Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEKAR PATI (Part 2) - Sirine Mobil Menggema

Sirine mobil menggema. Riuh warga ramai memadati. Tidak ada yang menyangka, wanita itu sekarang terbaring tanpa nyawa di dalam keranda.


“Tolong.... Tolong teman kos saya.... Tolong saya” teriak Tiara histeris tak beraturan pada gerombolan bapak- bapak yang waktu itu tangah bersantai di depan warung di ujung gang. Mereka pun bingung melihat kedatangan seorang wanita dengan wajah paniknya berharap pertolongan.

“Kamu kenapa, Mbak? Kenapa temannya?” tanya Sukri, salah satu diantara bapak-bapak di sana karena melihat wanita teriak-teriak hampir maghrib begini.

“Tolong, Pak.... Tolong.... Ayo, Pak.... Tolong.....” ucap Tiara dengan napas yang terengah-engah. Perkataannya masih belum beraturan karena rasa panik dan takut yang menyelimuti perasaannya.

Bapak-bapak tersebut pun hanya menatap Tiara dengan raut muka bingung. Pak Sukri memberikannya air putih agar bisa lebih tenang.

Tiara yang sudah kehabisan sabar, ia langsung menarik salah satu tangan bapak-bapak di sana yang bernama Pak Sukri dan mengajaknya ke rumah kosnya. Harapan Tiara hanya satu ; yakni agar Sekar dapat diselamatkan.

“Eh, Mbak... Kenapa? Jangan aneh begini” tegas Pak Sukri.

“Ikut saya, Pak... Tolong teman kos saya, Sekar” ucap Tiara.

“Pak Lik, Pak Darsono, ayo, Pak...” panggil Pak Sukri kepada yang lain.

Pak Sukri berlari mengikuti tarikan Tiara, sementara Pak Lik, dan Pak Darsono mengejarnya dari belakang dengan perasaan bingung atas apa yang dilakukan Tiara.

Aroma amis menyengat tercium saat baru menapaki pelataran rumah kos Tiara.

“Mbak, ini bau apa? Asalnya dari mana?” tanya Pak Lik heran.

“Teman kos saya, Pak. Tolongin dia. Saya nggak berani, Pak” ucap Tiara yang menambah bingung Pak Sukri, Pak Lik dan Pak Darsono.

Tiara menarik Pak Sukri hingga ke dalam kamar Sekar yang sudah terbuka sejak tadi. Tiara menariknya hingga tepat di dekat tubuh Sekar tergeletak, sementara Tiara meringkuk mundur ke dekat pintu dengan wajahnya yang terlihat tegang.

“Astagfirullah” Pak Sukri spontan menjerit melihat kengerian di depannya.

“Ada apa, Pak Sukri?” tanya Pak Darsono dan Pak Lik menyusul.

Tak sampai Pak Sukri menjawab, keduanya sudah lebih dulu sampai di dalam kamar Sekar yang sudah penuh dengan lumuran darah dan bau busuk yang menusuk hidung.

“Ya Allah.... Kenapa ini, Pak? Mbak, temanmu kenapa, Mbak?” Pak Lik panik melihatnya.

Penghuni-penghuni kos lain yang penasaran pun turut mengintip dari celah pintu dan jendela luar. Suasana di depan, dan di dalam kamar Sekar mendadak mencekam luar biasa.

Diantara itu, untuk memastikan kondisi Sekar masih bernyawa atau tidak, Pak Sukri memberanikan diri berjalan mendekat ke arah tubuh Sekar, memeriksa keadaan tubuh Sekar walau rasa takut masih memuncak di atas kepalanya.

“Mbak.... Mbak Sekar....” Panggil Pak Sukri seraya melangkah mendekat.

Gerombolan lalat yang dari tadi mengerubungi tubuh Sekar berhamburan terbang manakala Pak Sukri mendekatinya. Perlahan, Pak Sukri memeriksa sekujur tubuh Sekar yang hampir seluruhnya sudah dilumuri oleh darah.

“Benar-benar pemandangan mengerikan” mungkin itu ungkapan yang terbesit di pikiran Pak Sukri melihat Sekar yang tergolek tak sadar.

Pak Sukri mengarahkan jari telunjuknya ke cekungan leher dan pergelangan tangan Sekar untuk memeriksa denyut nadinya apakah masih ada. Lalu ia arahkan telunjuknya ke bawah lubang hidung Sekar untuk memeriksa apakah Sekar masih bernapas. Pak Sukri diam sejenak.

