Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ditelan Kabut dan Suasana Mistis di Gunung Argopuro

Mungkin bagi traveler, Gunung Argopuro bukan merupakan salah satu target pendakian. Selain treknya yang sangat panjang, kabut juga senantiasa turun. Tapi belum lengkap jadi pendaki gunung, kalau belum naik ke Argopuro.

26 Desember 2011
Jalan setapak yang kami lalui pagi itu basah dan becek terguyur air hujan. Langit pun sepertinya sudah menumpahkan isinya di sebagian kawasan Gunung Argopuro. Hal ini terlihat dari kabut yang menyelimutinya.
Cuti akhir tahun 2011, kumanfaatkan untuk mendaki salah satu gunung yang terkenal dengan trek terpanjangnya di Pulau Jawa. Tidak ketinggalan gunung ini penuh dengan kisah mistisnya. Ada dua jalur pendakian menuju Gunung Argopuro. Bisa melalui jalur Bremi, Kabupaten Probolinggo dan jalur Baderan, Situbondo, Jawa Timur.

Untuk jalur naik, atas saran seorang kawan kami memilih jalur Bremi yang terjal menanjak. Lalu kami akan turun melewati jalur Baderan yang landai namun panjang.
Berkumpul di Terminal Surabaya, kemudian kami naik bis menuju Terminal Probolinggo dengan tarif ekonomi Rp 12.000. Kemudian dilanjutkan ke Pajarakan menggunakan bis arah Situbondo, cukup merogoh kocek Rp 5.000.

Sesampainya di pertigaan Pajarakan, ada angkutan desa menuju arah Desa Bremi. Lama perjalanan tak lebih dari 1 jam, dengan tarif Rp 10.000. Sebenarnya ada bis dengan trayek 2 kali sehari menuju Desa Bremi. Di kantor Polsek Krucil desa ini kami wajib lapor diri sebelum pendakian.

Setelah melewati Perkebunan Ayer Dingin yang banyak ditanami pohon sengon dan kopi, kami mulai memasuki kawasan hutan hujan tropis yang lebat. Hujan sudah reda kala itu. Sesekali terdengar suara babi hutan di lembah yang kami lewati. Target hari ini mencapai Danau Taman Hidup. Info yang kami dapat dari internet, cukup 3 jam untuk mencapainya dari Desa Bremi.

Namun setelah berjam-jam mendaki dan menjajal terjalnya medan, kami belum sampai juga. Entah berapa banyak petunjuk arah bertuliskan TAMAN HIDUP telah kami lewati. Aku tidak menghitungnya lagi.
"Tiga jam mungkin untuk ukuran penduduk desa atau pendaki dengan daypack!" ujarku menghibur hati.

Ketika bertemu dengan 2 rombongan pendaki yang turun, jawaban mereka pun berbeda-beda saat kutanya, "6 jam mbak!" dan "Sekitar 7 jam mbak!"

"Jadi, jangan percaya estimasi waktu pendakian yang ada di internet!" Kata salah seorang temanku.

Andai saat itu aku ada di rumah tentu nyaman sekali suasana sore ini, ditambah hujan! Beginilah yang selalu terlintas di kepala saat berada di gunung. Tapi selalu dan selalu aku mengulangnya lagi. Tobat sambel, kata orang.
Sejak start, hujan seolah enggan meninggalkan kami, hujan berhenti sebentar, kemudian deras lagi. Untuk kedua kalinya flysheet digelar di dataran sempit yang berhasil kami capai. Udara semakin dingin, malam pun menyapa. Karena berdiam diri terlalu lama di bawah flysheet, salah seorang rekan kami mulai menggigil kedinginan.

Khawatir ia terkena hipotermia, kami bertiga berbagi tugas. Ada yang membuat minuman jahe panas dan mencari dataran yang agak luas untuk mendirikan tenda. Walau target ke danau tidak tercapai, malam itu kami baik-baik saja.

