Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 36 END) - Mentari Diatas Hutan Tumpasan


Fajar merekah sempurna, mengenyahkan dinginnya gelap malam. Sinar mentari pagi terasa hangat menerobos sela dedaunan bambu yang rimbun.
Rombongan para pendekar dan warga desa berjalan beriringan menyusuri pinggiran hutan tumpasan. 

Murni berkali-kali menoleh ke kanan dan kiri, ia menyadari suasana hutan Tumpasan kini telah berubah drastis. Tidak ada kabut merah mengambang di sela batang pepohonan. Sinar matahari leluasa menerobos memberi kehangatan, suara kicau burung dan serangga terdengar renyah bersahutan. 

Hutan itu kembali hidup setelah sekian lama mati suri dibelenggu oleh sihir gaib Nyi Ratu Gondo Mayit. 

Larantuka memilih untuk berjalan paling belakang. Ia tidak suka bercengkrama terlalu banyak dengan warga desa maupun prajurit Kalingga walaupun mereka banyak membicarakan kisah kepahlawanannya. Netranya lebih suka mengamati Candini yang berjalan menemani disampingnya. 

Gadis itu sesekali membalas tatapan Larantuka dengan senyuman lalu terkadang bersenandung beberapa tembang yang ceria. Langkahnya ringan dan lincah. Mulut tak henti berceloteh mengenai beberapa tempat di luar Kalingga yang ingin ia datangi. Tidak tampak sama sekali bila beberapa jam lalu gadis itu baru saja lolos dari lubang jarum kematian. 

"Kenapa..." ucap Larantuka lirih. 

"Hmmm?" mata Candini membulat. 

"Kenapa kamu begitu ceria?" 

"Maksud Kakang?"

Larantuka mengangkat pergelangan tangan gadis berbaju kuning itu. Terlihat ada garis berwarna biru kehijauan berdampingan dengan garis hitam. Tanda racun hitam sedang bekerja menekan racun Ular Lembah Hitam yang ganas.

"Nyawamu saat ini sedang diujung tanduk. Kita tidak tahu kapan racun dalam tubuhmu akan kambuh. Seharusnya kita sudah angkat kaki dari tempat ini untuk mencari penawar" ujar Larantuka, ia tak habis pikir bagaimana Candini masih bisa tertawa lepas seperti tak pernah terjadi sesuatu. 

Gadis itu memamerkan giginya yang gingsul, "Aku tidak mau melewati hari-hari nanti dengan bersedih hati Kakang. Aku percaya padamu dan Sancaka mampu mengobatiku. Sebagaimana kalian tanpa diduga mampu memusnahkan Nyi Gondo Mayit. Aku sama sekali tak meragukan  kemampuanmu"

Larantuka tercenung, Candini belum mengetahui masalah racun ini bukan perkara yang mudah. Lebih sulit menginjakkan kaki ke Lembah Neraka Hitam daripada menghajar empat Panglima perang suruhan Gondo Mayit. Dulu ia susah payah melarikan diri dari tempat itu dengan keadaan sekarat. Dan ia terpaksa harus membuka lembaran kisah lama kembali demi meminta bantuan kepada orang-orang bengis itu. 

Larantuka mendengkus tajam. 

"Kali ini berbeda. Para penghuni Lembah itu bukanlah orang yang mudah dimintai tolong, apalagi mereka terkenal kejam banyak mencelakakan siapapun sesuka hati." desis Sancaka menengahi. 

Candini memandangi Larantuka dan Sancaka yang membelit di lengannya bergantian, lantas menepuk keras mereka sambil berkacak pinggang. 

Ular hitam itu mendesis keras ketika kepalanya ditepuk, ia memperlihatkan gigi taring yang tajam. 

"Ah sudahlah! Aku tak mau larut dalam kekalutan kalian, kalaupun ini waktu terakhirku aku ingin menikmatinya dengan senang senang dan gembira. Bila harus mampus ya sudah mampus saja. Tetapi sebelum itu terjadi Aku ingin melihat dunia luar dan berpetualang. Pengalaman perburuan Ratu demit kemarin sungguh mendebarkan sekaligus menyenangkan!" tukas Candini dengan dada berdebar kencang. 

"Huh, apakah kepalamu linglung tertimpa batu? Nyawamu tadi hampir saja melayang!" kata Sancaka. "Kini berkat racunku nyawamu cuma tersisa enam minggu sebelum malaikat maut datang menjemput."

"Tutup mulutmu Sancaka" tegur Larantuka. Ia tak mau Candini menjadi panik. Kepalanya sudah cukup pening memikirkan nasib Candini. 

"Biarkan saja dia ngoceh Kakang, mau mati atau hidup sekarang aku tak peduli, asalkan saat terakhirku selalu ada Kakang Larantuka disisiku" senyum Candini dengan pipi yang merona merah. Ia mengalungkan lengannya ke lengan Larantuka. 

Gadis itu tampak beberapa kali mencuri pandang pendekar tampan yang berjalan disampingnya. Kekaguman tergambar jelas dimatanya. 

