Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

IKUT HAJATAN DI PERKAMPUNGAN JIN DI ALAS ROBAN

JejakMisteri - “Dari dulu tahun 80an, saya sudah bekerja, sebelum saya punya istri dan masih muda, dan saya bekerja di Pekalongan, kerja serabutan, apa saja saya jalani asal dapat bekerja.
 Sampai saya menemukan kerja saya yang sekarang ini sebagai penjual bubur kacang hijau, di antara kerjaan saya sebagai seorang penagih hutang, dulu, kalau nagih hutang, saya sering ke dukun, untuk minta syarat agar kerjaan nagih hutang saya lancar tanpa kendala, ada seorang dukun yang saya andalkan, namanya dalang Waskito, dipanggil ki Waskito, memang dari sarat ki Waskito saya sering mendapat sareat darinya sehingga waktu menagih hutang itu saya menjadi gampang, karena sering ke rumah ki Waskito, kami akhirnya seperti keluarga, ki Waskito tinggal di daerah Krapyak, suatu malam saya dan teman saya namanya Junaidi seperti biasa meminta sareat pada ki Waskito, dan malam itu jam baru saja habis magrib, sedang kami dalam keadaan ngobrol, tiba-tiba ada tamu yang datang, seorang berpakaian hitam-hitam, aneh pak, saya kok merinding melihat orang itu padahal ya orang biasa, otomatis pembicaraan saya, Junaidi dan ki Waskito terhenti, sementara ki Waskito mempersilahkan tamu itu untuk masuk, tapi tamu itu tetap berdiri tak mau duduk.”

“Ki.. sampean saya minta untuk datang, ndalang di rumah saya..” kata orang itu sambil berdiri, aku merasakan nada yang membuat bulu kuduk saya berdiri, padahal yang diucapkan kata biasa.

“Kapan?” tanya ki Waskito.

“Malam ini.” jawab orang itu singkat.

“Wah kok mendadak sekali?” tanya ki Waskito.

“Ya karena anak perempuanku menikah, sudah ada rencana nanggap wayang, kok dalangnya sakit, sehingga pertunjukan gagal, jadi Aki ku minta menggantikan dalangnya, apa aki bisa?” ki Waskito menerawang, sebentar memandangi orang yang datang.

“Di mana daerahnya?” tanya ki Waskito.

“Di desa Keling.”

“Desa Keling kedung ombo?”

“Di mana itu tempatnya?” tanya ki Waskito, setelah mikar mikir desa yang disebutkan tak ada dalam ingatannya, aku saja yang wira wiri, biasa nagih hutang juga gak tau di mana ada desa seperti itu di ingatanku juga tak ku temukan.

“Berapa sampean minta, akan ku bayar ki, sebutkan saja…” kata orang itu.

“Ya… ya… saya akan siap, lalu bagaimana saya kesana, karena kok saya asing dengan nama desa itu?” tanya ki Waskito.

“Sekarang juga barengan saya ki, saya antar.”

“Oh ya.. ya.. saya siap siap dulu.. silahkan sampean duduk, minum dulu..” jawab ki Waskito sembari mempersilahkan tamunya yang terus berdiri itu, ku lihat orang itu tinggi besar, dengan pakaian hitam seperti pakaian jawara orang jaman dahulu.

“Tidak ki, biar saya menunggu di luar saja..” kata orang itu tanpa menunggu persetujuan dan berbalik keluar rumah.”

Setelah orang itu keluar rumah, Junaidi pamit ke kamar kecil, tak tau kenapa dia ingin kencing, sementara tinggal ki Waskito duduk bersama saya.

Ku lihat kerutan yang dalam di jidat ki Waskito, dia seperti memikirkan hal yang sangat berat nampak dia mengelus-elus kumisnya dan jenggotnya yang sudah sebagian memutih.

“Pak Sutono, bagaimana ini, anak ikut saja denganku ya, untuk ikut ke orang yang sedang hajatan mantu itu.” kata Ki Waskito padaku.

“Wah ramai tentu saya mau ki, wong saya juga tidak buru-buru, sekalian nyari hiburan.” jawabku enteng.

“Eh tapi nanti kalau di sana kalau diberi makan, jangan dimakan..” kata ki Waskito
“Lhoh kenapa pak?”

“Ya pokoknya jangan dimakan.., aku ganti baju dulu.” kata Ki Waskito sambil beranjak dari tempat duduknya.

