Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 34) - Siluman Ular Nagindi


Makhluk licin berdarah dingin yang mengintai mangsanya dalam kegelapan, matanya berbentuk garis, dengan taring yang berbisa, sedikit saja tersayat taring itu akan berujung kematian. Sejak zaman lampau dikabarkan secara turun temurun, dari mulut ke mulut bahwa ular sejatinya penjelmaan iblis yang licik dalam menjerumuskan manusia ke jurang kesesatan didunia. Mereka  menjadi penjaga dunia bawah tanah sedari dulu dikarenakan nenek moyangnya sang Naga Hyang Antaboga merupakan penguasa bumi.  

Ular siluman ini adalah yang terburuk dari bangsa demit, sangat ganas dan rakus dalam mencari mangsa, pada awalnya siluman ular ini menjelma menjadi wanita cantik untuk menggoda para korban. Tidak jarang manusia menjadi budak setelah menjalin beberapa kali ritual pesugihan yang diselingi hubungan intim. Tanpa disadari setelah korban bergelimang harta dan kekuasaan, disaat mereka harus membayar upah kesenangan sesaat itu manusia akan menumbalkan satu persatu orang yang disayangi, hingga pada akhirnya mereka sendiri yang menjadi tumbal dan  dihisap hawa murninya. Iblis ini tak segan menelan manusia yang sudah tak berguna dengan badan kurus kering. Wujud asli ular yang panjang dan melingkar memudahkan mereka membelit mangsa sampai kehabisan napas, Menyingkirlah apabila bertemu ular, karena sesungguhnya mereka membawa maut.

Dan kali ini rombongan Larantuka dipaksa harus berhadapan dengan ratu ular anak buah Nyi Gondo Mayit yaitu Nagindi sebelum sampai di luar lorong istana. Karena Nagindi bertindak sebagai Panglima perang penjaga Istana maka sarangnya terletak sebelum mencapai mulut pintu gerbang utama. 

Begitu melihat mangsa, ular raksasa itu mendesis keras seperti kesurupan, menyabetkan senjatanya berupa ekor tajam sebesar batang pohon.

Tubrukan itu menimbulkan suara ledakan dahsyat. Para pendekar segera menghindar dengan berpencar.

Murni entah kapan sudah berada dalam pelukan Larantuka. Pendekar itu sigap menyambar gadis yang belum bisa ilmu silat sedikitpun agar tidak terhantam Nagindi. Di dekapan pendekar itu Murni sedikit merasa aman. 

Ular raksasa berwarna hijau itu menggeliat marah melihat serangan tak berhasil, kepalanya yang besar menyeruduk ke arah Larantuka namun dengan Ajian Ilmu 'Menapak Awan' pendekar itu melayang 3 tumbak menghindari serangan. Tak ayal tembok Istana menjadi berlubang besar dihantam kepala Nagindi.

Nagindi menggeliat sambil meliukkan badannya yang berukuran raksasa, mata berpijar merah, kepalanya terangkat dua tombak dari tanah siap untuk mematuk.

Candini melotot tajam ke Nagindi, "Hai siluman cacing, kali ini ajalmu sebentar lagi tiba. Kakang Larantuka akan kembali membelah mulutmu hingga robek menjadi dua!" ujar gadis muda itu dengan nada memancing. Ular ini harus cepat dibasmi atau mereka akan terkubur reruntuhan Istana yang semakin rapuh.

Candini kali ini tak gentar melihat sosok tinggi besar kehijauan di depannya. Sudah jelas kemampuan siluman ini masih kalah jauh dari Larantuka. Tempo hari pedang merah Darah telah membabat mulut ular itu hingga terkoyak. 

Namun Candini masih hijau dan terlalu polos dalam pertarungan. Musuh memiliki bermacam-macam tipu daya dan muslihat yang bisa mengalahkan pendekar kalangan putih. Jika tidak ada siasat licik bagaimana mungkin siluman ini mampu bertahan selama ratusan tahun?

