Saat itu ashar telah menjelang, suasana mulai meremang, Jaka Indi perlahan mengiringi langkah Dewi Kemala menuju Paviliun peristirahatan, Dewi Kemala mengenakan baju sutra hitam semacam daster atau kimono sepanjang betis, dan mengenakan sepatu kain dari sutra yang juga warna hitam, terlihat betis rampungnya yang yang berwarna putih pucat, pinggangnya yang langsing dan lekukan badannya yang proposional, saat angin bertiup menghembus pakaian Dewi Kemala, rambutnya yang hitam lurus sepunggung tampak tergerai indah, sesekali. Dewi Kemala merapikan beberapa helai rambutnya yang berkibar dengan menyelipkannya kebelakang sisi telinganya.
Saat berjalan beriringan Jaka Indi dapat mencium aroma harum bunga melati yang kuat dari tubuh Dewi Kemala, dan juga ada semacam aura hawa dingin yang sangat menggigit tulang yang memancar dari tubuh Dewi Kemala, ditambah warna kulitnya yang putih pucat, pupil matanya yang merah terang, memberikan kesan misterius dan terasa menggidikkan hati saat harus berjalan berdekatan.
Walau Dewi Kemala hanya berjalan perlahan, tapi tidak mudah bagi Jaka Indi untuk mengimbangi langkahnya, karena Dewi Kemala berjalan hanya dengan menutul ujung kakinya pada permukaan tanah atau rumput, namun sudah dapat melaju pesat ke depan.
"Perlahan Dewi kemala, tolonglah berjalan lebih perlahan, agar aku tak tertinggal mengiringi langkahmu." Perlahan Dewi Kemala memperlambat langkahnya seraya melirik sekilas kearah Jaka Indi, kemudian berkata...
"Bisakah mas Raden ceritakan kehidupan Dewi Nawang Wulan dan Jaka Tarub, dan awal mereka berkenalan."
"Bisa.... bisa.... !" Jawab Jaka Indi. "Ehmm......tapi tolong panggil aku Jaka Indi saja, maaf aku tak terbiasa dipanggil dengan nama Raden." Kemudian Jaka Indi mensejajarkan langkahnya dan merapatkan dirinya lebih dekat ke Dewi Kemala. "Hmmm... mumpung bisa merapat ke kunti yang cantik, eh...ke peri cantik," Gumam Jaka Indi dalam hati.
"Begini ceritanya ...., Jaka Tarub adalah seorang pemuda gagah yang rajin ibadah dan senang tirakat, hingga ia memiliki mata bathin yang sangat peka, juga memiliki beberapa kesaktian, Ia sering keluar masuk hutan untuk berburu di kawasan gunung keramat. di gunung itu terdapat sebuah telaga yang berlokasi di desa Widodaren, Gerih, Ngawi, saat sedang mencari hewan buruan, tanpa sengaja, ia melihat tujuh wanita yang sangat cantik, yang difikir Jaka Tarub tujuh bidadari, tapi lebih sebenarnya mereka tujuh peri yang cantik yang sedang mandi di telaga tersebut. Karena terpikat oleh kecantikan para peri, Jaka Tarub mengambil salah satu selendang berwarna merah muda yang tengah disampirkan di batu. Ketika para peri selesai mandi, mereka berdandan dan siap kembali ke negeri khayangan. Salah seorang peri bernama Nawang Wulan tidak mampu ikut kembali ke khayangan, karena tidak menemukan selendangnya, maka Ia pun akhirnya ditinggal pergi oleh kawan-kawannya. Ketika hari sudah beranjak senja, Jaka Tarub muncul dan berpura-pura menolong. Dewi Nawangwulan pun akhirnya bersedia ikut pulang ke rumah Jaka Tarub dan singkat cerita, Dewi Nawangwulan akhirnya menikah dengan Jaka Tarub. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putri yang dinamai Nawangsih.