27 Desember 2011

Setelah mengisi perut dengan makanan berkarbohidrat, perjalanan kami lanjutkan. Pagi itu bau tanah basah menyegarkan kepalaku kembali. Dengan semangat 45, akhirnya pukul 11.00 waktu setempat sampailah kami di pertigaan arah ke Danau Taman Hidup dan puncak Gunung Argopuro.
Berbelok ke kanan kami segera menuju ke danau. Danau Taman Hidup merupakan tempat yang lumayan luas untuk berkemah. Tampak sisa-sisa bekas kemah pendaki lain semalam. Di sini pendaki juga bisa memancing ikan. Akan tetapi karena tepi danau berupa rawa-rawa, kita harus berhati-hati.
Untuk mengambil air di danau, kita harus melewati dermaga kayu yang sudah mulai rusak. Perlu keseimbangan karena hanya satu sisi dermaga saja yang bisa dilewati. Tak berapa lama kemudian kabut tiba-tiba muncul kemudian hilang dan muncul kembali. Akhirnya setelah dirasa cukup istirahat dan mengambil air untuk persediaan, kami segera melanjutkan perjalanan.

Musim hujan memang bukan musim yang baik menurut sebagian besar pendaki. Jalur yang becek dan licin seolah menghambat perjalanan kami. Belum lagi lintah atau pacet menambah 'semarak' perjalanan ini. Kehebohan terjadi saat aku berusaha melepaskan lintah yang menempel di kaki rekanku. Perjuangan yang sia-sia, lintah tak mau lepas juga.
Untung ada yang membawa tembakau. Setelah diusapkan pada lintah, terlepaslah ia. Tak disangka ternyata kakiku pun menjadi persinggahan lintah. Terbukti dengan adanya lima titik bekas gigitan yang mengeluarkan darah. Untung saja aku tak melihat proses 'donor darah' ini.

Setelah kenyang, dengan sendirinya lintah terlepas. Setelah itu lintah seolah menemani perjalanan kami. Entah menempel di botol minuman, di cover, di tenda, dan di kaos kaki! Seharusnya kami memakai gaiter, pelindung kaki.

Dari Taman Hidup, kami menyusuri sisi kiri danau memasuki hutan lebat diantaranya hutan lumut menuju Cisentor. Pepohonan tinggi menghalangi matahari menerobos masuk ke hutan ini. Sehingga pepohonan berselimut lumut. Sejuk dan segar sekali.
Setelah itu kami harus meniti bibir tebing dan cukup menguras keringat. Pada satu tempat yang datar kami bertemu dengan serombongan pendaki asal salah satu SMK di Probolinggo. Mereka sedang diksar pencinta alam rupanya. Pengakuan jujur salah seorang dari mereka membuatku tersenyum,

"Lewat jalur Baderan ada yang nangis nih Mbak karena nggak sampai-sampai!" ujarnya.

Perjumpaan yang sesaat. Setelah tukar-menukar nomor handphone, mereka pun berlalu. Hari mulai sore, beruntung hari ini cukup cerah, kami melanjutkan perjalanan yang tidak tahu kapan berakhir. Tak satupun dari kami berempat yang pernah mendaki Argopuro. Hanya peta dan kompas serta petunjuk arah andalan kami.
Nekat? Tentu tidak. Dengan bekal dan peralatan yang cukup serta sedikit pengetahuan tentang gunung ini, Insya Allah cukup. Setelah melewati Aeng Kenek, sebuah mata air kecil yang jernih, sampailah kami di sebuah bukit.
Karena hampir magrib, kami putuskan untuk berkemah di sini karena tidak tahu kapan akan menemukan dataran yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Seorang teman sempat mensurvei ternyata medan berikutnya adalah menuruni lembah dan tebing yang cukup curam.

28 Desember 2011

Sejak semalam hujan turun deras. Ditambah angin bertiup cukup kencang menggoyang atap tenda kami. Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan kami akan tetap berada di tempat ini! Dua malam kami terperangkap di dalam tenda. Banyak cara untuk menghabiskan waktu di antaranya adalah dengan bermain tebak kata.
Lumayanlah untuk mengurangi ketegangan akibat buruknya cuaca. Waktu pendakian yang kami targetkan adalah 4 hari dan sudah pasti molor!