Ular itu menjadi gemas, gadis ini seperti menganggap remeh hal yang berbahaya dan malah mengutamakan rasa sukanya pada Larantuka. 

"Huh buat apa bersanding dengan pendekar Cacat dan pengkor?" jengek Sancaka. 

"Aku tak peduli" balas Candini sambil meleletkan lidah. 

"Lebih baik kau jalan denganku, aku tidak cacat seperti dia" goda Sancaka. 

"Tidak"

"Aku bisa berubah jadi tampan, seribu kali lebih tampan dari Larantuka"

"Tidaaakkk-tidaakk" Candini menutup kedua telinganya. 

***

Asap bergulung tebal ketika mereka melewati padang rumput Segoro Mayit. Semua  rumput getah getih sudah mati kering karena dibakar oleh warga desa Bakor. Tanaman ini sangat berbahaya bila disalah-gunakan kaum demit kembali. 

Rombongan memasuki kembali hutan lebat penuh dengan akar gantung dan pepohonan hingga sampailah mereka di sebuah gubuk kecil sederhana yang berdinding anyaman bambu. 

Gubuk peristirahatan Nyi Melati itu terlihat lebih doyong, masih sama reot saat terakhir Murni meninggalkannya. 

Murni meminta ijin kepada rombongan untuk mengistirahatkan jasad Lembayung yang sudah menjadi tulang belulang. 

Ia buka buntalan kain yang ada di punggung dan menguburkannya di samping makam Nyi Melati yang masih dipenuhi tanah basah. 

Murni memetik beberapa daun puring dan menanamnya di pusara kedua orang itu.

Lembayung, beristirahatlah dengan tenang, kini kau bisa berkumpul lagi dengan ibumu. Semoga kau tidak kesepian lagi dan bahagia di alam sana. 

Hati Murni seperti diremas, mengenang bagaimana Lembayung sangat merindukan ibunya hingga tak menyadari bahwa dirinya ternyata sudah meninggal. Dan bagaimana Nyi Melati sangat merindukan anaknya disela hembusan napas terakirnya. 

Murni menembangkan beberapa bait asmaradhana yang diajarkan Nyi Melati. 

Nandang asmoro ing ati
(Ketika merasakan cinta di hati)
Nadyan katon ana
(Walaupun telihat di mataku)
Kaya edan bebasane
(Seperti gila seumpamanya)
Kanggomu aku lila
(Untukmu aku tetap rela)

Ketika Murni memadatkan tanah merah itu terlihat seraut asap tipis keluar dari batu pusara Lembayung. Gadis itu mendadak merinding dan merasakan hawa dingin di tengkuknya. Segera ia mendongak keatas. 

Hal yang sama terjadi di pusara Nyi Melati, ada asap tipis berwarna putih yang berputar-putar di atas makam kemudian menyatu dengan asap dari pusara Lembayung. 

Tak lama asap itu menghilang setelah menyatu dengan udara. 

"Mereka telah berkumpul kembali di alam lain, jangan khawatir lagi Murni." ujar Larantuka sambil memegang pundak Murni.

Gadis Itu mengangguk dan bangkit dari duduknya. 
"Kakang, ijinkan aku ikut berpetualang bersamamu." pinta Murni sambil membersihkan kebayanya. "Aku ingin melihat dunia diluar desa Bakor."

Larantuka mendesah," jalan hidupku sangat keras Murni. Apalagi tujuan selanjutnya hanya menawarkan maut dan marabahaya, bukan suatu petualangan yang mengasyikkan. Bahkan pendekar sakti seperti Jagadnata bisa gugur, apalagi kamu yang tidak punya kesaktian. Ingat tak selamanya nasib baik terus mendampingi kita."

Murni menunduk lesu. Ia memang hanya menjadi beban bila mengikuti langkah Larantuka. Apalagi saat ini pendekar itu diburu waktu untuk menyelamatkan Candini. 

"Aku akan merasa kesepian disini tanpamu Kakang."

"Kau tidak akan kesepian Murni, ada warga desa, juga masih ada dia yang selalu mengawasi dan menjagamu" ujar lelaki itu sambil menatap jauh ke dalam hutan. 

Terdengar suara gemerisik di balik semak-semak. Murni menoleh dan sekilas ia melihat sosok merangkak seperti anjing meloncat ke pohon beringin lalu menghilang di balik dedaunan. Sekilas mata makhluk itu terlihat sayu memandangnya. 

"Dia... apakah benar titisan adikku raden Slamet?"

Larantuka mengangguk. Kelak Murni akan mampu bersahabat dengan makhluk itu, tinggal menunggu waktu saja. 

"Saat ini kau harus menjaga desa Bakor. Aku melihat ada bakat dalam dirimu untuk menjadi pendekar wanita. Pelajarilah kitab yang diberikan Ki Argo Lawu kepadamu."

Murni menunduk sambil meraba kitab Langit Ungu Jingga di balik bajunya. Ia lalu bertekad dalam hati untuk mempelajari ilmu kanuragan agar bisa mempertahankan diri dari gangguan kaum Iblis. 