“Pak Lik.... Pak Darsono....”
“Mbak Tiara....” Panggil Pak Sukri lalu menoleh ke arah mereka.

“Innalillahiwainnailahirajiun..... Mbak Sekar sudah meninggal” terang Pak Sukri yang membuat semua orang terkejut mendengarnya.

Pak Darsono dan Pak Lik tampak lari keluar, beberapa orang bertanya kepada mereka, katanya mereka hendak melaporkan kejadian ini ke kepolisian dan RT setempat. Tak satupun dari mereka mengambil tindakan sebelum polisi atau ambulan datang.

***

Sirine mobil menggema di jalan masuk menuju kos Sekar. Total ada dua mobil polisi dan satu ambulan datang. Setelah penemuan mayat Sekar di dalam kamarnya, riuh warga kampung semakin ramai hingga jalanan dekat rumah kos yang dihuni Sekar.

Berita ini langsung tersebar luas ke telinga warga kampung. Polisi dan medis yang datang langsung melakukan tugasnya masing-masing sesuai profesinya.

Warga yang sedang berkerumun pun memberi jalan dan ruang kepada tim medis dan kepolisian. Tiga orang perawat tampak sedang memeriksa dan mengevakusai mayat Sekar, lalu memindahkannya ke dalam kantong mayat berwarna kuning.

Sambil menutup hdung, banyak orang menyaksikan kantong jenazah itu masuk ke dalam ambulan. Beberapa polisi pun tampak sedang memeriksa kamar Sekar dan beberapa titik tempat.

Tiara, Pak Sukri, Pak Lik dan Pak Darsono tak luput dari cecaran pertanyaan polisi, karena mereka yang pertama menemukan jasad Sekar tak bernyawa di dalam kamarnya.

“Pak RT, apa ada keluarganya disini?” tanya salah seorang polisi.

Pak RT menggeleng. “Tidak, Pak.” jawabnya.

Bu Turi pemilik kos bersama dengan ketua RT pun tampak bingung, mengapa kejadian seperti ini bisa terjadi disini.

“Apa sudah ada yang mengabari keluarganya?” tanya Bu Turi kepada Tiara.

“Belum, Bu” jawab Tiara.

“Tolong, kabarkan ke keluarganya, lalu sampaikan harap datang ke rumah sakit untuk mengurus jenazahnya” suruh polisi tersebut.

Bu Turi menoleh ke Pak RT, ia bingung mau dari mana menjelaskannya. Tapi, sepahit apapun keadaan sekarang, harus disampaikan kepada keluarga Sekar. Dari pada ketika jenazah Sekar sudah tiba di rumahnya, tapi keluarganya belum mengerti apa-apa.

“Assalamualaikum, Bapak....” Ucap Pak RT yang mengambil peran mengabarkan berita ini.

“Saya RT di rumah kos yang dihuni oleh Dek Sekar” tuturnya.

Dalam percakapan singkat itu, Pak RT langsung mengabarkan jika Sekar anaknya ditemukan tak bernyawa di dalam kamarnya.

***

Suara tangis mengisi rumah di sebuah desa yang bernama Sumberlawang, yang saat itu sudah pukul setengah delapan malam.

Tampak seorang pria tua baru saja meletakkan handphone di tangannya dengan lemas. Ia kemudian memeluk istrinya yang sedari tadi menguping pembicaraannya dengan seseorang di balik hanphonenya.

“Sekar, Bu….” Ucap pria itu menangis berlinang air mata.

Begitu pun istrinya, keduanya menangis, meratapi sebuah kabar yang baru saja datang mengenai anaknya yang ditemukan tak bernyawa di dalam kamarnya.

Mereka berdua adalah Pak Darmani dan Bu Wulandari, orang tua Sekar.

Beberapa menit kemudian, datang wanita muda, namanya Zulfa. Ia baru saja pulang makan bersama teman sebayanya. Zulfa kaget, karena sesampainya di rumah, melihat bapak ibunya diam sambil menangis di atas kursi ruang tamu

“Ada apa, Pak? Bu?” tanyanya sambil melangkah mendekat.

Bapak ibunya masih diam, seperti berat untuk menjelaskan.

“Mbakmu. Sekar… Dia meninggal” ucap ibunya. Tangisnya pun kembali meledak-ledak.

Berita itu bagai pil pahit yang harus keluarga mereka telan.

Malam itu, Pak Darmani mengabarkan mengenai kabar duka ini kepada Pak Carik (perangkat desa) yang kebetulan rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumahnya.