Sebelum menikah, Dewi Nawang wulan mengingatkan pada Jaka Tarub agar tidak mencari tahu rahasia kebiasaan dirinya dalam menanak nasi. Rahasia tersebut adalah bahwa Nawang Wulan selalu menanak nasi dengan hanya sebutir beras namun bisa menghasilkan nasi yang banyak. Jaka Tarub yang sebenarnya penasaran tidak menanyakan suatu apapun, tapi suatu ketika karena rasa keingin tahuannya, Jaka Tarub langsung membuka tutup penanak nasi. Akibat tindakan ini, kesaktian Nawang wulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti umumnya wanita biasa.
Akibat hal ini, persediaan gabah di lumbung menjadi cepat habis. Ketika persediaan gabah tinggal sedikit, Nawang wulan menemukan selendangnya, yang ternyata disembunyikan suaminya di dalam lumbung, agar ia tidak bisa kembali ke khayangan. Dewi Nawang Wulan yang marah mengetahui kalau ternyata suaminya yang telah mencuri selendang tersebut, mengancam meninggalkan Jaka Tarub. Jaka Tarub memohon istrinya untuk tidak meninggalkannya. Namun tekad Dewi Nawang Wulan sudah bulat. Hanya saja, pada waktu-waktu tertentu ia rela datang ke Desa Gerih Ngawi untuk menyusui bayinya Nawangsih.
Nawang Wulan memerintah Jaka Tarub untuk membangun sebuah dangau. Setiap malam, Nawangsih harus diletakkan disana agar Nawang Wulan dapat menyusuinya tanpa harus bertemu dengan Jaka Tarub. Jaka Tarub hanya bisa melihat dari kejauhan saat Nawang Wulan turun dari kahyangan untuk menyusui Nawangsih. Ketika Nawangsih tertidur, Nawang wulan kembali terbang ke khayangan. Rutinitas ini terus dilakukan sampai Nawangsih beranjak dewasa.
Jaka Tarub dan Nawangsih merasa ketika mereka ditimpa kesulitan, bantuan akan tiba-tiba datang. Diyakini bantuan tersebut datang dari Dewi Nawang Wulan. Nawangsih disebut sebagai wanita istimewa karena ia merupakan anak campuran dari manusia dan peri atau bidadari.
Begitulah cerita atau legenda Jaka tarub dan Dewi Nawang Wulan yang hidup berkembang dimasyarakat." Terang Jaka Indi panjang Lebar.
"Heumm...!!" Tiba-tiba Dewi Kemala terlihat bergumam perlahan," Benar kata pepatah, bahwa buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya."
"Eih..., maksutnya bagaimana Dewi Kemala !?" Tanya Jaka Indi penasaran.
"Hik... hik... hik..... Bukankah mas Jaka Indi juga mengintip putri Dewi Kirana saat sedang mandi...."Yang bertanda buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Sambil telapak tangan kanannya mencoba menutup mulut kecilnya menahan tawa.
"Upss.... !!" Jaka Indi hanya bisa garuk...garuk...kepala ..... sambil celakep terdiam menahan kesal, tanpa dapat berucap satu katapun.
Tak lama berjalan sampailah mereka di gapura yang dijaga beberapa prajurit wanita, setelah Dewi Kemala memberi isyarat jari tangan para prajurit tersebut memberinya jalan. Dibalik gapura terdapat taman dan beberapa bangku kayu panjang tempat duduk bersantai, dan dibelakang taman ada banyak bangunan paviliun berjajar yang didominasi oleh warna putih, disanalah Jaka Indi mulai melihat para pria muda yang tampan tampak melakukan berbagai aktifitas. Mereka juga usianya sebaya, tidak tampak anak-anak ataupun orang tua. dari para peri pria muda usia yang ada, terlihat ada peri yang hanya duduk-duduk sambil membaca, ada yang menyiram dan merawat bunga, ada yang sedang menyulam, ada yang asik menatap kelangit, ada yang bermain catur, melukis, bahkan ada pula yang hanya bermalas-malasan.