29 Desember 2011

Hujan benar-benar tak bersahabat dengan kami rupanya. Akhirnya, di bawah rintik hujan kami membongkar tenda untuk melanjutkan perjalanan menuju Cisentor. Udara terasa sangat dingin. Tadi pagi saja suhu di dalam tenda 9 derajat Celcius! Namun, indahnya pemandangan di luar tenda menghibur kami.
Sebuah bukit dengan pepohonan tinggi dan kabut. Cantik sekali. Tak kulewatkan moment ini untuk memotret. Klik! Jalur berikutnya untuk menuju Cisentor atau Aeng Poteh masih berupa tebing curam dan semak. Beberapa kali semak-semak rapat yang menutupi jalur pendakian harus dibabat dengan golok.

Pendakian ke Gunung Argopuro memang tak seramai gunung lainnya hingga banyak semak-semak yang tertutup karena jarang dilalui. Agak jauh di belakangku terkadang terdengar suara babi hutan berkali-kali. Mengerikan juga kalau tiba-tiba ia muncul, tapi untung tidak.

Sepanjang perjalanan di jalur ini banyak ditumbuhi tumbuhan berduri halus atau disebut ingas atau api-api. Banyak yang menyebutnya dengan daun 'Djancuk'. Tiap kali terkena duri daunnya, kata inilah yang terlontar dari mulut pendaki yang berasal dari daerah sekitar Jawa Timur.

Daun 'Awww..' kami menyebutnya begitu. Berapa kali tangan kami harus menyentuh daun itu akibat sempitnya medan sehingga tak bisa menghindarinya. Reaksi yang muncul adalah rasa panas yang hebat dalam beberapa menit. Terkadang juga menimbulkan gatal-gatal di tangan atau kaki seperti yang kami alami. Sore pukul 15.30 kami pun tiba di Cisentor.
Cisentor merupakan pertigaan pertemuan antara jalur Baderan dan jalur Bremi. Ada sebuah gubuk kayu di sana. Karena kosong, tenda kami dirikan di dalam gubuk supaya udara tak terlalu dingin. Di sekitar gubuk ditumbuhi bayam hutan. Lumayan untuk membuat sup bayam. Supaya badan kami hangat dan segar kembali untuk melanjutkan pendakian esok menuju puncak.

Di Cisentor terdapat sebuah sungai yang berlimpah dan sangat jernih airnya. Malamnya tiba 5 pendaki dari Malang dan Jakarta yang sebelumnya sempat mengontakku lewat sebuah jejaring sosial. Rupanya mereka pun tertahan dua hari di danau Taman Hidup!

30 Desember 2011

Pukul 04.00 pagi kami mulai pendakian menuju puncak. Ada dua puncak yaitu Puncak Argopuro dan Puncak Rengganis. Satu jam pertama, medan yang kami lalui berupa padang rumput. Di sisi kanan jalan terdapat mata air 'Rawa Embik'. Di sini airnya tidak terlalu banyak. Setelah itu kami melewati padang Edelweis sebelum akhirnya bertemu dengan pertigaan.

Ke arah kanan menuju Puncak Argopuro (3.088 mdpl) dan ke kiri menuju Puncak Rengganis. Puncak Argopuro yang lebih tinggi menjadi target pertama kami. Jalurnya cukup curam dan berupa semak-semak basah dan rapat serta pepohonan cemara. Alhamdulillah setelah 3 jam mendaki dari Cisentor, sampailah kami di Puncak Argopuro yang berupa punden berundak layaknya tempat pemujaan.
Di bawahnya terdapat tanah datar yang cukup luas dengan batu-batu yang berserakan. Dari puncak Argopuro kami turun kembali ke pertigaan tadi menuju puncak Rengganis. Medan menuju Puncak Rengganis berupa bebatuan. Alhamdulillah sampai juga kami di puncak. Bau belerang sangat terasa dari arah kawah.

Pemandangan yang sangat indah, sangat susah diungkapkan lewat tulisan. Di sini ditemukan bekas pura peribadatan Dewi Rengganis, putri Raja Majapahit. Sisa-sisa bangunan masih tampak. Setelah puas menikmati keindahannya kami segera turun karena target kami hari ini adalah menuju Cikasur.