“Pak Darmani segera ke rumah sakit saja, untuk mengurus jenazah Sekar, urusan disini, biar saya dan warga yang mengurusnya” ucap Pak Carik kepada Pak Darmani.

Pak Carik menghubungi Pak Sabar adeknya untuk mengantar Pak Darmani dan keluarganya ke rumah sakit menggunakan mobil kepunyaannya.

Singkatnya, dengan diantar Pak Sabar, Pak Darmani dengan istri dan anaknya bertolak menuju rumah sakit tempat Sekar diperiksa. Disana, mereka akan mendapatkan jawaban mengenai teka-teki kematian Sekar yang belum diketahui apa penyebabnya.

“Mana anakku Sekar? Dimana dia?” tanya Pak Darmani pada beberapa warga kampung yang sudah berada di sana. Dia ditenangkan oleh Bu Wulandari yang tampak lebih tegar walau hatinya hancur.

Sekarang, bersama dengan warga yang lain, mereka nunggu kabar pemeriksaan autopsi untuk megetahui penyebab kematian Sekar.

***

Beberapa jam menunggu, seorang dokter memanggil, memecah keheningan orang-orang yang sedari tadi menunggu pemeriksaan Sekar. Pak Darmani, Bu Wulandari dan Pak RT sebagai perwakilan kampung pun masuk ke dalam sebuah ruangan.

“Kalau boleh tahu, bapak-bapak dan ibu siapanya almarhum?” tanya Dokter tersebut.

“Kami berdua orang tuanya, dan bapak ini RT di kos tempat Sekar tinggal” kata Pak Darmani.

Di situ, Dokter langsung menjelaskan, jika Sekar meninggal akibat obat keras yang dikonsumsinya untuk menggugurkan janin di dalam kandungannya. Dan Sekar sudah meninggal sejak dua sampai tiga hari sebelum akhirnya disadari oleh tetangga kosnya.

“Anak saya hamil? Tidak mungkin” kata Bu Wulandari.

Dokter memberikan bukti-bukti hasil pemeriksaannya, di situ ia membeberkan beberapa fakta dan menjelaskannya pelan-pelan terkait kondisi Sekar.

Pak Darmani yang mendengarnya pun masih menampik informasi dari Dokter Sinta, ia bahkan tidak menerima alasan itu.

“Sekar tidak pernah cerita punya hubungan dengan laki-laki. Mana mungkin Sekar bisa hamil begini. Ini pasti ada yang keliru” tukas Pak Darmani dengan raut wajah emosi.

Pak RT mencoba bersuara, ia menjelaskan temuan tiga warganya bersama dengan satu penghuni kos bernama Tiara. “Maaf sebelumnya, bapak, ibu. Saya coba jelaskan, saat pertama kali Sekar ditemukan oleh warga”

“Teman kosnya yang lebih dulu menemukannya, lalu dia meminta pertolongan warga. Dan disitulah Sekar baru disadari jika sudah tidak bernyawa. Tubuhnya berlumuran darah, terutama bagian perut hingga ke kakinya” tutur Pak RT dengan hati-hati.

“Saat ditemukan, maaf, kondisi Sekar sudah sangat memprihatinkan. Sudah mengeluarkan bau yang menyebabkan Tiara sebagai tetangga kosnya merasa curiga” imbuhnya.

“Saya tahu, ini berat bagi bapak dan ibu sebagai orang tua Sekar, tapi, ini lah faktanya. Selanjutnya biar aparat kepolisian yang melanjutkan. Sekarang bapak dan ibu fokus pada pemulasaran Sekar yang harus segera dilakukan”

Di situ, dokter menjelaskan, jika jasad Sekar dan anaknya harus dipisahkan terlebih dulu sebelum dimakamkan. Namun, entah mengapa, Pak Darmani menyelanya.

“Nggak.. Tidak perlu. Saya ingin Sekar dimakamkan sebagaimana Sekar. Tidak perlu dipisah”

“Begini, Bapak” Dokter berusaha menjelaskan.

“Nggak. Saya bapaknya, saya yang lebih paham bagaimana keadaan Sekar dan terlebih lagi keadaan keluarga saya” sela Pak Darmani lagi. Pak Darmani menoleh ke arah istrinya. Bu Wulandari tampak diam dan pasrah atas apa yang dikatakan Pak Darmani.

Singkatnya, semua proses pemulasaran dilakukan dengan permintaan dari pihak keluarga, yakni Pak Darmani dan Bu Wulandari. Jenazah Sekar pun di bawa ke rumah, untuk kemudian dimakamkan.

