Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PART INDEX - WARISAN TUMBAL TERAKHIR


"Aku ngerti jalur turunmu seko sopo! Aku yo ngerti dunyo seng tok nduweni saiki sumbere seko ngendi! dadi rausah mbok critakne dowo-dowo, Aku tetep gak setuju Nduk Kom tok rabi!" (Aku tau jalur keturunanmu dari siapa! Aku juga tahu harta yang kamu miliki itu sumbernya darimana! Jadi, gak usah diceritakan panjang lebar, aku tetep tidak setuju kalau anak perempuan ku kamu nikahi)

Tegas dan berat suara dari seorang laki-laki tua berkopiah jaring kepada seorang pemuda tampan yang berada di hadapanya. Pemuda itu sebentar tertunduk, menatapi lantai tanah tak rata sembari tangannya meremas pegangan kursi kayu. Jiwanya bergolak marah, hatinya panas mendidih mendengar penolakan dari lelaki tua berwajah datar yang ia impikan bakal menjadi mertuanya.

Sang pemuda semakin terbakar emosi kala lelaki tua itu kembali berbicara sedikit menerangkan masa lalu dari kakek dan leluhurnya. Kepulan asap kemenyan dari rokok gulungan yang di hembuskan perlahan sang lelaki tua, tak lagi ia hiraukan meski menyesakkan dada.
Ingin rasanya saat itu ia berdiri dan mengumpat terlebih menghantam bibir tebal hitam lelaki di hadapanya, namun ia tahan, sebab ia sadar jika lelaki yang biasa di panggil Mbah Soko, bukanlah orang biasa.

Terbukti dari penolakanya yang begitu berani dengan perkataan kasar tentang keluarganya. Padahal satu Kampung, Desa atau bahkan tingkat Kecamatan tau siapa dirinya dan juga keluarganya.

"Aku ngerti seng tok pikir saiki, Aku yo ngerti nek koe loro ati! nanging koe yo kudu ngerti nek Aku ora bakal lilo ngeculke anakku dadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu nang TANGGAL TELULAS!"
(Aku tau yang sekarang kamu pikirkan, aku juga tau kalau kamu sakit hati! Tapi kamu juga harus tau kalau aku tidak bakal ikhlas untuk melepaskan anakku jadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu di TANGGAL TIGABELAS)

Terjingkat, ternganga, sosok pemuda biasa di panggil Jasmoro mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Mbah Soko.

"Mripat abang lan tangan jeger seng ngawal koe tekan kene, wes mulai do gemeruh, mulio sak urunge tak bakar kabeh!" Tegas, lagi-lagi ucapan Mbah Soko yang segera menyadarkan Jasmoro akan keadaan di sekelilingnya terasa panas.
(Mata merah dan tangan jeger yang mengawalmu sudah sampai sini, sudah mulai bergemuruh, sekarang pulanglah sebelum tak bakar semua)

***

Begitu rumit, begitu berat yang di rasa Kolis untuk memikirkan cara mengakhiri semua. Ia pikir setelah usahanya mendapatkan air tujuh sumber bisa tuntas, tapi ternyata itu baru awal permulaan.

Kali ini Kolis disuruh Pamannya untuk bertolak kembali ke kampung halaman, dan diperjalanan Kolis melihat beberapa rentetan kejadian yang akan Kolis lakukan, namun ada saja gangguan yang berusaha menjegal Kolis agar gagal.

Disana, Kolis bertemu dengan Mbah Waris untuk mengambil tujuh tanah kuburan.
...

Hening, bahkan sangat hening di rasa Kolis ketika memasuki area makam. Tetapi semakin ia mendekat ke arah makam yang terletak paling ujung, hawa lembab begitu melekat.

Setiba di tengah, atau sekitar 15 meter dari sebuah makam berpayung dan bersampingan dengan dua buah makam panjang, Kolis jatuh tersimpuh.
Tangis ketakutan pun tak lagi mampu Kolis bendung mendapati di depannya, di sebuah pohon yang berada di sebelah nisan dua kuburan panjang, tergantung sesosok tubuh lelaki tua berblangkon dengan sebuah kain hitam. Matanya melotot, lidahnya menjulur, bersama kedua kakinya yang mengejang-ngejang.

Terseok dalam linangan air mata, Kolis tetap berusaha maju mendekat ke arah tiga buah makam yang dirinya yakin adalah milik Rohmadi, Mbah Sali dan sang Istri. Dari tiga makam itulah Kolis ingin mengakhiri kengerian dalam hidupnya meski telah berkali-kali mentalnya harus di uji.

"Srakkkk... Sraakkkk...."

Terus dan terus Kolis menyeret tubuhnya. Wajahnya tertunduk, nafasnya sesak tersengal terbaui aroma kembang kamboja dan kapur barus menyengat.

Sampai di ujung dua makam terpanjang di antara makam-makam lainnya, Kolis berhenti. Menengadahkan kepalanya pelan, sembari tangannya meraih kijing batu penyekat antar makam.

"Bunggul Kenir... Bunggul Kenir..."

Terpaku senyap Kolis saat matanya beradu dengan dua bola mata putih rata dari sesosok wanita tua tengah terduduk terapit dua kayu balok di kedua kakinya.
Mulut wanita itu terus bergumam kalimat yang tak di mengerti Kolis...
close