Sebentar kemudian Junaidi telah kembali dari kamar kecil, Junaidi adalah teman akrabku kemana aku berada selalu saja ada dia menemaniku.

“Jun… ini Ki Waskito mengajak kita untuk ikut menemaninya ndalang di daerah Keling kedung ombo, bagaimana Jun?” tanyaku pada Junaidi yang menyalakan rokoknya.

“Wah kebetulan kang, kita ada hiburan gratis, siapa tau di desa itu ada ceweknya yang cantik, dan nyantol ke kita, heheheh…” jawab Junaidi sambil menyalakan rokoknya.

Sebentar kemudian Ki Waskito sudah keluar dari dalam rumah dengan pakaian ala dalang plus keris yang terselip di pinggangnya bagian belakang. Dan kami segera berangkat, rupanya di luar ada kereta kuda, yang di atas kaisnya sudah ada orang yang tadi menjadi tamu, tanpa banyak bicara kami segera naik di kereta kuda, atau dokar, di Pekalongan disebut gelinding, juga tak ada yang aneh, atau saya sendiri yang tak tanggap, yang menurut saya aneh, kok sepengetahuan saya jalan di daerahnya Ki Waskito itu gak baik, tapi ini selama perjalanan seperti kereta berjalan dengan mulus tanpa ada goncangan, seperti layaknya mobil mewah saja, sebentar perjalanan sudah sampai di tempat keramaian di mana pertunjukan wayang di adakan.. kami segera turun, dan berjalan di antara orang ramai untuk mencari tempat duduk, sementara Ki Waskito sudah diminta maju ke depan untuk memulai tampil sebagai dalang, saya dan Junaidi duduk di antara para tamu, di atas meja aneka makanan tersedia, sangat lezat-lezat dan mengugah selera, aku duduk terpisah dengan Junaidi karena biasa kami berdua kan masih muda jadi mencari perempuan di area pertunjukan, melihat makanan yang lezat rasanya ingin makan, tapi saya ingat pesan ki Waskito kalau ndak boleh makan makanan yang disajikan, wah saya sampai lupa memberi tau pada Junaidi, semoga saja tak terjadi apa-apa.., sampai pertunjukan wayang selesai.

Mata terkantuk-kantuk, perut lapar, karena tak boleh makan makanan yang di sajikan, akhirnya pertunjukan wayang usai, akan pulang kami dibekali aneka makanan dan juga diberi amplop berisi uang, waktu mau pulang, kami bertiga dibilangi supaya pulang sendiri, dan disuruh jalan saja lurus jangan nengok, aneh baru beberapa langkah berjalan kami keluar dari dalam hutan Roban, bertemu dengan orang kampung yang sedang buang hajad di pinggir hutan, yang menatap kami dengan pandangan heran, apalagi melihat ki Waskito yang berpakaian dalang.

“Wah ini dari alam lelembut to ki? Pantesan semalem ramai dalam hutan ada suara pagelaran wayang..” kata orang itu ditujukan kepada ki Waskito.

“Ini hutan mana?” tanya ki Waskito.

“Ya ini alas roban to ki..”

“Walah benar juga perkiraanku..” dengus ki Waskito yang segera berjalan di antara pepohonan, sambil kami berdua ikuti.

“Waduh ki perutku mual..!” suara Junaidi, disusul dengan muntah-muntah, dan yang dimuntahkan adalah beraneka ulat, singgat, kelabang, dan aneka binatang menjijikkan, ada cacing, kecoak, ada yang dalam keadaan mati ada juga yang masih hidup. Saya segera membuka daun pisang pembungkus makanan yang diberikan pada saya, dan isinya tak beda dengan yang dimuntahkan Junaidi, segera saya campakkan.

Sementara ki Waskito mengurut-urut punggung Juanaidi agar apa yang dimakan bisa dimuntahkan semua, wajah Junaidi pucat pasi.

“Sampean gak ikut makan kan dek Sutono?” tanya ki Waskito.

“Tidak ki.., maaf ki saya lupa mengingatkan pada Juanidi, sehingga dia makan di sana tadi, jadi semalam itu kita di alam lelembut ya ki?”

“Ya begitulah.. coba keluarkan uang yang diberikan padamu.” kata ki Waskito.

Saya segera mengeluarkan uang yang diberikan padaku, ternyata hanya daun kering, segera ku buang, sungguh pengalaman yang aneh, kami akan selalu mengingat pengalaman itu..” pak sutono mengakhiri ceritanya.

close