“Pak RT” panggil Pak Darmadi sesaat sebelum keluar dari ruangan.

“Saya minta tolong, jika orang-orang di luar bertanya tentang penyebab anak saya meninggal, jangan dijawab karena mencoba menggugurkan kandungan”

Pak RT terlihat bingung, ia memandang Pak Darmani dengan wajah heran. “Lalu, saya jelaskannya bagaimana ya, Pak?”

Pak Darmani berpikir, mencari alasan untuk menutupi masalah ini. Beberapa saat setelah itu, Pak Darmani menemukan jawabannya.“Sampaikan saja, jika karena keracunan”

“Bapak bisa berkata apa adanya jika ditemui aparat kepolisian. Tapi, kepada warga kampung, katakan saja karena keracunan.

Saya sebagai bapaknya, hanya berusaha menjaga nama baik anak saya di mata orang-orang, Pak.” Tutur Pak Darmani sebelum akhirnya mereka berdua keluar bertemu dengan orang-orang.

***

Hari sudah terang, matahari pun sudah hampir di atas kepala. Setelah beberapa jam diautopsi oleh tim medis, jenazah Sekar sudah boleh dibawa pulang ke desa dalam keadaan sudah terbungkus kain kafan. Saat itu juga, Pak Darmani langsung membawanya pulang.

Pak Sabar kembali memacu mobilnya kembali ke desa, tapi, kali ini tak hanya mobilnya saja yang kembali ke desa Sumberlawang. Di belakangnya, ada satu ambulan yang mengikuti. Suara sirinenya yang menyala pun menggema ketika sudah memasuki area desa Sumberlawang.

Orang-orang yang sudah mendapat kabar mengenai kematian Sekar pun langsung menuju ke rumah Pak Darmani untuk menyiapkan segala sesuatunya.

“Jenazahnya datang… Jenazahnya datang…” teriak para warga yang menyadarinya.

Ternyata, sudah ada banyak warga berkumpul di rumah Pak Darmani.

Seturunnya dari mobil, beberapa orang menghampiri Pak Darmani dan keluarganya untuk sekadar membantu mereka berjalan dan menguatkan. Jenazah Sekar pun diturunkan, lalu di bawa ke dalam rumah untuk ditahlil terlebih dulu sebelum dikuburkan.

Banyak orang mengaku terkejut dengan berita kematian Sekar yang mendadak, karena mereka mengenal Sekar sebagai seorang wanita baik yang perhatian dengan keluarganya di desa, terlebih dengan Zulfa adeknya.

Isak tangis terdengar sahut-menyahut dari keluarga Sekar, diiringi suara tahlil yang dilantunkan para laki-laki yang memanggul keranda. Sekar, wanita cantik yang dikenal baik, sekarang terbaring tanpa nyawa di dalam keranda tersebut.

Beberapa warga tampak saling bisik mempertanyakan penyebab kematiannya yang belum diketahui oleh banyak orang. Tibalah mereka di tepi liang lahat yang sudah disiapkan bagi jenazah Sekar.

Keranda diturunkan perlahan, kain penutup keranda dibuka, besi kerandanya pun diangkat dan diletakkan di sampingnya. Tiga laki-laki dewasa termasuk Pak Darmani masuk ke dalam liang lahat untuk menyambut jenazah Sekar dari luar.

“Astagfirullah” ucap kaget beberapa orang yang menyadari jika ada cukup banyak bercak darah membasahi kain kafan yang menutup tubuh Sekar.

“Sudah, Pak. Tolong segera diselesaikan prosesinya” suruh Ustad Zulkar.

Lima belas menit kemudian, lubang liang lahat sudah berubah menjadi gundukan tanah, para pengantar mulai melantunkan dia-doa kepada almarhumah Sekar.

Isak tangis masih menghiasi wajah Bu Wulandari dan Zulfa. Hingga mayat Sekar terkubur oleh tanah, mereka bertiga masih tidak percaya, jika hidup Sekar akan berakhir seperti ini. Setelah seluruh prosesi pemakaman Sekar selesai, warga berhamburan pulang.

Tanpa mereka sadari, tragedi mengenaskan ini akan mengubah suasana desa yang semula baik-baik saja, menjadi penuh teror yang akan menghantui mereka dihampir setiap malam..