Nagindi mendesis tajam, lalu terdengar raungan wanita yang memekik tajam, ular itu menyambar ke segala arah tak peduli kemana ada benda yang bergerak segera ular itu menyeruduk.

Candini menangkap suatu keanehan pada Nagindi, "Kakang! ular itu bertindak begitu aneh, lihat matanya yang hampir keluar dan badannya seperti membengkak disana-sini"

Larantuka segera menaruh Murni di sudut yang aman, kemudian berkelebat menyerang ular raksasa itu dari depan dengan secepat kilat.  Kelebat merah menggidikkan memenuhi udara, Jurus Pedang "Samber Nyowo" dikeluarkan dengan bengis tanpa ampun.

Segera saja tiga puluh enam sabetan mengepung ular itu, dipastikan senjata mustika itu akan menebas tubuh panjang Nagindi menjadi potongan daging raksasa.

Tranggg...

Larantuka terkejut merasakan pedangnya berbenturan dengan hawa pelindung maha kuat berwarna hitam, membuatnya berjumpalitan mundur tiga tombak.

Ular Raksasa itu semakin marah dan menyerang, namun anehnya ia menyerang tembok istana bukan ke arah pemuda berjubah hitam itu. Sontak istana kembali bergetar, memuntahkan puing reruntuhan dari atap. Dari sisiknya yang tebal berjatuhan ular-ular yang berukuran lebih kecil beraneka warna.

Murni menahan napas ketika kumpulan ular itu semakin bertambah dari ratusan mejadi ribuan, mulai merambat dan bergelung seperti rambut kusut bergerak semakin mendekat ke kaki mereka. Gigi taring yang tajam tampak putih berkilauan diselimuti lendir berbisa.

Larantuka menyembunyikan Murni di punggung lalu tangan kanannya segera menyabetkan pedang secara vertikal dengan gerakan jurus "Pedang Merah Samber Nyowo". Serangan itu cepat dan enteng saja namun kesiur angin tajam yang ditimbulkan luar biasa dahsyat.

Lantai tanah segera terbelah dua, terdengar desis ular yang terpapas serangan tersebut. Ratusan ular menggelinjang hebat akibat terpotong-potong, darah amis segera menguar ke seluruh ruangan.

Ular raksasa itu seakan tak peduli anak buahnya terkena serangan Larantuka, ia seperti kehilangan akal lalu memuntahkan sesuatu dari mulutnya, ribuan ular yang mendesis dan menggeliat.

Ribuan ular kembali terus berjatuhan memenuhi lorong, mereka muncul semakin banyak tak ada habisnya seperti air banjir memenuhi terowongan, kini Larantuka dan kawan-kawan semakin terpojok.

"Celaka bagaimana ini" ujar Murni.

"Ular siluman itu sudah gila, ia memanggil semua kawanan sanak keluarganya!" pekik Candini.

Larantuka mendengkus, "Sepertinya ia sudah tak mampu mengendalikan diri lagi. Aku merasakan ilmu Iblis Sangang Urip meluap-luap dari sekujur tubuhnya, tenaga itu bahkan mampu membuat pedangku terpental."

Mata Murni membulat, "Pastilah karena aku memberikan rapalan Kitab Iblis Sangang Urip yang salah Kakang, Ular tersebut pasti melatihnya dan menemui kehancuran seperti kata pemilik kitab itu Ki Argo Lawu"

Larantuka mengangguk, kekuatan yang bertolak belakang nampak membuat ular itu tersiksa begitu rupa. Ilmu Siluman Ular Iblis Hitam sedang bertahan habis-habisan dengan rapalan sesat ilmu Sangang Urip. Pada akhirnya ilmu yang lebih kuat akan memakan yang lemah, namun pada saat itu tenaga pemakai ilmu akan terkuras habis dan berujung kematian fatal.