"Jika kau kesulitan datanglah ke Kalingga maka aku akan membantumu dengan senang hati." ujar Candika dari balik gubuk. "Mari kita lanjutkan perjalanan Kakang."

Gadis berbaju biru itu terlihat gagah, ia menggembol pedang besar Sinar Mas di punggung dan keris Kyai Guntur di pinggangnya. Auranya pun terlihat keluar menandakan tenaga dalam yang mumpuni. 

Larantuka lantas memberikan beberapa petunjuk bagaimana cara mengolah tenaga murni warisan Jagadnata kepada Candika. Dengan serius gadis itu mengingat baik-baik saran pemuda itu. 

Rombongan kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai ke desa Bakor. 

Disana mereka disambut oleh sorak sorai para warga dan dijamu dengan jamuan terbaik yang bisa disediakan penduduk desa. Nasi Beras Merah, lalapan sayur mayur dan ikan sungai yang dibakar terasa gurih aromanya. 

Beberapa warga bahkan berinisiatif menari di pelataran desa dengan mendendangkan tembang-tembang sukacita. 

Tak henti-hentinya orang tua Murni dan para sesepuh desa berterima kasih kepada Larantuka dan prajurit Kalingga. Mereka telah berjasa besar dalam menaklukkan ratu iblis. 

Ketika matahari mulai meninggi, saatnya rombongan itu saling berpisah. Para Prajurit Kalingga harus membawa jenazah Jagadnata dan Menggala serta prajurit yang gugur kembali ke kerajaan beserta Candika. 
Sementara Candini melanjutkan perjalanan bersama Larantuka untuk mencari penawar Racun Neraka Lembah Hitam. 

Sebelum berpisah Candika memeluk erat adik kembarnya itu. Matanya kembali berkaca-kaca

"Ingat berhati-hatilah di jalan. Jangan gegabah dan patuhi perintah Kakang. Kau harus berjanji padaku akan kembali dengan selamat." bisik Candika lirih sambil menyelipkan sebilah keris ke pinggang Candini. 

"Kakak ini keris pusaka Kyai Guntur kenapa kau berikan padaku?"

"Kau lebih membutuhkannya karena perjalanan pasti akan lebih sulit nantinya."

Kedua gadis itu kembali berpelukan dan berpisah dengan tangisan. 

"Tabahlah, aku berjanji akan membawa Candini kembali dengan selamat" ujar Larantuka. 

Candika mengangguk dengan mata yang masih berlinang. Ia lalu mengirim isyarat ke arah seorang prajurit. 

Dari iringan pasukan seorang prajurit membawa seekor kuda berwarna putih mulus dari ujung kepala sampai dengan ujung ekor. Dipelananya terdapat bingkisan bekal dari warga desa Bakor. 

"Kakang, berapa lama perjalanan ke Lembah Neraka Hitam?" tanya Candika sambil membelai surai kuda yang seputih salju. 

"Jalan kaki akan memakan waktu satu tahun,  dengan berkuda akan memakan waktu tiga bulan." ujar Larantuka. 

"Maka pakailah kuda ini Kakang, kuda ini juga termasuk salah satu pusaka keluarga kami. Namanya Mustika Putih. Guru pernah bilang bahwa kuda ini keturunan kuda kaum peri. Dia bisa dipacu siang dan malam tanpa henti. Semoga bisa mempersingkat waktu tempuh kurang dari enam minggu." ujar Candika  berharap. 

Larantuka mengangguk sambil membetulkan tali caping dan mantel hitamnya. 

"Kau sudah siap?"

Candini mengangguk kecil. 

Ringkikan Mustika Putih segera menggema di desa Bakor. Dengan sekali hentak kuda itu berlari seakan terbang membawa Candini dan Larantuka menjauhi batas desa. 

"Kakang, sampai jumpa kembali!"
Teriak Murni dan Candika bersamaan mengiringi kepergian mereka. 

Para prajurit dan warga desa melambaikan tangan dari kejauhan. Semakin jauh hingga menjadi titik hitam di tengah hijaunya hutan Tumpasan. Dibawah kaki gunung Lawu yang membiru. 

Derap kuda Mustika putih begitu lembut, diantara kepulan debu kedua insan itu seperti  mengendara kuda sembrani.

Candini menatap muka Larantuka dalam-dalam. Wajah tampan itu terlihat misterius diantara kemilau rambut hitam yang dibelah hembusan angin.

"Kearah mana kita kakang?"

Larantuka tersenyum tipis. Mata elangnya menatap ke depan dengan percaya diri. 

"Ke arah matahari terbenam, letak Neraka Lembah Hitam!"

Mustika Putih meringkik keras, kaki depannya terangkat tinggi, sehingga terlihat siluet hitam Candini dan Larantuka dengan matahari yang berwarna jingga dibelakang. 

Petualangan baru sudah menanti mereka. 

-TAMAT-

Sampai jumpa lagi dipetualangan Larantuka pendekar cacat pembasmi iblis selanjutnya

Bagaimanakah asal usul Larantuka? Bagaimana nasib Candini selanjutnya? Semua ada di episode berikutnya : Neraka Lembah Hitam! 
close