dua ambisi yang berbeda. Yaitu Dendam dan juga Misi penculikan Mas Rahardian!

Tiba saat malam hari, seorang warga keluar dari rumahnya. Mereka berniat untuk mencari angin dan merasakan udara segar di sekitaran rumahnya.

Namun, saat dirinuya sedang berjalan-jalan di dekat rumahnya, tiba-tiba, ada angin besar yang menabrak tubuhnya hingga hal yang mengerikan pun terjadi kepadanya.
Tenggorokannya mendadak menjadi kering. Matanya langsung memerah.

Dari mulutnya, keluar cairan berwarna kuning seperti menandakan adanya kerusakan dalam bagian dalam tubuhnya. Warga tersebut meninggal dunia karena hal tersebut.

Di tempat lain, irham dan juga rosikin, dua warga yang sempat membuat heboh para warga sedang berjaga-jaga di sekitaran pos ronda.
Mereka berdua tiba-tiba merasakan hawa merinding yang kuat tatkala tiga orang warga asing yang mengenakan pakaian serba hitam melewatinya.

Irham dan Rosikin yang kala itu sedang bermain catur langsung terdiam. Mereka berdua pun langsung menengok ke arah tiga orang warga asing yang melewatinya tanpa menyapanya.

Dengan tegas, irham dan rosikin pun segera menghentikan ketiga orang tersebut.
‘’Maaf, tuan-tuan. Kalian mau kemana? Kalian bukan warga sini, kah?” Tanya Irham
Salah satu dari ketiga orang tersebut hanya tertawa. Ia kemudian menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Irham,

‘’Kami ingin mencari rumah dari Raden Artonegoro. Bisakah tuan-tuan ini menunjukkannya kepada kami?’’ Tanyanya.

‘’Maaf, kami tidak bisa menjawabnya sebelum kalian bertiga memperkenalkan diri kepada kami siapa kalian sebenarnya.’’ Ujar Rosikin.

Bersamaan dengan itu, angin yang semula tenang, kini berhembus dengan kencang hingga menusuk ke bagian tulang rosikin dan juga Irham. Keduanya benar-benar merasakan kedinginan karenanya.
‘’Kalian ingin tahu siapa kami sebenarnya?”

Salah satu dari mereka pun membuka topi mafia yang dikenakannya. Ia kemudian menunjukkan sesuatu yang berasal dari kantong jas hitamnya,
‘’Tuan, apakah jantung manusia ini bisa dimakan?” Tanya pria tersebut sembari menunjukkan jantung manusia yang masih berdetak.

‘’Ka..u? kau siapa?’’
Irham dan Rosikin pun mundur ke belakang hingga keduanya terjatuh karena terkejut melihat jantung manusia yang berasal dari kantong jas hitamnya.

Secara perlahan, orang tersebut berjalan ke arah Irham dan juga Rosikin. Ia kemudian menyebutkan namanya tepat di hadapan Irham dan Rosikin,
‘’Perkenalkan, tuan. Namaku Raden Sengkuni!’’

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close