Dua hari berlalu, berita mengenai insiden kematian Sekar masih menjadi topik hangat dikalangan para warga. Terutama di kampung tempat Sekar tinggal menjelang kematiannya. Kampung Kemuning. Kini kamar kos Sekar dibatasi oleh garis polisi demi alasan pemeriksaan selanjutnya.

Dua hari ini, kamarnya dibiarkan gelap. Bahkan masih terlihat beberapa lalat keluar masuk melalui celah fentilasi kamarnya. Sementara, di rumah Pak Darmani masih rutin melakukan pengajian tujuh harian.

***

Kurang lebih jam dua siang, Tiara sudah dalam perjalanan pulang dari kantor. Hari itu, kebetulan semua pekerjaannya sudah selesai dengan cepat, dan ia meminta izin pulang cepat karena badannya yang kurang sehat.

“Hati-hati, Ra” ucap teman-temannya. Beberapa dari mereka khawatir dengan Tiara, karena mengetahui berita kematian Sekar tetangga kosnya yang berada satu kos dengannya.

“Kabari aku, kalau terjadi apa-apa” imbuh salah satu temannya lagi.

Tiara mengangguk, seraya mengangkat jempol tangannya ke arah mereka. “Oke… Thanks, ya” balasnya.

Sesampainya di kos, Tiara melihat kamar Sekar yang sudah dibatasi oleh garis polisi. Sudah tiga hari ini ia melihat pemandangan ini di dalam kosnya.

Ia masih tergambar jelas, saat dirinya menemukan Sekar tergeletak tak bernyawa di dalam kamarnya dengan berlumuran darah dan dikerubungi lalat-lalat hijau.

Tiara diam sejenak di atas motornya, ada rasa mengganjal setiap kali ia sampai kos dan menatap suasana kamar Sekar.

“Astagfirullah…..” Tiara beristigfar. Dia berusaha mengatur perasaannya agar tenang dan seolah tidak ada peristiwa apa-apa di kos-kosannya.

Setelah dirasa tenang, Tiara turun dari motor, lalu berjalan ke kamarnya yang berada dekat di kamar Sekar. Antara garasi rumah dan area kamar kos, Tiara perlu melewati tanah lapang yang di atasnya terdapat taman dan satu pohon cukup besar tumbuh di tengahnya.

Orang-orang kos biasa menggunakannya untuk bersantai sambil menikmati udara pagi atau saat saat sore hari. Tapi, diantara langkahnya itu, tiba-tiba saja, saat dirinya sudah mulai tenang, “Tolong aku, Tiara”

Terdengar suara bisikan misterius di telinga kiri Tiara. Spontan, Tiara pun berhenti berjalan, kemudian menoleh dan melihat ke arah kirinya tapi tidak menemukan apa-apa.

“Halo?”ucap Tiara sambil melihat sekitarnya. Tap tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Tiara mulai merasakan hawa tidak enak.Walau sebenarnya ia sadar ada yang tak beres. Tiara masih berusaha seakan biasa saja lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan langkah yang tergesa-gesa

“Braaakkkk” Tiara menutup pintu kosnya dengan kencang.

“Tolong aku, Tiara”

Suara bisikan itu terdengar lagi saat Tiara sudah berada di dalam kamarnya.

“Siapa? Jangan ganggu saya” ucap Tiara agak keras.

Dengan perasaan setengah takut, Tiara sembunyi di balik selimutnya, lalu mencoba tidur agar tidak merasakan apa-apa. Tiara pun tertidur dengan membawa rasa takut yang belum lama datang.

Namun, pilihannya untuk tidur agar terhindar dari suasana menakutkan untuknya ternyata tidaklah pilihan yang seluruhnya tepat. Ternyata, suara bisikan itu masih menerornya hingga di alam bawah sadarnya.

“Tolong aku, Tiara”

“Tolong aku”

Bisikan itu semakin jelas, disertai bau amis yang datang tiba-tiba.

“Jangan ganggu saya” teriak Tiara di antara selimutnya.

Beberapa menit setelahnya, suara itu hilang, dan bau amis tidak lagi tercium di hidungnya. Namun, tanpa tanda apa-apa, tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk.

“Tokk…. Tokk…. Tok…..”
Awalnya Tiara mengira jika memang ada orang yang hendak bertemu dengannya. Tiara pun berjalan mendekat ke pintu.

Tapi, sebelum membukanya, sudah menjadi kebiasaan, Tiara lebih dulu mengintipnya dari balik gorden jendela kamarnya untuk memastikan siapa yang datang.