Jalur menuju Cikasur dari Cisentor diawali dengan trek yang lumayan terjal. Kami harus mendaki dengan pohon ingas yang siap menyentuh di sisi kiri-kanan kami. Sempat terlihat seekor lutung saat kami harus melewati sebuah batang pohon yang roboh dengan susah payah. Di jalur berikutnya banyak kami bertemu savana, sebuah padang rumput yang indah.

Tersenyum aku teringat sebuah film Hindustan yang menjadikan savana lokasi favorit untuk menari dan menyanyi memadu kasih. Sayangnya cuaca cerah hari itu hanya sebentar. Guruh kemudian kerap terdengar dalam perjalanan kali ini. Sampai akhirnya hujan pun turun kembali sebelum kami mencapai Cikasur.

Pukul 16.30 waktu setempat, terbelalak mata kami melihat pemandangan berupa lapangan hijau yang sangat luas terhampar di depan. Itulah Cikasur yang berada di ketinggian 2.500 mdpl. Di sini sangat cocok dijadikan tempat camp karena terdapat sungai jernih yang ditumbuhi selada air.

Cikasur dahulu merupakan lapangan terbang dan dibangun sekitar tahun 1940 pada zaman Belanda. Sisa-sisa bangunan masih tampak. Dari informasi yang kami terima, sampai sekarang lapangan terbang ini masih digunakan untuk berbagai kegiatan. Seperti pembudidayaan macan, rusa, dan merak. Bunga-bunga berwarna-warni juga banyak bermekaran di sini.

Namun karena sedang hujan dan suasana mistis yang menyelimuti wilayah ini, mengurungkan niatku untuk mengambil foto. Banyak informasi yang menyebutkan, saat pembuatan lapangan ini banyak pekerja rodi yang akhirnya mati diberondong peluru. Mereka mati di dalam parit galian mereka sendiri di sekeliling lapangan terbang.
Tujuannya agar mereka tidak membocorkan keberadaan tempat ini. Tempat ini memang paling terasa mistisnya. Bau harum dan anyir darah sempat tercium oleh rekanku. Walau di tempat lain sempat tercium juga, yaitu di kawasan puncak Rengganis dan hutan cemara panjang. Di Cikasur kami melihat beberapa ekor burung merak yang cantik. Sayangnya saat kami mendekat, mereka kabur.

Sayangnya kami tak melihat rusa yang biasa muncul di pagi hari di sekitar sungai. Sebelum gelap, kami memutuskan untuk meninggalkan Cikasur. Pukul 18.30 waktu setempat tenda kami dirikan di jalan datar yang kami temui. Letaknya setelah melewati padang rumput dan cemara panjang yang sangat panjang jalurnya.

31 Desember 2011

Jalur Baderan memang terkenal lebih landai sehingga waktu tempuh lebih lama dibandingkan Bremi. Terlebih hujan lagi-lagi menemani seolah berat melepas kepergian kami. Hasilnya, perjalanan turun juga tersendat. Hal ini karena aliran air deras menerpa jalur setapak yang kami lewati hingga banjir. Beberapa pendaki sempat kami temui di sini.

Sepertinya mereka akan merayakan malam tahun baru di Cikasur. Satu kelompok diantaranya pernah bertemu denganku di Gunung Arjuna dan Welirang saat Lebaran. Kami break beberapa kali sambil menikmati lukisan alam yang menakjubkan di bawah rintik hujan. Pukul 17.00 waktu setempat kami sampai di Desa Baderan, Situbondo.
Tak bisa kugambarkan dengan bagaimana serunya pengalaman mendaki kali ini. Trek yang panjang dan melelahkan. Hujan yang seolah enggan meninggalkan kami. Lintah-lintah genit. Savana yang membuat semangat menjadi begitu menggelora. Keindahan Cikasur. Serta puncak Rengganis yang cantik membuat kami berjanji suatu saat akan kembali lagi, Insya Allah


KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
close