Larantuka terdiam mengamati sekitar, dengan kekuatan yang ia miliki ia bisa saja keluar dari tempat itu atau menghajar Nagindi si Ratu ular hingga mampus. Tapi ia mengkhawatirkan keselamatan Candini dan Murni. Bisa saja kawanan ular itu akan bertindak lebih liar ketika ratunya mati dan menyerang kedua gadis itu. Tidak ada cara lain Nagindi harus dimusnahkan sekali serang. Untuk itu ia perlu seseorang yang bisa membuka jalan di tengah lautan ular.

"Sancaka keluarlah, halau ular itu" bisik Larantuka.

Dari arah pergelangan baju panjangnya yang hitam, nampak sebentuk kepala makhluk panjang berwarna hitam menyelinap keluar.

"Heh siapa yang berani main ular disini?" Seru Sancaka geram, ia mendesis diikuti suara siulan tajam membelah udara. "Tak ada yang boleh mengusik aku apalagi dari bangsa ular! Akulah rajamu, dewamu penguasa sejati kaum ular"

Mendengar siulan itu semua ular seperti tersihir dan membeku, tak lama seluruh ribuan ular itu lari tunggang langgang meninggalkan lorong istana, melalui celah ataupun lubang sempit yang ada di dinding. Dalam sekejap lorong itu bersih dari ular, hanya tersisa ular Raksasa berwarna hijau mengkilat tengah meraung kesakitan dan membenturkan kepalanya kesana kemari.

Larantuka menghisap udara murni, tangan kanannya membuka bersiap memuntahkan tenaga ilmu putih Kitab Pusaka Langit.

Nagindi merasakan kepungan tenaga dalam mencekam dari arah depan, begitu melihat jubah hitam yang berkibar Nagindi menerjang ke Larantuka dengan penuh kemarahan. Tubuhnya yang besar menimbulkan suara bergemuruh saat perutnya bergesekan dengan lantai Istana.

Hsssshhhhhhhhhh...

"Pukulan Ajian Segoro Geni Tumpas Angin!" teriak Larantuka.

Sejurus petir menyambar ke telapak Larantuka menghasilkan tenaga serang puluhan ribu kati menghajar tepat di titik tengah antara kedua mata ular tersebut.

Terdengar suara berderak hebat, tanda ada tulang yang remuk dan patah.

Tenaga pelindung kegelapan Nagindi itu tak kuat menahan hantaman Larantuka, tapak tangan pemuda itu amblas menghancurkan otak ular raksasa tersebut diikuti suara berdebum keras.

Candini dan Murni segera menuju tempat Larantuka berpijak, mereka penasaran ingin melihat bagaimana akhir dari Nagindi, Siluman Ular penjaga Istana Jalmo Mati.

Siluman ular itu tak berdaya dan sekarat di tangan Larantuka. Tubuhnya yang panjang sampai ujung lorong nampak menggelepar lemah, dari dalam mulut ular yang menganga keluar lidah panjang dengan ujung lidah berbentuk kepala manusia!

Kepala wanita berambut hijau diselimuti banyak lendir. Matanya melotot menatap para penjagal nyawanya.

"Tamat riwayatmu Siluman!" ejek Candini sambil mengangkat belatinya hendak menghujam kepala makhluk jadi-jadian itu.

Nagindi tertawa terbahak bahak lalu secepat kilat dari mulutnya melesat cahaya berwarna kehijauan mengincar leher Larantuka.

"Awass!" seru Candini reflek menghalangi kilatan hijau itu. Terasa sakit saat ia menyadari kilatan itu adalah ular kecil berwarna hijau kristal bermata biru Menggigit tepat di bawah pergelangan tangan.

Larantuka terhenyak, tangan berkelebat, dengan sekali libas ular kecil itu hancur terbelah dua.

Namun anehnya Nagindi terus terbahak hingga ajalnya menjelang, matanya melotot mulutnya menganga, terdengar kalimat terakhir keluar dari mulutnnya.

"Racun Ular Lem..bah Ne..raka... Hi..tam..."

BERSAMBUNG
close