"Ini adalah Paviliun Kaputran (paviliun pria), dimana kaum pria dari bangsa peri bertempat tinggal, kata Dewi Kemala saat sesampainya mereka ditempat tersebut. Sambil terus melangkahkan kakinya melajutkan berjalan menuju salah satu bangunan yang paling sudut yang lokasinya terpisah dari bangunan-bangunan lainnya.
Sesampainya ditempat, Dewi Kemala membuka pintu bangunan mungil berwarna putih dan berkata, "Masuklah, inilah tempat Mas Jaka Indi beristirahat, nanti bila saatnya makan malam tiba, akan ada dayang-dayang istana yang akan menjemput mas Jaka, di dalam lemari terdapat beberapa stel pakaian pria, saya harap saat makan malam mas Jaka telah mengganti pakaian yang sekarang dikenakan dengan pakaian yang kami sediakan."
Kemudian Dewi Kemala membalikan badan untuk pergi berlalu, sekonyong-konyong Jaka indi meraih dan memegang tangan halus Dewi kemala dan menahannya.
"Ada apa !?" Tanya dewi Kemala, sambil menatap tajam mata Jaka Indi.
"Gak apa-apa hanya ada beberapa hal yang belum saya ketahui."
"Saat kapankah makan malam diadakan ?"
"Mengapa jumlah wanita ditempat ini jauh lebih banyak dari jumlah prianya ?"
"Mengapa tidak ada kaum pria didalam istana dan yang menjadi pengawal ?"
"Dimanakah beradanya anak-anak dan orang-orang tua ?"
"Nanti bila Mas Jaka Indi mendengar suara kentongan dipukul tiga kali, itulah tandanya saat makan malam, sedang hal yang lainnya dapat ditanyakan pada Bunda Ratu saat makan malam bersama."
Jaka Indi tetap tidak melepaskan tangan Dewi Kemala, ia dapat merasakan tangan mungil gilik yang lunak, halus serta lembut, tapi terasa dingin seperti es. Perlahan Dewi kemala menarik lepas tangannya, dan pergi berlalu meninggalkan Jaka Indi.
Jaka Indi masih dapat merasakan tangan dingin yang lembut dan aroma melati yang kuat, yang tertinggal setelah kepergian Dewi Kemala
Jaka Indi mulai mengamati kamar yang akan ditempatinya, terlihat hanya ada satu dipan kayu dilapisi selimut sutra tebal, tanpa ada kasur, dengan satu buah bantal. Disudut kamar tampak lemari berukir yang saat dibuka isinya terdapat beberapa setel pakaian seperti pakaian tradisional jawa juga ada beberapa setel pakaian seperti kimono pria, serta ada celana pendek warna putih, semacam boxer (pakaian dalam pria)
Disebelah lemari ada meja dan kursi, yang mana diatas meja terdapat satu kendi air, sekeranjang kecil buah-buahan, juga sebuah lilin besar, serta ada Jam Pasir sebagai penanda waktu, ada pula alat tulis dari bulu angsa dan 1 botol tinta, juga beberapa lembar kertas putih kosong. Disisi kanan sebelah meja tulis ada rak buku yang tersusun rapi. Saat jaka Indi memeriksa, kedapatan beberapa kitab-kitab kuno, tapi hanya sebagiannya saja yang dikenal oleh Jaka Indi, seperti Babad tanah Jawa, serat centini, serat kalatida dan ada pula ramalan Prabu Jayabaya dan Ronggowarsito, bacaan-bacaan tersebut sudah pernah dibaca Jaka Indi, sedang sebagian besar kitab-kitab lainnya tidak dikenal oleh jaka Indi, selain karena tertulis dalam bahasa sansekerta, ada yang dalam aksara cina, dan Arab gundul, adapula yang hanya berupa rangkaian gambar-gambar, serta tidak sedikit pula yang seperti tulisan Heroglif Mesir (kombinasi dari elemen logograf dan alfabet). Yang menariknya di susunan rak tersebut ternyata juga terdapat kitab Suci Al-Qur'an, Bibel dalam bahasa Yunani dan Kitab Weda, hanya saja kitab-kitab tersebut seperti sudah sangat tua usianya.