Tapi, disitu Tiara tidak melihat siapapun berdiri di depan kamarnya. Tiara menutup gordennya lagi, tapi lagi-lagi suara ketukan itu kembali muncul. Tiara semakin bingung.

“Siapa, ya?” teriak Tiara dari dalam.

“Tiara” ucap seorang wanita dengan suara lirih dari luar.

“Siapa?” teriak Tiara lagi. Kali ini dia sudah mulai panik. Tiara mengintip melalui celah gorden jendelanya lagi, dan masih tidak menemukan siapa-siapa.

“Kok masih tetap tidak ada orang?” gumam Tiara. Tiara membuka pintu kamarnya, untuk memastikan langsung siapa yang mengetuk pintunya. Sambil menyilangkan tangannya di dada, Tiara berjalan beberapa langkah keluar dari kamarnya untuk melihat suasana di luar.

“Siapa ya? Halo?”

“Bener nggak ada siapa-siapa? Tolong jangan iseng” ucap Tiara kesal dengan jantung yang berdebar.

Tiara kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya, lalu lekas menutup pintunya rapat-rapat. Baru saja ia mengunci pintu, lagi-lagi muncul suara ketukan di pintu kamarnya.

Rasa takut Tiara seketika berubah menjadi kesal, ia langsung membuka pintunya saat itu juga, agar jika memang ada orang yang sedang iseng dengannya, Tiara masih bisa menangkapnya dengan jelas. Tapi, saat pintu terbuka, pemandangannya berbeda dari sebelumnya.

Yang awalnya hanya sebuah taman dan pohon di tengahnya, tiba-tiba ada sesosok wanita berdiri membelakanginya di sana. Mengenakan gaun putih namun dilumuri banyak sekali darah hingga hampir merubah warna dasar gaun yang ia kenakan.

Tiara diam menatapnya. Seketika tubuhnya kaku ke arah wanita itu.

“Siapa dia? Mengapa disitu?” gumam Tiara. Perlahan, ingatan Tiara menuju ke sebuah memori beberapa hari yang lalu, karena jika dari belakang, wanita itu tidak asing baginya.

“Sekar?” gumam Tiara lagi.

Beberapa detik setelahnya, sosok wanita itu berbalik arah. Gerakannya pelan sekali, sampai akhirnya menghadap tepat menatap Tiara. Bola matanya putih, wajahnya pun banyak sekali darah yang masih mengalir.

“Tolong aku, Tiara. Sakit sekali”

“Tolong bersihkan tubuhku”

“Aaaaaaaaaa….” Tiara berteriak. Dugaannya benar, sosok wanita itu adalah Sekar. Dia yang dari tadi memanggilnya dari luar.

Tiara menutup pintunya lagi dan kembali ke atas kasurnya. Dan saat itu pula, Tiara membuka matanya dan terbangun dari tidur dan mimpinya. “Huhh… huhhh…..” suara napas terengah Tiara setelah mimpi buruknya.

“Untunglah, yang barusan hanyalah mimpi buruk” gumam Tiara. Tiara pun bangkit dan mengambil satu gelas air putih untuk diminum agar dirinya sedikit tenang. Matanya melirik jam kamarnya, ternyata sebentar lagi masuuk waktu maghrib.

Di luar, angin bertiup kencang. Tiara yang di dalam pun sampai mendengarnya. Entah mengapa, Tiara ingin keluar kamar untuk melihat suasana di luar. Tiara berjalan ke luar, dan melihat suasana di sana. Ternyata, cuaca sedikit mendung. “Pantas aja anginnya besar” pikir Tiara.

Tiara hendak berbalik arah, tapi pandangannya tersita oleh wanita yang sepertinya ia pikir belum lama ia lihat. Tiara mengernyitkan dahinya, menatap tajam ke arahnya.

“Mbak? Siapa, ya?” teriak Tiara.

Wanita itu menoleh. Dan ternyata, dia adalah Sekar, yang datang dalam mimpinya barusan. Tiara berteriak, jantungnya serasa akan copot karena melihat sosok wanita yang baru beberapa hari yang lalu mati dengan cara yang mengenaskan.

“Ya Allah” Tiara berteriak. Ia meringkuk masuk dan bersembunyi lagi di balik selimutnya.

“Tolong aku, Tiara”

“Banyak darah di tubuhku”

“Tolong bersihkan tubuhku”

“Tiara”

Suara itu masih terus terdengar dari dalam kamar hingga akhirnya hilang bersamaan dengan adzan maghrib yang berkumandang.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close