Didalam ruang terdapat kamar mandi, didalam kamar mandi ada gentong besar untuk menampung air yang mengalir keluar dari bambu kecil, serta ada pula gayung yang terbuat dari separuh batok kelapa, di salah satu sudut kamar mandi terdapat kloset jongkok. dan pada dinding kamar mandi terdapat beberapa siwak (sikat gigi dari akar / ranting pohon) juga ada beberapa botol kecil, seperti tempat sabun cair dan shampoo
Kemudian Jaka Indi, kembali ketengah ruang dan mendekati keranjang buah yang ada dimeja, diambilnya sebutir kurma, yang ukurannya dua kali lebih besar dari kurma umumnya, "Ehmmm ... rasanya manis dan daging kurmanya tebal juga terasa lembut. makan sebutir saja sudah dapat mengenyangkan," Batinnya dalam hati. Lalu Jaka Indi mulai mengeluarkan keris kyai sengkelat dari balik pakaiannya, juga mengeluarkan seruling kecil seukuran satu jengkal jari tangan orang dewasa, yang terbuat dari bambu kuning, untuk diletakan dimeja , kedua benda pusaka ini adalah warisan leluhurnya. Kemudian Jaka Indi membuka seluruh pakaiannya dan pergi menuju kamar mandi untuk sekalian mandi. Airnya seperti dari mata air pegunungan, sangat bening dan segar. Setelah mandi jaka Indi tetap mengenakan celana Jeans warna biru miliknya, hanya mengganti T Shirtnya dengan baju sutra putih lengan panjang, yang oleh Jaka Indi lengannya di gulung sampai siku.
Seusai mandi dan berpakaian, jaka Indi sholat menghadap kiblat (arah barat) dengan menja'ma qoshor sholat dhuhur dan ashar, dilanjutkan dengan zikir dan meditasi beberapa saat. untuk memperkuat perisai energi dirinya, mengingat tadi Jaka Indi merasa lengah, karena sempat terkena hipnotis oleh Dewi Kemala.
Setelah selesai meditasi lalu diambilnya seruling kecil yang terbuat dari bambu kuning, dan ditiupnya dengan irama tertentu, tak lama datanglah macan yang sangat besar dengan bulu putihnya yang lebat.
"Hauwmmm... gheerrrrr.....ada apa tuan muda memanggilku !?"
"Hadeuuuwh..... paman Hamzah, " Keluh jaka indi, "Bukankah aku telah berkali-kali mengatakan, agar paman jangan memanggilku dengan sebutan tuan muda, panggil saja aku Jaka, terlebih lagi paman sudah seperti keluargaku, selalu mendampingiku sejak aku dilahirkan.
Paman hamzah tak menjawab, tapi hanya menjilat dengan lidahnya, pergelangan lengan Jaka Indi yang tadi bekas tergores oleh kuku Dewi Kemala, sambil mengoyang-goyangkan kepalanya. "Ouwh... ini hanya bekas luka kecil dan sudah sembuh." Taerang Jaka Indi.
Paman Hamzah yang berwujud harimau putih ini sesungguhnya adalah Khodam pendamping Jaka Indi, khodam warisan leluhur, namanya adalah Hamzah (ء) yang diambil berdasar huruf Hijaiyah, memang nama-nama khodam tidak jarang hanya singkat saja, seperti mim, nun, dan semacamnya.
Kata ayah Jaka Indi, setiap keturunan prabu Brawijaya yang merupakan titisan raja majapahit akan didampingi dan dijaga khodam macan putih, hanya saja khodam macan putih ini hanya akan menjadi penjaga bagi "Keturunan tertentu" saja, tidak pada semua keturunan Prabu Brawijaya.
[BERSAMBUNG]